Cinema Aroma Liberalisme



Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

(Member Komunitas Menulis Revowriter)


Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Nasyirul Falah Amru menegaskan penolakan terhadap penayangan film The Santri yang diinisiasi PBNU dan di sutradarai Livi Zheng dilakukan oleh mereka yang mempunyai pandangan sempit.

Sebab, film tersebut bertujuan untuk kebaikan bangsa, dengan menggelorakan semangat cinta tanah air serta saling menghormati antar agama. Dan yang terpenting, lanjut pria yang akrab disapa Gus Falah itu, film The Santri sudah direstui Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. Ia juga menghimbau warga NU tidak usah terpancing ataupun menanggapi berlebihan. 

Seperti diketahui, menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, Hanif Alathas menyatakan sikap menolak penayangan film The Santri. Hanif sendiri merupakan Ketua Umum Front Santri Indonesia (FSI). Dia menilai film The Santri tidak sesuai dengan syariat Islam karena cenderung 'liberal'.

Film The Santri sendiri akan ditayangkan di bioskop pada awal Oktober mendatang. Menurut laman nu.or.id, The Santri merupakan film yang diinisasi PBNU melalui NU Channel yang bekerja sama dengan sutradara Livi Zheng dan Ken Zheng serta Penata musik Purwacaraka. Dalam produksi film ini, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan Wakil Sekjen PBNU Imam Pituduh menjadi executive producers (Gesuri.id,16/9/2019).

Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Sebelum ada datangnya penjajah Belanda yang kemudian mendirikan sekolah-sekolah khusus bagi anak-anak pegawai Belanda dan pejabat-pejabat pribumi sekaligus menetapkan kurikulum pendidikannya, pesantren telah hadir mengedukasi masyarakat sekaligus menanamkan nilai-nilai agama yang kuat.

Hasil dari pendidikan ala pesantren ini pulalah yang telah memunculkan jiwa cinta agama, tanah air dan enggan berada di bawah ketiak penjajah. Setiap ulama dan raja-raja tersulut jiwa jihadnya begitu melihat kesewenang-wenangan penjajah. Di setiap wilayah tanah air, terpercik api kebencian terhadap penjajahan. Sebut saja perlawaan pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien dan lain-lain.

Sepak terjang mereka dikaburkan oleh pemerintah Belanda, seolah-olah mereka hanya semata- mata membela tanah air dan kemudian pemerintah Indonesia memberi gelar pahlawan nasional. Ironi! padahal yang mereka serukan jelas jihad. Pengaruh ulama dan pendidikan pesantren tak bisa luput dari nama-nama diatas.

Lantas, hari ini, dengan serta merta ada pihak yang mengklaim lebih cinta tanah air sekaligus toleransi dengan mengambil latar belakang pesantren. Dalam bentuk cinema, yang artinya ada syiar didalamnya berupa audio visual. Dengan tujuan memberi info dan pemahaman baru tentang sebuah nilai. 

Didukung sederet nama yang sebelumnya sudah menjadi ikon remaja dan masyarakat bukan berarti tontonan ini bisa menjadi tuntunan. Pertama karena ada upaya mengaburkan arti toleransi yang sebenarnya. Sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kaum muslim dalam Quran surat Al-Kafirun, bahwa agamamu agamamu, agamaku agamaku. Aku tidak beribadah dengan caramu dan engkaupun tidak beribah sepertiku. 

Maka toleransi bukan justru mendatangi tempat ibadah agama lain. Parahnya sutradara Livi Zheng mencatut salah satu peristiwa Rasulullah menyuapi wanita Yahudi sebagai kebolehan kaum muslim masuk ke tempat ibadah agama lain. 

Kedua ada upaya mengadu domba antara sesama kaum muslim dengan menginterprestasikan pendidikan ala pesantren yang sarat nilai liberalisasi. Jelas hal ini menyakiti hati kaum muslim. Sekalipun niatan mereka "baik" namun bukan berarti boleh mengada-ngada dalam hal penyajian faktanya. Apalagi lembaga yang selama ini begitu dipercaya masyarakat mampu membina anak-anak mereka faqih fiddin kemudian dicampurkan dengan budaya barat, alangkah rendahnya.

Maka, menolak pemutaran film ini adalah wajib dan menunjukkan bahwa inilah sikap kaum muslim sejati. Bukan justru kelemahan atau sempitnya cara berpikir. Karena setiap individu muslim wajib untuk senantiasa terikat dengan perintah dan larangan Allah. Zina dan kholwat jelas dilarang agama, namun mengapa dalam film justru menjadi daya pikat? bukankah ini sudah satu bukti ngawurnya pemahaman mereka tentang halal dan haram.

Hal ini bisa terjadi karena lemahnya penjagaan negara terhadap akidah umat. Padahal hal ini sangat berbahaya jika diabaikan. Akidah seseorang bisa saja melenceng dan kemudian mempersekutukan Allah dengan sesuatu, yaitu pemikiran liberal dan menghalalkan segala cara. 

Umat butuh perisai, yang mampu menjaga ibadah dan akidahnya tetap berada dijalan yang lurus. Dan ini tidak akan terwujud jika masih menganggap syariat tak laku dan Islam hanya diambil sebagian. Sebab Islam adalah sempurna, sebagai solusi terhadap semua persoalan umat dan pembeda mana yang benar dan salah. Sungguh layak sekali jika kaum muslim mendedikasikn hidupnya untuk berjuang menerapkan Islam kaffah, bukan justru membebek pada pemikiran asing. 

Wallahu a' lam biashowab.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak