Oleh: Nuriya Fakih
Sejak awal diberlakukan tanggal 1 Januari 2014, anggaran BPJS Kesehatan sudah mengalami defisit. Berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit anggaran BPJS Kesehatan di tahun 2014 mencapai Rp 3,3 Triliun, bertambah lagi hingga menyentuh Rp 5,7 Triliun pada tahun 2015.
Persoalan defisit anggaran yang didera BPJS Kesehatan ini tidak bisa dianggap remeh. Ibarat penyakit, defisit anggaran pelaksana program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) kian hari kian menahun. Hingga Agustus 2019 ini defisit anggaran BPJS Kesehatan tercatat sekitar Rp 28 Triliun dengan rincian Rp 9,1 Triliun defisit di tahun lalu dan Rp 19 Triliun defisit di tahun 2019. Selama belum ada perbaikan, diperkirakan akhir tahun 2019 defisit anggaran mencapai Rp 32,8 Triliun.
Defisit anggaran, Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris disebabkan sejumlah hal antara lain karena besaran iuran belum sesuai hitungan Aktuaria DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) yang menyebabkan biaya per orang setiap bulannya lebih besar dibanding iuran per orang tiap bulan dan juga karena terjadi perubahan morbiditas penduduk Indonesia, jumlah penduduk yang sakit terus meningkat dari waktu ke waktu karena belum optimalnya upaya pembangunan kesehatan masyarakat.(m.viva.co.id)
Apa yang diharapkan pemerintah akhirnya terwujud, parlemen memberikan lampu hijau pada pemerintah untuk menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan yang akan efektif berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
Dengan rincian tarif untuk penerima bantuan dan kelas III masing-masing masih tetap yakni Rp 23.000 dan Rp 25.000, kemudian nantinya akan naik menjadi Rp 42.000. Sedangkan iuran BPJS Kesehatan yang sudah pasti naik pada awal tahun depan adalah kelas II dari Rp 51.000 jadi Rp 110.000 dan kelas I dari Rp 80.000 jadi Rp 160.000.
Kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan yang sangat fantastis sampai 100% ini pastinya akan semakin membebani rakyat ditengah kondisi ekonomi yang semakin sulit. Apalagi kedepannya pemerintah akan lebih tegas untuk menindak peserta BPJS nakal yang mangkir membayar iuran dengan berbagai denda yang sudah disiapkan oleh pemerintah sehingga mau tidak mau harus membayar iuran setiap bulannya.
Belum usai masalah kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan setiap bulannya, pemerintah juga berencana mencabut subsidi listrik bagi 27 juta pelanggan 900VA pada 2020 karena dianggap sebagai pelanggan rumah tangga mampu (RTM).
Pencabutan subsidi ini pastinya akan berdampak pada kenaikan listrik bagi 27 juta pelanggan. Sudah jatuh tertimpa tangga dua kali pula, begitulah nasib rakyat saat ini.
Sesungguhnya kesehatan dan energi adalah kebutuhan mendasar yang sangat dibutuhkan rakyat banyak, sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakannya secara cuma-cuma atau kalaupun membayar dengan harga yang tidak memberatkan rakyat.
Saat ini rakyat hanya menjadi obyek pasar atas apa yang seharusnya menjadi haknya, bisa dibilang ada uang ada jasa/produk. Kalau seperti itu faktanya, hal ini menunjukkan bahwa penguasa sebagai pengatur urusan rakyat adalah rezim neolib yang hanya berkhidmat pada kapitalis dan bukan kepada rakyat.
Negara di dalam sistem neolib laksana pedagang produk dan jasa layanan untuk publik sehingga mengabaikan perannya sebagai pengatur. Negara memberikan jaminan kesehatan, pendidikan, kebutuhan pokok dan lain sebagainya dengan kompensasi harga yang membebani rakyat.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem yang ada di dalam Islam.
Dalam sistem khilafah, negara berfungsi sebagai pengatur dan pelindung rakyat sehingga negara berkewajiban menyediakan segala kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, kebutuhan akan energi serta kebutuhan pokoknya.
Tengok saja bagaimana Khalifah Umar bin Khattab memanggul sendiri sekarung gandum untuk wanita yang beliau dapati kelaparan bersama anak-anaknya sebagai bentuk tanggung jawab beliau sebagai pemimpin. Atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berupaya keras selama 2,5 tahun untuk mensejahterakan sampai tidak ditemukan rakyat yang berhak menerima zakat.
Harusnya kepemimpinan mereka menjadi contoh bagi pemimpin-pemimpin umat saat ini. Berharap pada sistem kapitalis untuk melahirkan pemimpin sekaliber Khalifah Umar bagaikan menegakkan benang basah, tak akan pernah terwujud karena pemimpin dalam sistem kapitalis hanya mengarahkan pandangannya pada pemilik modal. Hanya dengan sistem Islam sajalah yang akan melahirkan pemimpin yang pro terhadap rakyat yang menjamin kebutuhan hidup rakyat terpenuhi karena syariat Islam telah menetapkannya.