Oleh Nuraisah Hasibuan S.S.*
Sepekan terakhir, kembali menghangat berita tentang rencana pengesahan Revisi Undang-Undang Perkawinan yakni Revisi Undang-Undang No. 1, Tahun 1974 tentang batas usia pernikahan perempuan menjadi 19 tahun, dari yang sebelumnya 18 tahun.
Salah satu yang paling getol menyuarakan ini adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yambise. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018, Yohana melihat bahwa 1 dari 4 perempuan menikah pada usia anak yakni 18 tahun dan di bawah 18 tahun. Ia menilai, pernikahan di bawah umur semacam ini pada ujungnya akan menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM), melanggar pemenuhan hak anak serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Demi meluluskan kebijakan ini, Yohana Yambise telah meminta dukungan dari berbagai pihak, agar bersama-sama mensosialisasikan pelarangan menikah di bawah umur. Dukungan bahkan sudah didapatkan dari Menteri Agama, Lukman Hakim. Penting sekali mendapat dukungan dari Menteri Agama karena bolrh jadi Yambise sadar langkahnya ini akan menabrak syariat agama Islam.
Seberapa gentingkah sebenarnya isu pernikahan di bawah umur ini sehingga Menteri PPPA mewajibkan keluarga dan masyarakat untuk menghentikannya? Padahal jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan di bawah umur justru menurun. Di tahun 1085, pernikahan dini mencapai 33%, lalu turun menjadi 26% pada 2010, dan tahun 2018 kemaren turun lagi menjadi 23%. Namun mengapa justru saat ini semakin gencar menyuarakannya?
Ada beberapa alasan yang selalu mereka gaungkan untuk meyakinkan masyarakat agar menghalau pernikahan di bawah umur. Pertama, dalih kesehatan. Dikatakan, pernikahan dini sangat berisiko terhadap masalah kesehatan rahim dan menyebabkan kekurangan gizi. Sebab jangankan menyuplai gizi untuk janinnya, remaja itu sendiri juga masih dalam masa pertumbuhan yang membutuhkan nutrisi. Kemudian opini ini dikuatkan dengan data beberapa kematian remaja saat melahirkan. Padahal sebenarnya, kematian yang sama juga bisa menimpa ibu berusia dewasa.
Kedua, dikatakan pernikahan dini berpotensi besar menyebabkan putus sekolah. Seringkali pasangan muda yang sudah menikah memutuskan untuk tidak lagi bersekolah serta memilih bekerja (suami) dan mengurus rumah tangga (istrri). Mereka menafikan bahwa pendidikan bukan melulu harus didapatkan di sekolah formal. Bahkan pendidikan tentang pembinaan rumah tangga tidak didapatkan di sekolah formal, bukan?
Ketiga, dikatakan pernikahan dini menyebabkan pemiskinan secara struktural. Sebab, suami yang berstatus sebagai pekerja anak biasanya akan diupah rendah oleh perusahaan-perusahaan. Hal ini pastinya akan berdampak pada masalah ekonomi keluarga. Lagi-lagi mereka gagal melihat bahwa penyebab kemiskinan struktural justru pada abainya negara dalam menyediakan/mempermudah lapangan pekerjaan bagi para kepala rumah tangga.
Keempat, dikatakan rumah tangga dengan pasangan muda berpotensi retak. Remaja yang masih labil akan sering cekcok dan sering pula mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ini adalah alasan mengada-ada. Cekcok tidak ada relevansinya dengan usia. Pasangan yang dewasa dan mapan pun banyak yang cekcok. Hanya pasangan yang sama-sama memahami tujuan pernikahan yang akan menjaga rumah tangga terhindar dari cekcok, tak peduli muda atau tua.
Dan yang terakhir, dikatakan pernikahan di bawah umur adalah salah satu faktor terbesar perceraian. Memang, Indonesia adalah salah satu negara yang paling tinggi tingkat perceraiannya. Namun kalau mengacu pada data Direktorat Jendral Pembinaan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) Kementerian Agama pada 2010.
Faktor terbesar perceraian justru adalah perselingkuhan dan ketidakharmonisan. Yang mana ini bisa menimpa baik pasangan berusia muda atau dewasa. Jadi bukan karena pernikahan di bawah umur. Semua propaganda ini berulang-ulang disampaikan melalui media dan seminar-seminar, hingga tertanam di benak masyarakat bahwa nikah di bawah umur itu salah. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa? Apakah ada sesuatu di balik agenda ini?
Agama Islam membolehkan menikahi perempuan di bawah umur. Mayoritas ulama juga mengatakan kebolehan ini. Dalam Islam, fokus pernikahan bukanlah pada usia namun pada tujuan pernikahan tersebut, yakni untuk mendapatkan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah (keluarga yang tenteram, saling berkasih sayang karena Allah, agar lestari keturunan dalam ketakwaan).
Sehingga jika melihat syahwat besar pihak-pihak tertentu yang sangat ingin disahkannya Revisi Undang-Undang ini, timbul prasangka bahwa sebenarnya mereka hanya ingin menyerang syariat Islam. Lihatlah poin-poin dalam Undang-Undang pernikahan yang ingin direvisi:
Poin pertama menyebutkan bahwa batas usia minimun menikah perempuan adalah 16 tahun. Maka usia ini ingin dinaikkan menjadi 18 tahun.
Poin ke dua yang berisi sahnya pasangan menikah jika mendapat persetujuan dari lembaga keagamaan masing-masing juga ingin diubah untuk memfasilitasi legalitas pasangan beda agama yang ingin menikah.
Poin ke tiga ingin direvisi sehingga intinya anak hasil zina yang lahir di luar nikah dianggap memiliki hubunganperdata dengan ayah biologisnya.
Poin ke empat adalah tentang suami dengan statusnya sebagai kepala keluarga. Menurut mereka ini sangat diskriminatif dan bias gender sebab pada faktanya banyak istri yang menjadi tulang punggung keluarga. Artinya, istri juga bisa berstatus sebagai keapla keluarga.
Dan poin ke lima mereka menolak poligami karena katanya poligami ini jadi alat para suami untuk memaksa isteri menyetujui suami untuk menikah lagi.
Mencermati poin-poin yang mereka kritisi, menjadi sangat jelas bahwa yang diserang itu adalah syariat Islam. Penekanan mereka hanya pada poin pertama, yakni tentang pernikahan di bawah umur, hanyalah penyamaran untuk meraih banyak dukungan.
Jika betul mereka peduli pada kesehatan, pendidikan, dan keselamatan generasi muda, mengapa justru propaganda yang sama besar tidak dikerahkan pada masalah kenakalan remaja, sex bebas, dan narkoba? Apakah lebih baik pacaran daripada menikah muda? Apakah tidak ada hal penting lain yang bisa diurusi ketimbang mengusili hal yang sudah berjalan dengan wajar?
Semoga masyarakat semakin cerdas melihat sehingga mau bersama-sama bangkit melawan? Karena jika rakyat tetap diam, maka Mereka tidak akan lelah memfitnah syariat Islam yang sempurna dengan uslub-uslub yang seolah-olah menunjukkan kepedulian dan empati. Padahal sejatinya tidak.
*Pemerhati sosial dari Tangerang