Hijrah Pada Islam Kaffah



Oleh :  Khalida Abdul Rahman

Berbicara tentang hijrah tak pernah terlepas dari peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Momentum hijrah ini pun ketika pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khattab, kaum Muslim atas dasar usulan Syaidina Ali bin Abi Thalib, mereka menetapkan peristiwa ini sebagai penetapan awal penggalan dalam tahun  baru Islam berdasarkan perhitungan tahun qamariyyah.

Hijrahnya Rasulullah tak hanya dapat kita maknai untuk sekedar berpindah tempat dari Makkah ke Madinah, bukan untuk lari dari intimidasi Kafir Quraiys terhadap kaum Muslim, dan bahkan bukan karena sikap pecundang dari dakwah hingga mereka lebih memilih dakwah ke Madinah. Akan tetapi, ini karena bentuk ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya. Sebagaimana layaknya jawaban seorang Muslim ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu adalah “Sami’na Wa Atho’na”.

Hijrah adalah suatu aktivitas untuk meninggalkan perbuatan yang buruk menuju pada kebaikan. Ketika seorang hamba memulai tahap hidupnya untu berhijrah, maka dalam dirinya jika  ada aktivitas buruk yang pernah dilakukannya, ia harus meninggalkan aktivatas itu menuju pada kebaikan.

Memasuki tahun baru hijriah 1441 ini, kita seharusnya menengok perjalanan panjang kondisi negeri di seluruh dunia saat ini.

Bahwa sungguh, tak ada sama sekali perubahan dari tahun ke tahun pada kebaikan, negeri Muslim masih terjajah, kondisi mereka lemah fisik maupun psikis. Kita melihat bagaimana kondisi Muslim Uighur, Rohingnya, Kashmir, dan masih banyak problem lain lagi  yang tidak dapat diselesaikan negara. Mereka di bunuh, diusir dari negerinya sendiri, bahkan hanya untuk beribadah saja sulit. Sementara negeri Muslim lainnnya yang tak mengalami penjajahan secara fisik, mereka acuh terhadap kondisi saudarnya yang di luar sana, hedonisme, tak dekat dengan Rabb-Nya, bahkan menjadi agen-agen penjajah untuk melancarkan opini sesat di tengah-tengah kaum Muslim.

Malapetaka kehancuran terjadi di seluruh dunia, tak hanya menimpa Muslim, namun juga umat lainnya, dalam negeri maupun luar negeri.

Di Indonesia misalnya, kriminalisasi para Ustadz maupun ulama tetap terjadi hingga kini, terlebih lagi ajaran Islam yakni Syari’ah dan Khilafah. Mereka pun tetap anti terhadap bendera tauhid, dengan opini yang disampaikan kepada umat bahwa bendera tauhid adalah bendera-nya terorisme. Padahal sungguh itu adalah benderanya umat Muslim, diperkenalkan langsung oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam, dengan kalimat yang tertulis di dalamnya itulah kita hidup dan mati. Sebagai seorang Muslim, kita harus bangga dengan identitasnya. Setiap Muslim pun berharap ketika di akhir hidupnya kalimat yang terucap adalah Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah.

Semua umat di belahan dunia manapun masih sama, menerapkan hukum buatan manusia berdasarkan jalan demokrasi, yang memutuskan sesuatu tak dilihat halam-haram atas hukum syara’. Sebab suara mayoritas yang dibutuhkan.

Tahun baru 1441 Hijriyah saat ini, Palestina pun masih tetap dijajah, penguasa Muslim pun masih tetap diam, mereka tak mampuh menyelesaikan konflik yang menimpa negeri-negeri Muslim, meskipun telah terbentuk PBB. 

Negara masih tetap menerapkan sistem riba, bahkan Freepot masih tetap dikuasai asing. Dengan penerapan sistem Kapitalisne ini, mengakibatkan semua lini kehidupan kita dijajah, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya.

Bukti bobroknya penguasa yang tak mampuh mengatasi problem umat akibat kapitalisme ini, seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga bagi kita untuk menengok kembali ibrah dari perjalanan Rasulullah, bagaimana ketika beliau menyelesaikan setiap problem pada masa daulah Islam di Madinah.

Tak pernah keluar sedikitpun dari lisan Rasulullah dalam mengadapi lika-liku kehidupan kecuali Islam. Sebab Islam adalah solusi terbaik, dan tanpa solusi Islam tak akan bisa diselesaikan suatu problem sampai pada akarnya.

Maka selayaknya momentum Hijriayah 1441 ini, kita bersama-sama melakukan hijrah pada sistem yang terbaik yaitu Islam, dengan penerapan syari’at Islam secara Kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyyah ala minhaj Nubuwwah.

Kita bersama meninggalkan sistem buruk, yang tak mampuh menyelesaikan problem umat, menuju hijrah pada Islam Kaffah yang hanya bisa di terapakan dengan institusi Khilafah Islamiyyah. Maka dari itu, konsekuensi dalam hijrah ini membutuhkan keistiqomahan  untuk maju di jalan dakwah, sebagai tanda patuhnya seorang hamba kepada Rabb-Nya, agar menjadi umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, demi menggapai ridho Allah Subhanahu Wata’ala.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak