Oleh: Ummu Fikri
(Pengajar di Tigaraksa Tangerang)
Bulan kemarin tepatnya di hari Selasa Tanggal 27 Agustus 2019 kita dikagetkan dengan kejadian di Universitas islam Negeri (UIN) Kendari. Seorang mahasiswa bernama lengkap Hikma Sanggala yang sedang menjalani tugas akhir skripsi sebagai salah satu syarat dalam menyandang gelar sarjana di DO (Drop Out) oleh pimpinan di lembaganya.
Dalam sepekan nama Hikma begitu menjadi bahan berita, Bahkan nama Hikma Sanggala menjadi trending topic di Twitter pada kamis (5/9/2019) dengan tiga tagar yang dibuat #DaruratKediktatoranRektor#WestandForHikmaSanggala#SaveHikmaSanggala(Tribun-Timur.com)
Hikma sanggala adalah seorang mahasiswa yang berprestasi. Lihat saja bagaimana IP yang diraihnya selama ini 3.60, 3.91, 3.74, 3.74,3.70, 3.67, 3.67, 2.68 bahkan predikat sebagai mahasiswa dengan IPK terbaik se-fakultasnya pun diraih.
Hikma dituding berafiliasi dengan aliran sesat dan berfaham radikalisme yang bertentangan dengan ajaran Islam dan nilai kebangsaan. Sehingga Hikma dijatuhi hukuman berat di DO dari kampusnya oleh Sang Rektor.
Selama ini memang Hikma adalah mahasiswa yang cukup kritis karena sering berorasi dalam rangka berdakwah mengoreksi kezaliman yang terjadi di masyarakat bersama organisasi Gema Pembebesan di kampusnya.
Berbicara terkait radikalisme yang dituduhkan, penulis mengutip arti radikalisme yang diambil dari Kamus Besar bahasa Indonesia, Radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang mengingkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, sikap ekstrem dalam aliran politik.
Sikap kritis yang dilakukan Hikma adalah bagian dalam menyampaikan aspirasi dimuka umum. Bukankah dalam negara ini jelas sekali dijamin dalam Undang-undang terkait penyampaian aspirasi itu. Lihat pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Jika kejadiannya seperti itu apakah seorang yang kritis menyikapi kondisi, peduli terhadap keadaan sekitar malah menjadi jalan kediktatoran bagi pimpinan untuk membungkam suara mahasiswa? Bukankah mahasiswa sudah selayaknya menjadi bagian yang mampu kritis untuk mencari solusi terbaik keadaan negeri ini. Lalu apa yang akan terjadi terhadap mahasiswa kedepannya? Mahasiswa akan menjadi seorang pengecut dan takut menyuarakan kebenaran. Sungguh ironis.
Yang dilakukan selama ini oleh Hikma adalah menyuarakan sebuah kebenaran yang ada dalam Islam. Karena Hikma memang muslim. Dalam Islam kita mempunyai kewajiban, salah satunya adalah berdakwah menyerukan kebenaran. Sedikit pun tidak dengan kekerasan. Karena Islam adalah agama yang sungguh sempurna sebagaimana yang telah dibacakan oleh Rosulullah pada saat Haji Wada yang artinya “Pada hari ini kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu “ QS Al maidah ayat 3. Dan untuk berdakwah kita tidak diperbolehkan dengan jalan kekerasan.
Artinya Hikma menyuarakan kebenaran yang sesuai dengan apa yang diyakininya. Adapun ada orang yang tidak setuju dengan apa yang dikemukakan itu hak mereka. Tapi kewajiban berdakwah tidak lantas berhenti hanya karena orang tidak menerima sesuatu yang kita anggap benar.
Pihak kampus seharusnya menjadi bagian dalam upaya kemajuan berfikir. Diskusi diperlukan agar orang bisa memahami kebenaran yang sesungguhnya. Bukan menggunakan kekuasaan dengan kediktatorannya. Buat sang mahasiswa jangan pernah takut. Doa yang dilantunkan oleh orang orang yang menjunjung tinggi kebenaran akan didengar sampai singgasana Arsy. Sampai kapan pun kebenaran itu akan menang, hanya tinggal menunggu waktu, karena tidak akan ada manusia yang membungkam kebenaran itu sendiri.
wallahu a’lam bishawab.
Tags
Opini