Oleh : Iin Susi Yanti, SP
Ketua umum NasDem Surya Paloh menyebut bahwa Indonesia telah menganut sistem Kapitalis-liberal. Negara ini selalu mendeklarasikan sebagai negara Pancasila, tapi malu-malu kucing untuk mengakuinya. Sesungguhnya sistem yang dianut adalah kapitalis-liberalis.
Surya Paloh juga menyatakan sistem Kapitalis-liberal ini nampak saat ada kompetisi politik dalam negara. Karena saat kompetisi ada istilah "wani piro" yang berarti soal banyaknya uang yang dimiliki, jelas saat ini yang berkuasa bukan pengetahuan tetapi uang. Pada prakteknya money is power, bukan akhlak, bukan kepribadian, bukan juga ilmu pengetahuan. Above all money is power. Semua pihak terus berbicara soal Pancasila tapi sesungguhnya justru negera ini masuk dalam kategori negara kapitalis (CNN/14/8/2019)
Kapitalis-liberal sebenarnya sudah lama menjadi Mabda yang diemban oleh Indonesia. Jika ditinjau dari sejarah masa lalu sistem ini merupakan warisan masa penjajahan kolonial Belanda. Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 para pendiri bangsa mengadopsi sistem Kapitalisme ini dengan merumuskan sebuah ideologi negara yaitu Pancasila dengan sistem pemerintahannya disebut demokrasi.
Demokrasi merupakan turunan dari Kapitalisme yakni pemisahan agama dengan kehidupan. Kapitalisme tidak saja melahirkan sistem demokrasi, tapi juga melahirkan sistem lainnya seperti sistem ekonomi melahirkan sistem Kapitalisme, sistem pendidikan melahirkan sistem sekuler, dan sosial-budaya melahirkan sosial-budaya liberal.
Jadi tidak heran jika sistem Kapitalis-liberal yang sejalan dengan penerapan sistem demokrasi berbiaya mahal. Untuk memenangkan pilkada/pilpres membutuhkan mahar yang tidak sedikit, berapa modal yang harus dikeluarkan dalam masa kampanye untuk menarik perhatian publik. Belum lagi parpol mematok biaya fantastis yang harus dibayar oleh candidat yang diusungnya, biaya pendanaan untuk saksi saat pemungutan suara, biaya promosi, pembuatan kaos, baliho dan sebagainya. Bahkan biaya jika terjadi sengketa butuh pendanaan yang tidak sedikit untuk persiapan dan pengawalan sengketa.
Modal politik yang mahal ini akan membuka celah terjadinya KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) merajalela dikalangan pejabat. Karena pemenang caleg/capres akan berusaha keras untuk mengembalikan modal politik tersebut. Apalagi dana yang diperoleh berasal dari pinjaman dengan riba, gaji/tunjangan negara tidak mampu mencukupi untuk membayar hutang.
Dalam sistem politik mahal seperti ini, sudah tentu yang berkuasa adalah pemilik modal/kapital, pemilik modal bisa mencalonkan diri maupun sebagai penyokong dana bagi kandidat/parpol. Dibalik semua ini pasti ada kepentingan. Bagi pemilik modal "no free lunch" tidak ada makan siang gratis. Pemilik modal/kapitalis dapat mengontrol para politisi, mereka akan menguasai berbagai proyek termasuk pengelolaan sumberdaya alam seperti Freeport, Migas, batubara dan lainnya. Termasuk dalam membuat rancangan UU yang tentunya menguntungkan pemilik modal.
Dalam sistem ekonomi yang melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme, pemberlakuan kepemilikan diatur atas dasar “modal”. Kapital (modal) menjadi fokus utama dalam sistem ekonomi ini. Dasar sistem ekonomi Kapitalisme adalah kebebasan kepemilikan, artinya setiap individu bebas memiliki apapun dan menguasai kekayaan apapun. Untuk itu manfaat menjadi tolok ukurnya. Tidak ada ruang untuk tolok ukur benar dan salah. Salah satu ciri khas dari sistem ekonomi ini adalah keberadaan pasar modal. Sehingga sistem ini tidak akan dapat memberikan kemakmuran bagi rakyat, justru yang ada adalah terjadinya ketimpangan sosial antara si miskin dengan si kaya.
Dalam sistem pendidikan akan melahirkan sistem sistem Sekuler (pemisahan agama dengan kehidupan). Sistem ini menjadi tolok ukur dalam pengembangan pendidikan. Sistem ini tidak ada muatan nilai ruhiyah didalamnya hanya mengedepankan logika materialisme. Pendidikan akhlak, kepribadian dan agama dikesampingkan. Dalam kurikulum pendidikan juga terbagi menjadi dua, untuk belajar agama maka dibuatlah pondok pesantren dan untuk belajar ilmu eksak bisa sekolah umum/negeri. Dalam sekolah umum/negeri diberikan porsi 2 jam dalam seminggu untuk pelajaran agama.
Secara moral kualitas pendidikan sekuler tidak menghasilkan pribadi-pribadi yang diharapkan kalaupun cerdas cenderung merusak. Kecerdasannya tidak mampu menemukan esensi kesejatian dirinya sehingga lahir pribadi-pribadi yang terpecah.
Dalam sosial-budaya akan melahirkan sistem Liberal yang mengusung kebebasan individu dalam berpikir dan bertingkah laku, maka agama tidak dijadikan standart dalam perilaku baik dan buruk. Hal ini mengakibatkan kehidupan tidak bermoral, seperti maraknya LGBT, seks bebas, miras, narkoba, pornografi-pornoaksi. Dan parahnya lagi negara memberikan kebebasan dalam berekspresi karena merupakan hak asasi manusi, ditambah lemahnya undang-undang dalam tindak asusila.
Sistem inilah yang bertanggung jawab terhadap rusaknya tatanan masyarakat diberbagai aspek kehidupan (politik, sosial, budaya, ekonomi, pendidikan) karena tegak di atas sekulerisme, liberalisme dan materialisme.
Sistem ini harus segera diganti dengan sistem yang shohih yakni sistem islam(Khilafah) yang Rahmatan Lil'aalamin. Menjamin kesejahteraan hikiki bagi seluruh rakyat dan mewujudkan keberkahan hidup didunia dan akhirat.
Sistem Islam sudah terbukti membawa keberkahan selama belasan abad. Hal ini dapat dilihat dari kemajuan ilmu pengetahuan, minimnya tindak kejahatan dikalangan umat, perekonomian terbukti membawa kesejahteraan, kuatnya negara dalam politik dan militer, dapat menutup jalan penguasaan swasta dan asing. Karena negara mempunyai kewajiban dalam mengurusi rakyat sekaligus menjadi pelindung umat dari setiap ancaman. Wallahu a'lam bishowab.