Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)
Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi nggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal_ Sujiwo Tejo, budayawan.
Sarkastis. Satu kata yang tepat untuk kutipan di atas. Namun mau bagaimana lagi? Selain mahal juga ibarat mantra sakti mandraguna. Semakin dirapalkan makin banyak yang tertangkap tangan. Terbukti tanpa keraguan, negeri ini sudah digerogoti perilaku korupsi. Darurat indeed.
Meski Indeks Persepsi Korupsi diklaim meningkat naik 1 poin menjadi 38 dari skala 0-100 (Transparency International, 29/1/2019), tapi di hampir setiap instansi dan lembaga pemerintah, praktik rasuah bukan barang langka. Modusnya beragam, mulai dari jual beli jabatan hingga suap dalam proses pengadaan barang dan jasa.
Tak heran bila penangkapan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh komisi anti rasuah alias KPK tak kunjung henti jadi berita. Lalu apakah karena itu KPK seolah dikebiri sedang korupsi semakin sakti? Entah, yang jelas tak sedikit pihak yang memandang UU KPK yang baru saja disahkan berimbas pada pelemahan KPK. Termasuk Febri Diansyah, juru bicara KPK sendiri. Ia menilai UU KPK tersebut memangkas sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. (kompas com, 25/9/2019).
Mulai dari keberadaan Dewan Pengawas KPK, status ASN bagi penyidik KPK hingga izin penyadapan yang harus dimiliki sebelum penyidikan.
Korupsi Sakti, Buahnya Demokrasi
Lagi, kesaktian korupsi teruji. Tak lama pasca RUU KPK ketok palu, demonstrasi pun marak terjadi. Semua elemen masyarakat yang tak setuju serentak bangkit menyalurkan aspirasi. Tak terkecuali mahasiswa dan kaum akademisi. Setelah sebelumnya gerakan mahasiswa dituding mati suri. Mereka yang tak jarang larut dalam kesenangan pribadi kini maju membela pertiwi. Patut diapresiasi. Tak lupa duka mendalam bagi yang tertembak mati. Bertambah yakin jika korupsi memang pantas jadi musuh bersama yang sejati.
Sayangnya acapkali terlupa bahwa korupsi buah dari demokrasi. Mahalnya ongkos politik meniscayakan para kader partai terpilih berupaya mengembalikan modal.
Merujuk data KPK selama lima tahun terakhir cukup sebagai bukti. Tersaji bagaimana kader-kader partai yang menduduki jabatan seperti kepala lembaga/kementerian, anggota DPR, DPRD, gubernur maupun wali kota/bupati terjerumus dalam kubangan korupsi.
Pada 2018, tindak pidana korupsi yang melibatkan keempat jenis jabatan publik tersebut berjumlah 78 dari 129 kasus yang ditangani KPK. Padahal, pada 2017 hanya ada 34 dari 123 kasus, 2016 sejumlah 35 dari 99 kasus, dan 2015 berjumlah 29 dari 62 kasus. Terbaru tentu kasus yang melibatkan Menteri Pemuda dan Olahraga berujung penahanannya setelah ditetapkan sebagai tersangka. (kompas.com)
Parahnya lagi, demokrasi merupakan sistem yang meletakkan rakyat atas nama legislatif sebagai sumber hukum. Dengan kata lain melandaskan hukum pada aturan buatan manusia, tidak pada Sang Pencipta. Alih-alih merujuk halal haram, justru suara terbanyak yang jadi primadona. Tak peduli meski menabrak norma, perikemanusiaan, korban nyawa bahkan agama.
Maklum bila produk hukum yang dihasilkan sering kali memicu pro dan kontra. Kebolehan aborsi, seks aman, bunga bank (baca:riba), legalnya khamr (miras), UU PMA (Penanaman Modal Asing) serta yang terbaru UU KPK, RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) dan RKUHP hanya sebagian di antaranya.
Alhasil, korupsi menggurita sebab berlangsung secara sistemis. Sedang solusi yang ditawarkan selama ini baru sebatas kelembagaan saja. Terbukti sejak zaman Orde Baru lembaga anti korupsi dibentuk silih berganti. Tapi yang namanya manipulasi malah kerap terjadi. Subur bak cendawan tumbuh di musim hujan.
Korupsi Tumbang dengan Islam
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya dan akan terus berjatuhan selama pohonnya tegak. Demikian pula korupsi. Untuk membasminya mutlak dengan menebang pohon hingga ke akarnya yang tak lain demokrasi. Selanjutnya diganti dengan Islam.
Mengapa Islam? Karena berbeda dengan demokrasi yang mengabaikan norma ketuhanan, Islam justru dibangun berdasarkan akidah Islam dan ketakwaan kepada Allah. Dua faktor yang terbukti ampuh membentuk self control alias pengendalian diri. Merasa selalu diawasi Allah hingga menjadikan para pejabat kebal segala bentuk penyelewengan maupun kolusi. Melulu yakin Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui sampai ke hal yang sifatnya pribadi. Dengan sendirinya tak butuh disadap apalagi dimata-matai.
Firman Allah swt.,
“Hak membuat hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (TQS Yusuf: 40).
Demikianlah penanganan korupsi pun tak luput dari pengaturan Islam. Ketimbang terus disibukkan mengejar dan menangkap pelaku, Islam telah lebih dulu menyiapkan pencegahannya antara lain:
Pertama, negara memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka.
Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, negara menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas.
Ketiga, negara juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka negara bisa merampasnya.
Keempat, negara juga menetapkan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Adapun negara yang dimaksud tentu yang menerapkan syariah Al Khalik secara menyeluruh tanpa kecuali. Sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah saw. di Madinah hingga khulafaur rasyidin dan para khalifah setelahnya. Bahkan harusnya diterapkan hingga akhir zaman.
Simak di masa Khalifah Umar bin Khattab. Beliau pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Para pejabat pun dilarang berbisnis demi terhindar dari konflik kepentingan.
Maha Benar Allah dengan peringatan-Nya,
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Almaidah :50). Wallaahu a’lam.