Di Manakah Nurani untuk Mengayomi?




Oleh : Imayanti Wijaya


Apa yang kau rasa
Wahai para pengayom negeri?
Adakah rasa perih menyayat hatimu?
Adakah pilu memenuhi relung kalbumu?
Adakah rasa bersalah membayangi hari-harimu?

Menyaksikan rakyatmu jatuh satu persatu
Menghirup asap pekat yang bisa saja membuat sekarat
Tidak adakah sedikit pun iba dalam hatimu menyaksikan penduduk negeri 
Yang tengah tak berdaya ini?

Sejuta tanya berkecamuk dalam diri
Jika sedikit rasa pun tak pernah ada
Lalu kemana rakyat ini menggantungkan asa?
Jika sedikit peduli pun tak jua diberi
Lalu kemana rakyat ini harus mencari tempat bersandar diri?

Dimana kalian ketika rakyat ini merintih dalam derita?
Dimana kalian saat rakyat menjerit dan meronta?
Hati kami sakit
Hidup kami terhimpit
Apa pernah kalian memikirkannya walau sedikit?

Ketika yang kami dapat hanyalah dusta
Ketika yang kami rasa hanya bualan janji tanpa makna
Kalian pun berlalu begitu saja
Meninggalkan rakyat yang tengah merintih dalam perih. Terperdaya dibalik topeng kemunafikan yang memuakkan
Serta mulut manis penuh bisa

Ketika rasa malu mulai memenuhi relung kalbu
Karena kepulan asap yang mulai  mengganggu
Negara tetangga mulai terusik
Cibiran pun mulai menggelitik
Kegagalan mengendalikan asap dinilai sebagai prestasi buruk
Membuat harga diri bangsa ini kian terpuruk

Barulah kemudian dipikirkan berbagai rencana
Walau nyatanya hanya sebatas wacana
Nyatanya andalannya hanya dengan mengandalkan
Kerjamu hanya sebatas menjentikkan jari tangan

Negeri ini tak ubahnya macam anak ayam yang kehilangan induk
Dibiarkanlah rakyat mengurusi urusannya sendiri
Tanpa kuasa menggugat
Tanpa berani menggantungkan harap

Keluhan negara tetangga mulai jadi perhatian
Tapi derita rakyat diabaikan
Kepulan jerebu yang kian mengganggu
Menyesakkan nafas dan mengotori paru
Tapi kalian tetap saja bertahan dalam bisu
Tanpa ada kejelasan sampai kapan rakyat harus menunggu

Wahai penguasa negeri
Tidakkah kalian mau mengerti
tangis dan derita yang menghimpit rakyat saat ini?
Tidak inginkah kalian membuka mata hati?
Untuk sekedar merasa betapa derita rakyat sudah tak tertahankan lagi 

Bukankah hati ada untuk merasa?
Bukankah kepekaan itu ada untuk bisa mengindera?
Hati kalian bukan batu
Tidakkah tersisa sedikit saja bisa ikut merasa pilu
Sayangnya hati itu terlanjur bebal tak bergeming
Sekalipun yang terjadi sudah sedemikian genting
Sudah tertutupkah mata hati?
Ataukah memang kalian memang tak punya hati?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak