Oleh: Anita Herlina, S.ST
(Aktivis Muslimah Tapin)
Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
Alih-alih mau menggiatkan pemberantasan korupsi, justru pemerintah dan DPR pada Selasa (17/9) lalu resmi mengesahkan perubahan Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi UU KPK. Pengesahan ini dilakukan ditengah penolakan yang disampaikan oleh KPK, publik dan kalangan akademisi. Baik Pemerintah dan DPR mengklaim bahwa Revisi UU KPK bertujuan menguatkan kelembagaan KPK, bukan untuk melemahkan sebagaimana dituduhkan banyak pihak, sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi 26 persoalan dalam revisi Undang-Undang KPK yang nantinya berisiko melemahkan kerja lembaga antirasuah tersebut. Identifikasi itu disimpulkan oleh tim khusus yang dibuat KPK.
"Tim KPK sedang menganalisis terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR 17 September 2019. Kami mengidentifikasi 26 persoalan dalam RUU KPK tersebut yang berisiko melemahkan kerja KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Rabu (18/9).
Selain itu Revisi UU KPK juga memberikan dampak lain berupa korupsi kini dianggap sebagai perkara biasa, bukan extraordinary crime, kewenangan pimpinan KPK dibatasi, kewenangan merekrut penyelidik independen dihilangkan dan perkara korupsi yang sedang ditangani bisa tiba-tiba berhenti.
Jika kita telisik lebih dalam, ada beberapa faktor mengapa pemberantasan korupsi sangat sulit dilakukan. Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari negara dan kehidupan menyebabkan nilai-nilai ketaqwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Akibatnya tidak ada kontrol internal yang built in menyatu dalam diri politisi, pejabat, aparatur dan pegawai.
Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk membiayai kontestasi menjadi kepala daerah bahkan presiden, tidak mungkin tertutupi dengan gaji dan tunjangan selama menjabat.
Ketiga, korupsi telah begitu berurat berakar, sementara sistem pengendalian masih lemah. Berbagai laporan BPK dari tahun ke tahun membuktikan hal itu. Banyak dari temuan BPK yang terindikasi kasus korupsi atau merugikan negara tidak ditindak lanjuti oleh penegak hukum.
Keempat, dalam sistem politik yang ada, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Sayangnya dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi, dan cukong pemberi modal politik amat berpengaruh.
Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Aroma pelemahan KPK yang disinyalir diantaranya revisi UU adalah sinyalemen hal itu. Di sisi lain, masyarakat merasakan KPK masih terkesan tebang pilih dan tersandera oleh kepentingan politik politisi dan parpol bahkan lembaga lain.
Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera.
Pemberantasan korupsi akan sangat sulit dilakukan jika sistem yang digunakan masih sistem yang ada sekarang, buktinya sampai saat ini masalah korupsi tidak pernah tuntas bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya, Hal ini terjadi karena sistem sekuler yang sedang diberlakukan saat ini justru menjadi sebab maraknya korupsi. Oleh karena itu, diperlukan sistem lain yang akan mampu menyelesaikan korupsi hingga akarnya. Tidak lain sistem tersebut adalah sistem Islam.
Berikut beberapa faktor bagaimana sistem Islam mampu memberantas korupsi: pertama, dasar aqidah Islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketaqwaan pada diri politisi, pejabat, aparat, pegawai, dan masyarakat. Hal ini melahirkan kontrol dan pengawasan internal yang built in menyatu dalam diri pemimpin, politisi, pejabat, aparatur dan pegawai, yang bisa mencegah mereka untuk korupsi.
Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidak mahal. Faktor maraknya korupsi yaitu untuk mengembalikan modal biaya politik plus keuntungan jelas tidak ada. Karenanya tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan modal ditambah keuntungan itu.
Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amar ma’ruf dan nahyi munkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa. Anggota Majelis Umat tidak memiliki kekuasaan politik dan anggaran sehingga mafia anggaran tidak akan terjadi.
Keempat, struktur dalam sistem Islam, semuanya berada dalam satu kepemimpinan kepala negara yakni imam atau khalifah, sehingga ketidakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi.
Kelima, praktek korupsi, andai terjadi, bisa diberantas dengan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tidak terjadi. Dalam syariah, kriteria harta ghulul, yakni harta yang diperoleh secara illegal itu jelas. Harta yang diambil/ditilap di luar imbalan legal; harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan—sekalipun disebut hadiah; harta pejabat, aparat dan sebagainya yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal; semua itu termasuk harta ghulul.
Sanksi dalam Islam bagi pelaku korupsi merupakan bagian dari ta’zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindakan korupsi diserahkan pada ijtihad khalifah atau qadhi (hakim). Bisa disita seperti yang dilakukan khalifah Umar, atau tasyhir (diekspos), penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi masyarakat.
Dengan sistem Islam, pemberantasan korupsi bisa benar-benar dilakukan hingga tuntas. Aturan Islam ini lengkap dan efektif dalam menangani masalah tindak pidana korupsi. Islam menyelesaikan masalah dari hal yang mendasar sampai cabangnya. Sistem Islam juga memiliki cara dalam pencegahan, hingga penyelesaian.
Akhirnya berpulang kepada kita, apakah masih tetap enggan kepada syariah atau menyambutnya dengan antusias. Sungguh ironis bila di satu sisi kita sadar tengah mengidap banyak sekali penyakit, termasuk penyakit kronis bernama korupsi, tapi di sisi lain kita menolak secara apriori terhadap kehadiran obat mujarab, yakni syariat Islam, yang mampu menyembuhkan penyakit-penyakit itu. Apalagi, selama ini obat lain telah terbukti gagal.
Wallahu’alam bi al-shawab.[]