Oleh: Maya. A (Gresik)
Desakan referendum atau penentuan nasib sendiri untuk wilayah Papua Barat kembali bergaung. Sebagai bagian dari perjuangan tersebut, juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo mengatakan pihaknya akan menyerukan aksi mogok sipil nasional di seluruh wilayah Papua Barat.
Menurut Victor, tuntutan referendum akan dilakukan secara terus-menerus karena baginya, Papua dalam kondisi dijajah Indonesia. Oleh karena itu, dialog dengan Jakarta akan tetap terbuka namun terbatas pada perundingan untuk meminta referendum dan pengawasan internasional.
Sayangnya kata Victor, tokoh-tokoh Papua yang selama ini bicara dengan pemerintah adalah "orang-orang oportunis yang selalu masuk dalam konflik Papua untuk kepentingan pribadi dengan penguasa". (CNN 31/8)
Rekam jejak Papua dalam memperjuangkan kemerdekaan memang tidak main-main. Terbukti dengan masifnya propaganda serta lobi yang dilakukan - baik level regional Pasifik dan internasional- oleh para diplomat yang tergabung dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Perlawanan di dalam negeri sendiri pun tak kalah mengkhawatirkan. Persenjataan yang mereka miliki pada akhirnya berhasil merenggut puluhan nyawa tak berdosa dari kalangan sipil maupun aparat. Dan termutakhir, dugaan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa di Jawa Timur nampaknya semakin menyulut konflik yang ada. Demonstrasi rusuh yang terjadi di Jayapura hingga menyebabkan kelumpuhan, pengibaran bendera bintang kejora di depan Istana Merdeka adalah secuil bukti betapa referendum begitu didamba.
Ironisnya, upaya disintegrasi yang sistemis ini masih saja berlarut hingga kini. Negara seolah tak memiliki power untuk merangkul, menjaga dan mempertahankan Papua yang mestinya menjadi bagian dari tanggungjawabnya.
Tidak bisa dipungkiri, sistem sekuler yang masih saja diadopsi membuat separatisme menjadi momok menakutkan bagi keutuhan suatu negara. Sistem sekuler ini pulalah yang membuat negara tidak bisa bersikap tegas terhadap kelompok separatis yang dibacking oleh kekuatan asing. Lihat saja bagaimana OPM masih mampu mempertahankan regenerasi kepemimpinannya hingga hari ini. Sehingga adalah picik jika keterlibatan asing hanya dimaknai sebagai upaya pembelaan beratas namakan HAM. Karena sejatinya, sumber daya alam yang melimpah akan lebih mudah dijarah bila bumi cendrawasih bisa melepaskan diri dari NKRI.
Dalam pandangan Islam, menjaga persatuan kesatuan merupakan suatu kewajiban, dan memisahkan diri darinya merupakan keharaman. Oleh karenanya Islam menetapkan sanksi yang sangat tegas berupa had (melalui militer) bagi siapapun yang melakukan tindakan bughat/makar terhadap daulah/negara.
Namun, meski tindakan tegas dengan memanfaatkan kekuatan militer dilakukan, aspek lain seperti pendekatan politik tetap tidak boleh diabaikan. Bahkan sangat penting untuk membongkar rencana jahat negera asing sekaligus untuk memadamkan api separatis.
Disamping itu, mencegah segala bentuk intervensi asing, memata-matai kaum harbi fi'lan, memutus kontak/hubungan kerja sama warga negara dengan pihak luar negeri serta menerapkan kebijakan satu pintu melalui departemen luar negeri adalah sederet upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah gerakan separatis ini. Yang tak kalah penting, negara harus bisa menjalankan fungsinya sebagai junnah dan pemelihara seluruh urusan rakyat. Bukan menjadi pion kekuasaan bangsa lain yang dengannya justru menyengsarakan hingga memunculkan hasrat suatu wilayah melepaskan diri karena adanya ketidakadilan sikap.
Demikianlah, sempurnanya Islam yang teraplikasikan secara kaffah dalam bingkai daulah. Ia menjaga kesatuan-persatuan serta melarang perpecahan. Namun, Islam juga mengacuhkan segala perbedaan dan perselisihan yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan persatuan.