BPJS Defisit Menjamin Kesehatan Rakyat



Oleh : Nur Annisa Dewi *)

 Memasuki tahun kelima sejak 2014, BPJS mengalami defisit yang kian membesar setiap tahunnya. Defisit sebesar Rp 3,3 triliun pada tahun 2014, meningkat menjadi Rp 5,7 triliun pada tahun 2015. Tahun 2016 defisit mencapai Rp 9,7 triliun dan Rp 9,8 triliun pada tahun 2017. Pada tahun 2018, defisit mengalami sedikit penurunan menjadi Rp. 9,1 triliun.(https://databoks.katadata.co.id).  Untuk tahun 2019 ini defisit BPJS diproyeksikan mencapai Rp. 32,84 triliun. (https://www.cnnindonesia.com). Sebagai akibatnya, BPJS menunggak pembayaran kepada ratusan rumah sakit yang menjadi partner BPJS Kesehatan.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Dr dr Fachmi Idris mengungkapkan beberapa alasan yang menjadi penyebab defisitnya BPJS. Salah satunya adalah premi yang ditetapkan pemerintah belum sesuai hitungan aktuaria. Untuk kelas 2 misalnya besarnya iuran saat ini sebesar Rp 51.000 per bulan dari seharusnya Rp 63.000. "Sehingga di kelas ini saja pemerintah harus mensubsidi Rp 12.000 per peserta. Untuk kelas 3, hitungan aktuaria per peserta adalah Rp 53.000 tapi saat ini hanya membayar Rp 25.500 sehingga ada subsidi Rp 27.500.

Selain itu, menurut beliau konsep BPJS kesehatan adalah gotong-royong yakni warga mampu memberikan subsudi kepada yang kurang mampu belum berjalan penuh. Kenyataannya, masih banyak peserta mandiri yang membayar iuran hanya pada saat sakit dan selanjutnya menunggak. Faktor lain, merujuk temuan BPKP, ada data peserta bermasalah, perusahaan yang memanipulasi gaji karyawan, potensi penyalahgunaan regulasi dengan memberikan pelayan rumah sakit lebih tinggi dari seharusnya, dan lainnya. 

Untuk memperkecil defisit, ada tiga opsi yang bisa dilakukan, yakni menyesuaikan besaran iuran, mengatur ulang manfaat yang diberikan, dan suntikan dana tambahan. Untuk suntikan dana pemerintah pada 2015, BPJS Kesehatan telah menerimanya sebesar Rp 5 Triliun. Pada tahun 2016 sebesar Rp 6,8 Triliun, tahun 2017 sebesar Rp 3,6 Triliun, dan 2018 sebesar Rp 10,25 Triliun. Kali ini, pemerintah juga menggunakan opsi lain dengan menaikkan iuran peserta. DPR menyetujui kenaikan untuk kelas I menjadi Rp 160.000, kelas 2 Rp 110.000, dan khusus kelas 3 naik menjadi Rp 42.000 dengan catatan data bermasalah telah diselesaikan. Fachmi menargetkan soal data bermasalah peserta BPJS Kesehatan ini bisa diselesaikan pada akhir September ini. (https://news.detik.com).

Kenaikan iuran BPJS yang akan diberlakuan pada Januari 2020 ini mendapat sejumlah penolakan dari masyarakat. Pasalnya, kenaikan iuran ini akan menambah daftar beban hidup masyarakat. Katakanlah, satu keluarga terdiri dari empat orang. Jika mereka terdaftar BPJS pada kelas-1, maka pengeluaran rumah tangga untuk bayar iuran BPJS sebesar 4 x Rp. 160.000 = Rp. 640.000,-. Jika pengeluaran listrik rata-rata 200 kwh yang harganya nanti mencapai Rp.400.000,- maka total pengeluaran untuk BPJS dan listrik menjadi 1.040.000. Jika penghasilan keluarga hanya ditopang oleh pekerjaan ayah dengan asumsi UMR sekitar 3,7 juta, maka pengeluaran untuk BPJS dan listrik menyedot nyaris 30% penghasilan. Pengeluaran ini belum termasuk kebutuhan makan, bayar kontrakan/cicilan rumah, biaya sekolah anak, biaya transportasi dan lain-lain.

UU 40/2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU 24/2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’.

Jaminan sosial adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri. Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. 

Selain itu, dengan mengadopsi sistem asuransi sosial, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini sangat berorientasi keuntungan (profit). Dana yang dikumpulkan dari masyarakat bisa diinvestasikan guna menggali keuntungan. Berdasarkan Laporan Pengelolaan Program Jaminan Sosial Kesehatan per 30 Juni 2019, bunga deposito menyumbang pendapatan investasi sebesar  Rp 6,64 miliar. Diikuti oleh pendapatan kupon obligasi sebesar Rp1 miliar dan selisih penilaian investasi atas harga pasar obligasi sebesar Rp275 juta. Selain pendapatan investasi, BPJS Kesehatan mencatat pendapatan lainnya sebesar Rp637,60 miliar per Juni 2019. Pendapatan lainnya terdiri dari pendapatan jasa giro sebesar Rp5,82 miliar dan pendapatan lain-lain sebesar Rp631,77 miliar. (https://www.cnnindonesia.com).

Defisit yang terus menerus terjadi di BPJS menunjukkan masalah serius yang semestinya bukan dipecahkan dengan menaikkan iuran. Jaminan Kesehatan merupakan kewajiban negara sekaligus hak masyarakat. Organisasi berorientasi profit sebagaimana BPJS jelas menghitung selalu merugi karena pendapatan dari premi iuran diselisihkan dengan pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Semestinya, jaminan kesehatan masyarakat ini di topang seratus persen dari APBN. Pemberian jaminan kesehatan secara universal yakni tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat, bebas biaya alias gratis, bisa diakses dengan mudah serta pelayanan mengikuti kebutuhan medis bukan dibatasi plafon merupakan impian indah setiap warga negara. Hal ini tentu membutuhkan dana yang tidak kecil. Sumber pembiayaan bisa dipenuhi dengan mengevaluasi sumber-sumber pemasukan negara yang selama ini dikuasasi swasta nasional dan asing. Diantaranya dengan mengambil alih pengelolaan harta kekayaan umum seperti hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas. Selain itu pengelolaan dana zakat oleh negara juga bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara.  

*) Mahasiswi Magister Akuntansi
    FEB Universitas Brawijaya Malang

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak