BPJS Naik Rakyat Makin Tercekik



Oleh: Ainun Mardiyah (Pemerhati Generasi)


BPJS Kesehatan semakin diperbincangkan di tengah masyarakat. Termasuk masyarakat biasa yang dulu tak pernah peduli dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dulu hanya bisa menerima dan berbaik sangka kepada pemerintah. Tetapi kali ini mereka menjerit seiring dengan dinaikannya iuran BPJS Kesehatan oleh pemerintah.

“Kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berlaku mulai 1 September 2019.”  Begitulah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani di gedung DPR, Kamis (29/8/2019). (Jakarta, CNN.Indonesia)

Puan Maharani menambahkan kenaikan iuran telah dibahas oleh Kementrian Keuangan (Kemenkeu) bersama Komisi IX dan Komisi XI DPR.  Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan peserta kelas mandiri I naik dari Rp80 ribu per bulan menjadi Rp160 ribu per bulan, lalu kelas mandiri II naik dari Rp59 ribu per bulan menjadi Rp110 ribu per bulan dan iuran kelas mandiri III meningkat menjadi Rp42 ribu per bulan dari Rp25 ribu per bulan. (CNN Indonesia 29/8/2019)

Kenapa iuaran BPJS Kesehatan harus naik?
Dikutip dari CNN Indonesia 29/8/2019, Menteri keuangan Sri Mulyani menyebutkan tanpa kenaikan iuaran, defisit BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapai Rp 32,8 triliun. BPJS Kesehatan diprediksi mengalami defisit anggaran sebesar Rp28 triliun, sehingga untuk mengurangi beban pemerintah tidak ada jalan lain selain dengan menaikkan iuran. Hal ini mengacu pada UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN bahwa iuran adalah jalan satu-satunya untuk menambah penerimaan, sehingga iuran defisit bisa segera ditambal. Juga mengacu pada pasal 161 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menyebut besaran iuran memang harus ditinjau setiap dua tahun, namun penyesuaian terakhir kali dilakukan pada tahun 2016. Penyesuaian selanjutnya seharusnya dilakukan pada tahun 2018 namun pada saat itu langkah penyesuaian belum juga dilakukan. Baru dilakukan penyesuaian di tahun 2019. Jadi dalam hal ini pemerintah sudah merasa berbuat baik kepada masyarakat karena sudah menunda kenaikan anggaran BPJS Kesehatan.

Meski kenaikan iuran BPJS sudah sesuai dengan UU dan Perpres namun penolakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah diteriakkan oleh masyarakat sejak kenaikan tersebut baru diusulkan pada bulan Agustus. Berdasarkan poling yang dilakukan oleh CNNIndonesia.com yang diikuti oleh 898 pembaca pada Selasa (27/8). Diketahui bahwa 63% di antara mereka tidak setuju dengan usulan kenaikan tersebut. Kenaikan iuran yang luar biasa besarnya jelas sangat membebani masyarakat. Jika dalam satu keluarga ada lima orang yang masing-masing menjadi peserta kelas mandiri I, berarti seorang kepala keluarga harus membayar iuran setiap bulannya sebesar Rp800 ribu.

Alasan yang lain diungkapkan oleh Syakir salah seorang peserta BPJS. Ia mengatakan sangat tidak setuju dengan kenaikan iuran BPJS, apalagi katanya untuk menutupi defisit eks PT Askes (Persero). “Soalnya dari yang saya baca tunjangan Direktur Utama BPJS Kesehatan saja sampai Rp100 juta," (CNNIndonesia.com 29/8/2019).

Di tengah defisit,  Menteri Keuangan Sri Mulyani memutuskan untuk menambah ‘bonus’ bagi anggota dewan pengawas dan anggota dewan direksi BPJS. Penambahan bonus tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112 Tahun 2019 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Dewan Direksi BPJS. (CNN Indonesia/senin, 12/08/2019).

Mengutip Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT), BPJS Kesehatan menganggarkan beban insentif kepada direksi sebesar Rp32,88 miliar. Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp4,11 miliar per orang. Dengan kata lain seluruh direksi menikmati insentif Rp342,56 juta per bulan.

Sementara itu beban insentif Dewan Pengawas BPJS Kesehatan dianggarkan Rp17,73 miliar per tahun. Jika dibagi kepada tujuh dewan pengawas, maka tiap kepala mendapatkan insentif Rp2,55 miliar. Jika dirata-rata ke dalam 12 bulan, maka insentif yang diterima dewan pengawas adalah Rp211,14 juta per bulan. (CNN Indonesia.com, 14/08/2019). Jadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) itu menjamin kehidupan sosial siapa?

Inilah bukti nyata ketika sebuah negara menerapkan sistem kapitalis. Terlihat jelas dari setiap kebijakan perundangan yang dikeluarkan negara, semakin terlihat penguasa berkhidmat pada kepentingan para kapitalis. Negara tidak akan mungkin bisa mengurusi kepentingan rakyatnya, negara ibarat pedagang produk dan jasa layanan publik yang menjadi kepanjangan tangan para kapitalis. Sudah sepantasnya kita memutuskan kepercayaan pada sistem kapitalis demokrasi liberal yang telah gagal mengurusi kepentingan umat.

Kesehatan masyarakat dalam sistem khilafah
adalah salah satu kebutuhan pokok publik yang pemenuhannya diwajibkan atas kepala negara (khalifah). Negara wajib menyediakan semua fasilitas  kesehatan seperti rumah sakit dan semua perlengkapan yang dibutuhkan oleh pasien. Semua fasilitas negara ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat baik yang mampu ataupun yang tidak mampu, masyarakat muslim ataupun non muslim secara gratis.

Semua fasilitas yang disediakan oleh negara untuk memenuhi kebutuhan pokok publik seperti kesehatan dan pendidikan  masyarakat dibiayai oleh baitul mal (kas negara) yang bersumber dari harta kepemilikan umum seperti kekayaan alam berupa barang tambang dan lainnya. 

Tercatat dalam sejarah pada masa kekhilafahan Bani Abbasiyah, kesehatan masyarakat sangat diperhatikan. Tidak hanya di kota-kota besar perhatian khalifah terhadap kesehatan sangat dirasakan oleh masyarakat hingga yang ada di pelosok-pelosok. Khalifah juga menyediakan rumah sakit keliling untuk memantau kesehatan masyarakat,  bahkan kesehatan masyarakat yang berada di dalam penjara pun sangat diperhatikan. 

Ali Bin Isa al-Jarrah yang menjadi wazir (pembantu khalifah) di masa Khalifah al-Muqtadir (908-932 M) dan al-Qohir (932-934 M) dikenal adil serta ahli hadits yang jujur, juga penulis yang produktif. Ia pernah mengirim surat kepada Kepala Dokter di Baghdad agar menyediakan dokter-dokter yang akan memeriksa para tahanan setiap hari, membawakan obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara dan mengobati mereka yang sakit. (Ibnu Qifthi, Tarikh al-Hukuma’: hal 148).

Ia juga dikenal sangat kaya raya, pendapatannya 700.000 dinar per bulan yang kemudian ia sedekahkan untuk kemaslahatan umat sebesar 650.000 dinar termasuk untuk wakaf dan lain-lain. Para Khalifah dan pengusa kaum muslim di masa lalu, tidak hanya mengandalkan anggaran negara dalam memenuhi kebutuhan pokok publik terutama untuk membiayai rumah sakit-rumah sakit, perawatan dan pengobatan pasien, tapi mereka berlomba-lomba menginfakkan sebagian hartanya karena ingin mendapatkan pahala yang terus mengalir.

Berbeda dengan negara yang menganut sistem kapitalis dimana rakyat harus menanggung sendiri biaya kesehatan dan bahkan dikomersilkan. Dalam sistem kapitalis rasa sakit rakyat dijadikan lahan untuk mendulang keuntungan bagi para kapitalis. Rakyat dibuat tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhan mereka, karena kesusahan dan penderitaan mereka sudah dikukuhkan oleh UU dan Peraturan Presiden.

Kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan yang layak hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki banyak harta. Sementara rakyat kecil harus berjibaku untuk sekedar mempertahankan hidupnya. Jadi sudah sangat jelas bahwa Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang terdapat di sila ketiga Pancasila tidak bisa terwujud jika negara menerapkan sistem kapitalis.

Jadi solusi tuntas untuk menjamin kesehatan masyarakat adalah dengan mencampakan sistem kapitalis dan beralih ke penerapan hukum Islam secara kafah dalam bingkai khilafah. Sehingga keadilan sosial akan dirasakan oleh seluruh umat (warga negara).
Wallahu a’lam bi ashshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak