Oleh: Ummu Syauqi
(Pemerhati Masalah Sosial di Masyarakat)
Sungguh, pemerintah memang tidak punya hati. Di tengah himpitan ekonomi , di saat rakyat bersusah payah memenuhi kebutuhan hidupnya, pemerintah tega menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, kenaikannya hingga dua kali lipat. Alasan yang disampaikan karena BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, penyebab terjadinya defisit anggaran karena adanya pasien-pasien yang nakal. Yang mendaftar BPJS saat sakit, dan tak mau membayar iuran saat sudah sembuh.
“Sebagian besar menikmati layanan dan itu menyebabkan BPJS menghadapi situasi sekarang, maka BPJS menjadi defisit”,kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu, seperti dikutip dari Vivanews.
Sri Mulyani, mengusulkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri naik hingga dua kali lipat. Iuran peserta kelas 1 diusulkan naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu. Sedangkan iuran peserta kelas 2 diusulkan naik dari Rp55 ribu menjadi Rp110 ribu.
Usulan Menkeu ini lebih tinggi dari usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN semula mengusulkan iuran peserta mandiri BPJS Kesehatan untuk kelas 1 naik menjadi Rp120 ribu. Sedangkan untuk kelas 2 diusulkan naik dari Rp55 ribu menjadi Rp80 ribu.
Usulan yang disampaikan dalam rapat bersama Menkeu dengan Komisi IX dan XI DPR di Jakarta, Selasa (27/8), dianggap sebagai win-win solution atas besarnya defisit yang membelit BPJS Kesehatan. Menjadi rahasia publik BPJS Kesehatan tengah menjadi sorotan, akibat defisit yang melonjak hingga Rp 28 triliun pada tahun ini. Akhirnya pemerintah memastikan bakal menaikkan iuran atau premi peserta BPJS Kesehatan untuk semua kelas.
Ironisnya, di tengah wacana kenaikan dua kali lipat iuran BPJS Kesehatan, diketahui bahwa gaji dan tunjangan direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan juga baru saja mengalami kenaikan yang sangat fantastis. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34 Tahun 2015 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Anggota Dewan pengawas dan Anggota Direksi BPJS,
tertulis dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2019 sebesar Rp32,9 miliar untuk 8 orang direksi BPJS Kesehatan. Berdasarkan data tersebut, maka setiap direksi akan mendapatkan Rp 4,11 miliar per tahun, atau Rp342,6 juta per bulan. Sedangkan, beban insentif dewan pengawas BPJS Kesehatan setahun dianggarkan tercatat sebesar Rp17,74 miliar untuk 7 orang dewan pengawas BPJS Kesehatan. Artinya, setiap dewan pengawas akan mendapatkan Rp2,5 miliar per tahun, atau Rp211 juta per bulan. (bisnis.com, 15/8/2019).
Kedzoliman ini jelas sangat merugikan rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah. Sudahlah rakyat terbebani dengan mahalnya berbagai kebutuhan hidup, masih ditambah lagi dengan naiknya iuran BPJS. Seandainya saja sebuah keluarga menengah yang beranggotakan lima orang terdaftar sebagai peserta BPJS kelas 1, maka keluarga itu harus menyediakan uang sebesar Rp 800.000 per bulan untuk dana BPJS. Apabila gaji kepala keluarga itu sebesar 3 juta, maka cukupkah dia membiayai semua kebutuhan keluarganya? Belum kebutuhan pokoknya, pendidikan anak-anaknya, listrik, transport yang semuanya juga ikut-ikutan naik. Walhasil, rakyat semakin tercekik.
Mirisnya, di saat rakyat hidup kesusahan, justru para pejabat mempertontonkan kehidupan yang hedonis dan foya-foya. Cerminan pejabat yang digembar-gemborkan pro rakyat, ternyata hanya lips service semata. Fakta berbicara, carut marut tata kelola BPJS Kesehatan adalah bukti negara tak becus mengurusi kesehatan rakyatnya. BPJS Kesehatan bukan menjadi solusi kesehatan rakyat, sebaliknya jadi penghisap darah rakyat. Alih-alih mensejahterakan, malah semakin menyengsarakan.
Inilah buahnya bila pengaturan urusan rakyat dikelola dalam bingkai Kapitalisme. Pelayanan kesehatan yang merupakan kewajiban negara diserahkan kepada pihak swasta dan dikomersialisasi. Untung dan rugi jadi patokan. Tidak masalah bila harus memalak rakyat dengan angka selangit. Negara bukan lagi pelayan bagi rakyat. Tapi hadir sebagai pedagang produk dan jasa layanan untuk publik dengan harga mahal. Ujung-ujungnya kembali rakyat menelan pil pahit yang membuat tangis.
Berbeda dengan pelayanan kesehatan di masa khilafah. Ia adalah pelayanan kesehatan terbaik sepanjang masa, dilingkupi atmosfir kemanusiaan yang begitu sempurna. Hal ini karena negara hadir sebagai penerap syariat Islam secara kaafah, termasuk yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan hajat pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik setiap individu publik.
Sebab Rasulullah Saw telah menegaskan yang artinya,” “Imam(Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Artinya, haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya.
Kehadiran negara sebagai pelaksana syariah secara kaafah, khususnya dalam pengelolaan kekayaan negara menjadikan negara berkemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggungjwabnya. Tidak terkecuali tanggung jawab menjamin pemenuhan hajat setiap orang terhadap pelayanan kesehatan. Gratis, berkualitas terbaik serta terpenuhi aspek ketersediaan, kesinambungan dan ketercapaian. Dalam hal ini negara harus menerapkan konsep anggaran mutlak, berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Karena negara adalah pihak yang berada di garda terdepan dalam pencegahan dan peniadaan penderitaan publik. Demikianlah tuntunan ajaran Islam yang mulia, yang sudah dicontohkan oleh Rosulullah saw dan para khalifah sesudah beliau.
Hasilnya, rumah sakit, dokter dan para medis tersedia secara memadai dengan sebaran yang memadai pula. Difasilitasi negara dengan berbagai aspek bagi terwujudnya standar pelayanan medis terbaik. Baik aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan keahlian terkini, ketersediaan obat dan alat kedokteran terbaik hingga gaji dan beban kerja yang manusiawi. Tidak seorangpun yang datang ke rumah sakit kecuali pulang dengan rasa terhormat dan perasaan bahagia. Sebab, semua diberi pelayanan terbaik. Di setiap kota, termasuk kota kecil, terdapat rumah sakit, berikut dengan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain) berkualitas lagi memadai, berikut peralatan medis dan obat-obatan. Bahkan disediakan rumah sakit berjalan, dipenuhi berbagai obat dan peralatan medis serta para dokter dan tenaga medis lainnya. Bahkan khilafah menyediakan sejumlah unta untuk mendatangi orang-orang yang beruzur dan mengantarkannya ke rumah sakit.
Inilah fakta pelayanan kesehatan Khilafah yang diukir oleh tinta emas sejarah peradaban Islam. Model pelayanan kesehatan terbaik, buah penerapan sistem kehidupan Islam, penerapan Islam secara kaafah dalam bingkai Khilafah. Sebagai janji yang pasti dari Allah swt yang ditegaskan dalam QS Al-Anbiya ayat 107, artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”
Saatnya mengembalikan tata kelola sektor kesehatan dalam bingkai Islam dengan menghapus iuran BPJS yang berbasis asuransi, sebab kesehatan merupakan sektor vital yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat. Maka menjadi kewajiban negara menyelenggarakan jaminan kesehatan yang berkualitas lagi murah, bahkan gratis. Bukan menyerahkannya pada swasta, apalagi asing.
Penyelenggaraan jaminan kesehatan ini akan berjalan sukses. Jika diikuti dengan tata kelola aset dan kekayaan negara dengan benar sebagai sumber pendanaan negara. Serta mendistribusikannya dengan benar pula untuk kepentingan rakyat. Termasuk untuk membiayai penyelenggaraan dan pengadaan fasilitas kesehatan untuk rakyat.
Inilah sejatinya solusi tepat untuk keluar dari defisit BPJS Kesehatan. Bukan sebaliknya menaikan iuran BPJS Kesehatan yang justru menghisap darah rakyat. Solusi tuntas ini hanya akan dapat berjalan sukses jika aturan Islam berlaku atas negeri ini. Selama sistem Kapitalisme neoliberal masih diterapkan di negeri ini, jangan harap rakyat akan merasakan jaminan kesehatan berkualitas dan murah bahkan gratis. Wallahu a’lam.
Tags
Opini