Oleh: Nur Ilmi Hidayah
Guru Bimbingan Konseling dan Member Akademi Menulis Kreatif
Silakan tanya pada diri sendiri, sudah berapa kali kita mendengar kabar berita seorang guru yang dianiaya oleh siswanya? Miris, tapi fakta tersaji demikian adanya.
Video sekelompok siswa di Kendal yang berani menantang gurunya yang berusia paruh baya beredar mengobok-obok linimasa sosial media kita.
Pak Budi, guru seni rupa di Sampang Madura meregang nyawa dibunuh oleh siswanya sendiri. Bahkan di tempat lain, seorang guru ditahan oleh polisi dengan aduan mencubit siswa karena dianggap sudah berlaku kurang ajar. (DepokPos, 13 November 2018)
Dahulu, seorang guru baik sebagai pekerjaan ataupun predikat, sangat dihormati kedudukannya. Dua atau tiga dekade silam, siswa ketika berpapasan dengan guru biasanya cium tangan, bahkan jika lewat di depan guru, siswa menundukkan kepalanya karena hormatnya kepada guru. Sekarang, penghormatan kepada guru semakin pudar, bahkan siswa tidak segan melawan gurunya.
Guru sebagai pendidik sudah mulai kehilangan wibawa dengan arogansinya, dan siswa pun kehilangan etika karena terlalu manja dan cengeng. Guru tidak lagi mencerminkan sikap pendidik, dan siswa juga mulai menampakkan sikap yang tidak terdidik.
Tentu tidaklah pantas seorang guru yang bijak, tapi mendidik tanpa bijaksana. Namun, sebaliknya siswa sebagai generasi terdidik, juga harus bersikap dewasa, patuh pada aturan dan mengakui kesalahan.
Akibat perkembangan teknologi yang membawa dampak negatif bagi guru dan siswa. Apalagi saat ini hampir semua orang, termasuk guru sudah didukung oleh _smartphone_ dalam genggaman. Semua konten baik maupun buruk bisa didapatkan dengan cepat dan mudah, sebab _smartphone_ bukan lagi barang mewah, dan bahkan sudah menjadi kebutuhan primer. Kehadiran _smartphone_ ini menjadikan guru kehilangan _attitude_ sebagai pendidik.
Jika kita mau jujur memandang kondisi yang ada, lihat saja buktinya di berbagai media sosial, baik facebook, twitter dan instagram sudah menjadi wadah sensasi bagi sebagian orang, termasuk guru. Eksistensi diri di dunia sosial ini semakin menjadi _cocern_ di tengah masyarakat saat ini dan sudah menjangkiti pula kaum pendidik.
Lebih jauh bahwa ada sebagaian sosok guru, yang memanfaatkan media sosial semakin tidak wajar, dan bahkan bisa dibilang untuk mencari sensasi. Akibatnya, gelar pendidikan yang disandangnya selama ini semakin absurd bagi khalayak. Betapa tidak, demikian banyak guru menggunakan media sosial dibanding siswa. Seolah, guru lebih butuh perhatian dibanding siswanya.
Hilangnya wibawa seorang guru tak lain karena penerapan sistem sekuler yang selama puluhan tahun terakhir menggerogoti sistem pendidikan kita. Guru hanya dipandang sebagai fasilitator pendidikan. Profesi seorang guru dipandang sama dengan profesi lainnya sebagai penjual jasa, seperti pengacara, arsitek, dan lain-lain.
Tidak sampai di situ saja, akibat sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, menyebabkan orientasi pendidikan pun berupaya menghasilkan _output_ manusia-manusia yang hanya menghasilkan intelektual tinggi dan _skill_ yang handal, namun dangkal secara adab. Ditambah lagi dengan motivasi pendidikan saat ini hanya fokus mencari ijazah saja.
Begitulah cara pandang masyarakat sekuler kapitalis saat ini. Kemajuan suatu bangsa selalu diukur dengan materi, termasuk urusan pendidikan. Wajar ketika didera dengan permasalahan kehidupan, maka bukan iman yang menjadi rujukannya, tapi cara pandang kapitalis, yakni manfaat dan materi sebagai standar kebenaran. Misalnya, jika tidak suka dengan satu guru, maka solusinya dengan menantang guru tersebut. Atau ketika didera masalah ekonomi, maka solusinya dengan korupsi, merampok, bahkan menjual diri dan seterusnya. _Na'uzubillah_.
Islam Solusinya
Para ulama cendekiawan muslim terdahulu di masa kekhilafahan Islam, saat sistem pendidikan Islam diterapkan, begitu memuliakan gurunya sehingga dengan mudah mendapatkan keberkahan ilmu. Ilmu tidak hanya menempel di akal, namun juga tertancap dalam jiwa. Mencintai ilmu berarti mencintai yang menjadi sumber ilmu. Menghormati ilmu berarti harus menghormati pula orang yang memberi ilmu. Itulah guru, tanpa pengajaran guru, ilmu tidak akan pernah bisa didapatkan.
Dalam Islam, guru memiliki banyak keutamaan seperti menurut sebuah hadis yang menyebutkan:
_"Sesungguhnya Allah Swt, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya berselawat kepada muallim (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia."_ (HR. Tirmidzi)
Mengapa guru diposisikan sebagai profesi yang mulia? Karena guru adalah seorang yang dikaruniai ilmu oleh Allah Swt dan dengan ilmunya itu dia menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan, memperoleh serta menuju kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, guru tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu, tetapi juga mendidik siswanya untuk menjadi manusia bermoral dan beradab.
Sebagai sosok yang mengemban tugas mulia tentunya guru harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya, tidak serta-merta mengajar seadanya, apalagi guru hanya untuk tujuan karir.
Profesi guru, bukanlah profesi main-main, artinya sekali seseorang memilih profesi guru, maka ia harus bertanggung jawab untuk mendidik siswanya dengan baik. Guru harus profesional atau mengupayakan diri menjadi profesional.
Adapun Islam menempatkan guru pada posisi sangat mulia karena berbeda pada posisi lainnya. Islam juga menyuruh umatnya menuntut ilmu sejak dalam buaian sampai liang lahat sehingga logikanya jika tidak ada peran guru, harus kemana umat Islam akan menuntut ilmu?
Itulah sebabnya, setiap guru wajib amanah. Guru seharusnya mampu mencontoh metode Rasulullah Saw dalam memberikan pengajaran dan pendidikan, yaitu dengan keteladanan.
Misalnya, jika tidak ingin siswanya terlambat datang ke sekolah, maka guru harus disiplin. Jika ingin siswa berkata sopan, maka guru harus mendidiknya dengan kasih sayang dan menghindari kata-kata kotor.
Wallahu a'lam bishshawwab