Oleh: Airin Elkhanza (Aktivis Dakwah Kampus dan Member AMK)
Papua menggelegak. Peristiwa pembuangan bendera merah putih di selokan yang berada di depan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya menjadi puncuk unjuk rasa ribuan warga Manokwari Papua. Mereka berdemo berjalan kaki sepanjang 18 kilometer menuju kantor gubernur, menuntut rasialisme terhadap orang Papua harus dihentikan.
Aksi anarkis mewarnai demo. Di Manokwari, gedung parlemen daerah dibakar, pohon di tepi jalan ditebang, ban dan bendera merah putih dibakar, serta pelumpuhan aktivitas dan mobilitas warga.Di Sorong, fasilitas publik bahkan dirusak seperti bandara, mobil-mobil di lahan parkir bandara juga dirusak. Akibatnya, jalan raya dan penerbangan (beberapa jam) lumpuh. Bahkan sampai menjalar ke pembakaran gedung penjara.
Dirangkum dari kompas.com (29/08/2019), 6 fakta terkait aksi demo di Jayapura,Papua, yaitu demo diikuti oleh ratusan orang, terjadi perusakan Mobil Dandim, pembakaran Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP), pembakar Kantor Telkom dan fasilitas layanan publik, situasi yang mulai tenang di sore hari, dan fakta terakhir pemadaman listrik. Selain itu, diinfokan dari CNNIndonesia.com (23/08) juga terjadi pemblokiran internet untuk wilayah Papua.
Kabar terkini Papua, dilansir dari sindonews.com (5/9/2019), dengan prosesi Bakar Batu di Jayapura menandai perdamaian Papua. Pendekatan budaya ini dilakukan untuk simbol perdamaian.
Aksi demo yang awalnya sebagai bentuk protes terhadap dugaan tindakan rasis yang diterima oleh mahasiswa Papua malah berujung wacana referendum dan Papua Merdeka. Terjadi keanehan, kejadian-kejadian ini seperti disetting. Tuntutan Papua Merdeka dan Referendum yang justru terus digaungkan. Isu rasisme nampak hanya dijadikan penghantar sebuah rencana terstuktur yang besar. Persis kasus Timor Timur, akankah skenario yang sama kembali terulang?
Ditambah, adanya 3 elemen ini, mengindikasi keininginan pembebasan papua sudah dirancang sedari jauh-jauh hari.
1. Elemen gerakan bersenjata yaitu TPN/OPM (Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka). OPM inilah yang selalu melakukan penyerangan, kontak senjata dan teror terhadap aparat dan warga sipil.
2. Elemen diplomatik di luar negeri yaitu organisasi ILWP (International Lawyer for West Papua) dan IPWP (International Parliament for West Papua). Kedua organisasi bermarkas di Eropa (Inggris) dan diinisiasi dan dimotori oleh organisasi FWPC (Free West Papua Campaign), dipimpin oleh Beny Wenda, diberi mandat TPN/OPM untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua melalui internasional dengan mendorong PBB untuk membahasnya.
3. Elemen politik dalam negeri, baik LSM-LSM atau organisasi KNPB (Komite Nasional Papua Barat) di Jayapura, guna memberikan dukungan kemerdekaan Papua terhadap konferensi yang dilakukan di London oleh ILWP.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa rusuh Papua, bukan rusuh biasa. Sangat terkait gerakan papua merdeka ini menunggu momentumnya dan ditengarai ada campur tangan pihak asing bermain di dalamnya. Walaupun berhasil damai, namun kasus Papua ini bagaikan bom waktu, yang mana bisa kapan saja terlepas dari bumi Nusantara, jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut dan tanpa pemecahan masalah hingga ke akar-akarnya.
Akar masalah konflik di Papua ini sangat jelas karena penerapan sistem kapitalis yang berujung pada ketidakadilan. Papua yang kaya akan sumber daya alam, namun yang sejahtera justru para penguasaha asing dan aseng, rakyatnya tidak merasakan. Malahan limbah industri yang dibuang serampangan, yang kena getahnya lagi-lagi masyarakat.
Selanjutnya, terkait distribusi harta yang tidak merata. Mantan calon wakil presiden Sandiaga Uno angkat suara bahwa kemiskinan di Papua delapan kali lipat dari pada di Jakarta, padahal daerah disana sangat kaya, pantas saja mereka marah, katanya. Selain itu, ada masalah pendidikan dan kesehatan juga.
Jika wacana Papua Merdeka benar-benar terjadi, ini malah makin menguatkan kungkungan Amerika terutama. Dengan terpisahnya Papua dari Indonesia, ini malah akan memudahkan Amerika untuk menguasai sumber daya alam yang ada. Semakin kecilnya negara, makin memudahkan Amerika untuk menguasai. Sementara Indonesia nantinya pada saat itu hanya bisa diam dan berdalih, karena sekat nasionalisme menyatakan, “urusan diluar negara kita, bukan urusan kita”.
Maka dari paparan di atas patut menyadarkan kita bahwa, Papua merdeka bukan solusi. Lantas apa solusi hakiki dari persoalan ini?
Islam dengan kesempurnaannya menjawab segala permasalahan. Islam yang bukan hanya sekedar masalah ibadah ritual, namun sampai mengatur bagaimana dalam mengatur urusan umat. Syariah Islam tidak melulu membahas perkara akhirat, namun sampai membahas dan menyelesaikan uusan-urusan di dunia. Untuk itu Islam akan menyudahi konflik Papua dengan cara, yaitu:
1. Menutup rapat campur tangan asing.
2. Mengambil alih tambang-tambang yang dikuasai asing dan aseng.
3. Mengelola tambang-tambang yang ada dan membagikan seluruh hasilnya kepada rakyat.
4. Menyediakan layanan gratis (pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan umum lainnya)
5. Menghilangkan diskriminasi suku, bangsa, ras, agama dan golongan.
6. Merangkul OPM ke pangkuan Ibu Pertiwi
7. Bersama rakyat membasmi habis OPM yang masih melakukan pembangkangan.
Dengan solusi ini, maka ketidakadilan akibat sistem kapitalisme akan dibabat habis dan masalah Papua tidak akan terulang lagi. Dengan catatan konsisten menerapkan hukum Islam sebagai acuan. Sebagai tambahan, melakukan itu membutuhkan institusi negara, yang mana dalam Islam institusi itu dikenal dengan Khilafah Islamiyyah. Satu-satunya institusi yang bisa menegakkan syariah-Nya secara menyeluruh.
Jadi kesimpulannya, Indonesia hanya akan sejahtera dalam naungan Islam dan Khilafah, khususnya Papua. Saatnya kita kembali menjadikan Islam sebagai solusi,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al-A’raf: 96)
Wallahu ‘alam biashshawab.