Hukuman Kebiri, Benarkah Menjadi Solusi?



Oleh : Siti Ghina

Belum lama ini publik dihebohkan dengan berita tentang hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan pada tersangka pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur. Muh. Aris, pelaku pemerkosaan sembilan anak tersebut menjadi terpidana  pertama yang akan menjalani kebiri kimia. Awalnya, Muh. Aris dijatuhi hukuman kurungan selama 12 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta dengan subsider 6 bulan penjara. (Tribun.com).  

Hukuman kebiri muncul dari pertimbangan dan keputusan para Hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto, yang mengatakan vonis hukuman kebiri kimia terhadap pelaku pemerkosaan Muh. Aris karena mempertimbangkan jumlah dan usia para korban. Berrdasarkan fakta, para korban Muh. Aris berjumlah sembilan orang dengan usia rata-rata 6 hingga 7 tahun. (Kompas.com)

Dari sini muncullah pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat dan profesi. Banyak masyarakat yg mendukung hukuman ini dan ada juga yang menentangnya. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi pelaksana, karena filosofi kebiri adalah reributif, bukan rehabilitatif, dan dokter bertugas menyembuhkan bukan balas dendam. Menjadi eksekutor kebiri kimia  juga bertentangan dengan kode etik profesi, karena dokter hanya melakukan tindakan penanganan pengobatan. IDI mempertanyakan putusan tersebut lantaran hukuman itu dianggap tidak menjamin hasrat dan potensi pelaku mengulangi perbuatannya bakal hilang. Kontra juga muncul dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menilai proses hukum  di Indonesia menjadi mundur jika masih mengacu pada hukuman kebiri.

Pada sisi lain, dukungan datang dari Menteri Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Yohana Susana Yembise. Menurutnya, penerapan hukuman kebiri kimia ini merupakan langkah maju yang diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual. Dan komentar positif juga dikeluarkan oleh Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, yang mengatakan hukuman kebiri kimia akan memberikan perlindungan pada anak, meski belum bisa dipastikan apakah hukuman kebiri ini mampu menurunkan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak kedepannya.

Hukum kebiri disebut juga kastrasi atau al khishaa’, yaitu pemotongan testis sebagai upaya untuk menghilangkan syahwat dan membuat mandul. Metode kebiri ada dua, yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan memotong organ testis. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit gairah seks. Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).

Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, tapi dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada laki-laki yang dikebiri. Ada dua metode injeksi; (1) diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah hilang. (2) diinjeksikan hormon estrogen kepada laki-laki yang dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon estrogen ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. Metode kebiri yang akan dijatuhkan pemerintah adalah metode injeksi, bukan metode fisik. (Jawa Pos, 22/10/2015).

Sejumlah negara telah melaksanakan hukuman kebiri bagi pedofilia, diantaranya  Inggris, Polandia, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Negara Uni Eropa. Namun pertanyaannya, benarkah hukuman kebiri menjadi sebuah solusi? Lalu bolehkah kebiri kimia dilakukan di dalam hukum dan syariat Islam? Muslim sudah seharusnya menjadikan syariat dan hukum Islam yang ada dalam Alquran dan Hadist sebagai landasan dalam berfikir dan bertindak. Tidak terkecuali hukum kebiri ini, yang juga harus kita kaji dari sisi syariatnya sebab hal ini akan menjadi pertanggung jawaban kita kelak di akhirat.

Merujuk dari pendapat ulama fiqih, ternyata menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya adalah haram, berdasarkan tiga alasan sebagai berikut; Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia, tanpa perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. (Imam Ibnu Abdil Barr, Al Istidzkar, 8/433; Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 9/111; Imam Badruddin Al ‘Aini,‘Umdatul Qari, 20/72; Imam Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334; dan Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/110). Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, “Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,'(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa khilafiyah di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.’ (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).

Dalil yang menunjukkan haramnya kebiri adalah hadits-hadit s shahih, di antaranya dari Ibnu Mas’ud ra, dia berkata, ”Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW), ‘Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (Taqiyuddin An Nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119).

Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga haram hukumnya membuat jenis hukuman di luar ketentuan syariah Islam. (QS Al Ahzab : 36). 

Ketiga, dalam hal metode kebiri yang digunakan adalah metode injeksi kedua, yakni yang diinjeksikan adalah hormon estrogen, hukumnya juga haram dari sisi lain. Pasalnya, injeksi itu akan mengakibatkan laki-laki yang dikebiri memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan, misalnya tumbuh payudaranya. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan, sesuai hadits Ibnu Abbas ra bahwa, ”Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).

Kasus pemerkosaan sebenarnya bisa diambil dari hukum asalnya, yakni perzinaan atau homoseksual. Orang yang melakukan pemerkosaan berarti melakukan tindak pemaksaan untuk melakukan hubungan seksual. Ulama mengategorikan pemerkosaan sebagai tindakan zina. Hukumannya adalah had yang sudah  ditetapkan dalam kasus perbuatan zina.

Dengan pengecualian pengecualian bagi korban perkosaan, rincian hukuman zina sebagai berikut: (1) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) (HR Bukhari no 6733, 6812; Abu Dawud no 4438) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan (QS An Nuur : 2).

(2) jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain.

(3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1480; Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).

Jika pelaku belum menikah, hukumannya cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Jika  pelakunya sudah menikah maka hukuman rajam bisa dilaksanakan. Korban pemerkosaan tidak dikenakan hukuman zina. Jika tindakan zina, maka dua pelakunya sama-sama  mendapatkan hukuman had. Namun dalam pemerkosaan, sang korban terbebas dari hukuman. Dalilnya  adalah Alquran surah al-An'am ayat 145. "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak  menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." 


Imam Malik dalam Al-Muwatha' berpendapat, orang yang memperkosa wanita selain dijatuhi hukuman had zina juga mendapat sanksi tambahan. Sang pelaku diharuskan membayar mahar kepada wanita. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat, pemerkosa hanya mendapatkan had zina saja tanpa kewajiban membayar mahar.

Jika tindakan pemerkosaan dibarengi dengan tindakan penyiksaan atau perampasan harta maka hukumannya bisa ditambah. Beberapa ulama berpendapat, tambahan hukuman bagi pemerkosa yang menyiksa atau merampas harta sesuai dengan Alquran surah al-Maidah ayat 33.

Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar."

Terjawab sudah pertanyaan di awal, bahwa Islam melarang hukuman kebiri diberlakukan kepada pemerkosa. Kebiri bukanlah solusi apalagi solusi tuntas bagi pelaku maupun korban ditinjau dari sisi syariat Islam. Hanya   hukum Islam yang diterapkan secara menyeluruh yang benar-benar bisa menjadi solusi dan melindungi ummat, karena datang dari Sang Pencipta, yang Maha Tahu aturan yang terbaik bagi manusia dan ciptaanNya.

Itulah kesempurnaan Islam sebagai agama sekaligus sebagai sebuah ideologi. Islam telah menggariskan solusi (syariah; seperangkat aturan lengkap untuk kehidupan politik), sekaligus metode penerapannya (thoriqoh/metode). Islam hanya bisa tegak secara kaffah dengan institusi yang disebut Daulah Islamiyah (Khilafah ala Minhajin Nubuwah).


Wallahu A’lam bishshowab.





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak