Oleh : Anjar Rositawati S.Pd
Rencana kenaikan iuran BPJS yang diusulkan menteri keuangan Sri Mulyani akan disetujui oleh Presiden. Tidak tanggung-tanggung, rencana kenaikannyapun mencapai 100%.
Bagi peserta kelas 1 iuran yang diusulkan sebesar 160.000 per bulan per jiwa, dari yg sebelumnya atau saat ini berlaku sebesar 80.000. Untuk kelas 2 iuran yang diusulkan sebesar 110.000 dari yang sebelumnya 51.000. Sedangkan kelas 3 iurannya naik menjadi 42.000 dari yang sebelumnya sebesar 25.500.
Untuk Peserta Penerima Bantuan (PBI) iuran yang sebelumnya 23.000 menjadi 42.000 per bulan per jiwa. Penyesuaian iuran ini diusulkan mulai berlaku Agustus tahun ini untuk PBI dan Januari tahun 2020 untuk peserta umum (detikfinance.com).
Penetapan besaran iuran baru tinggal menunggu penerbitan peraturan presiden (Perpres) yang nantinya akan ditandatangani oleh Jokowi. Dan besarnya iuran sama dengan apa yang sudah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada rapat gabungan komisi IX dan XI kemarin.
Diharapkan dengan adanya kenaikan tersebut bisa menutup defisit keuangan BPJS yang berpotensi sampai 32.84 trilyun hingga akhir tahun 2019 ujar wakil Menteri keuangan Mardiasmo (28/8/2019).
Kenaikan iuran yang terlalu besar dan tidak akan efektif menambal defisit BPJS, menurut Timboel Siregar selaku koordinator advokasi BPJS watch. Bahkan menurutnya lagi sebaiknya kenaikan ini dilakukan secara bertahap dan jangan sampai membebani peserta iuran mandiri (detikhealth.com).
Selain akan semakin membebani masyarakat dengan kenaikan yang bertubi-tubi tahun ini. Kenaikan iuran BPJS ini apakah akan berbanding lurus dengan pelayanan dan fasilitas yang diberikan? Semoga saja demikian. Di awal kemunculan BPJS ini, masyarakat banyak berharap akan semakin mempermudah mereka untuk mendapatkan pelayanan dan fasilitas kesehatan yang "terbaik" karena mereka sudah membayar rutin setiap bulannya untuk itu.
Kesehatan adalah kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia. Maka menjadi wajar jika buat sebagian besar orang rela mengeluarkan uang berapapun jika sudah berkaitan dengan masalah ini. Bahkan mengambil ancang-ancang atau "well prepared" dengan mengalokasikan sejumlah dana sebagai persiapan menghadapi jika suatu saat mereka membutuhkannya.
Di awal terbentuknya BPJS Kesehatan ini adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah kenapa jika memang pemerintah ingin memberikan pelayanan kesehatan, masyarakat harus membayar sejumlah iuran yang ditentukan besarannya. Walaupun tidak dalam kondisi sakit tetap harus membayar rutin tiap bulannya.
Kalau seperti ini apa bedanya negara sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat dengan perusahaan asuransi swasta? Yang akhirnya semua kembali dibebankan kepada masyarakat. Urusan pemerintah tidak lebih hanya sebagai fasilitator saja. Bukan sebagai pelayan rakyat yang sebenarnya.
Alih-alih memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam hal ini kesehatan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat seperti dipalak untuk menyetor sejumlah uang. Mereka tidak bisa mendapatkan fasilitas BPJS jika masih ada tunggakan iuran dan belum membayar dendanya. Walaupun sebelumnya sudah rutin membayar.
Jikapun ada masyarakat yang merasakan manfaat dari BPJS, itu hanya sebagian kecil saja. Dan tidak bisa menafikan fakta buruk yang lebih banyak terjadi. Terlihat dengan jelas bahwa masyarakat dijadikan obyek bisnis oleh BPJS. Inilah fakta dari pelayanan kesehatan dalam sistem demokrasi. Yang tidak betul-betul tulus untuk mengurus rakyatnya. Selama ada uang maka ada pelayanan.
Berbeda dengan pelayanan kesehatan dalam sistem Islam. Daulah Khilafah yang sudah mampu membuktikannya, tertulis dalam sejarah bagaimana khilafah begitu memanusiakan manusia. Memberikan pelayanan terbaiknya tidak hanya dalam hal kesehatan.
Digambarkan betapa senangnya orang-orang yang sakit pada saat itu, karena mereka pulang dengan rasa terhormat. Sebab, semua pasien mendapatkan pelayanan terbaik. Di setiap kota walaupun kota kecil terdapat rumah sakit. Berikut tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, bidan, dan lain-lain yang berkualitas. Ditambah peralatan medis dan obat-obatan yang memadai. Inilah fakta pelayanan kesehatan Khilafah yang diukir tinta emas sejarah peradaban Islam.
Model pelayanan kesehatan terbaik pada saat itu. Dan semua bisa terlaksana disebabkann Khilafah sebagai negara hadir secara "real" dalam menerapkan Islam Kaffah. Negara yang mampu mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Sehingga memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Termasuk memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi warganya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, " Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah laksana penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya." (HR. Al-Bukhari).
Pro dan kontra masih terjadi dengan adanya BPJS kesehatan ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang terlihat tidak setuju dengan adanya BPJS. Karena ditenggarai ada 3 unsur pelanggaran, yaitu:
Pertama, gharar (ketidakjelasan) bagi peserta dalam menerima hasil dan bagi penyelenggara dalam menerima keuntungan.
Kedua, mukhatarah (untung-untungan) yang berdampak pada unsur judi.
Ketiga, riba fadhl (kelebihan antara yang diterima dan yang dibayarkan). Termasuk denda karena keterlambatan.
Dan semuanya itu jatuh hukumnya dalam Islam adalah haram. Yang pastinya banyak mengandung mudhorot dibandingkan manfaatnya. Tidak heran jika pemerintah saat ini menerapkan aturan atau kaidah yang bertolak belakang dengan Islam. Karena asas yang dipakai saat ini adalah sekulerisme atau tidak dipakainya aturan-aturan agama dalam mengatur kehidupan baik itu ranah domestik terlebih ranah publik. Suara terbanyak walaupun bertentangan dengan Islam tetap akan diakomodir selama itu menguntungkan bagi penguasa.
Jadinya mau pilih yang mana, tetap bertahan dengan sistem yang ada, atau kembali kepada aturan Allah?
"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul. Apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.." (QS. Al- Anfaal: 24) Allahu 'Alam