Oleh : Tri Maya
(Anggota Revowriter)
Pemerintah bakal menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah defisit BPJS Kesehatan. Berdasarkan penuturan Menteri Keuangan Sri Mulyani, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 32 triliun.
Usulan kenaikan iuran itu meliputi kelas I yang semula Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu, kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu. Kenaikan iuran BPJS masih harus melewati dua tahapan sebelum disahkan melalui peraturan presiden.
Kenaikan dua kali lipat itu lantas memunculkan pro dan kontra. Beberapa pihak menilai bahwa itu adalah keputusan yang tepat untuk menanggulangi masalah defisit BPJS. Namun, bagi masyarakat kecil, hal itu memberatkan. Seperti yang diungkap Mutmainah, warga Gunung Samarinda ini. “(Kalau naik) saya merasa keberatan lah, Mbak. Saya ambil kelas satu loh. Kalau bisa sih jangan (naik). Apalagi, saya menanggung empat orang,” harapnya.
Menurutnya, pelayanan BPJS Kesehatan yang diterimanya selama ini sudah lumayan bagus. Sesuai dengan apa yang dia bayarkan. “Seperti saya melahirkan kemarin, sesuai lah dengan yang saya bayar. Saya ditanggung 100 persen. Saya ikut kelas satu BPJS,” pungkas penjual alat tulis dan mainan ini.
Hal senada juga diungkapkan Eko Hendri. Warga yang tinggal di Kilometer 6 ini mengatakan sangat keberatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen. “Keberatan banget. Ini saja kepesertaan BPJS saya turunkan dari kelas dua ke kelas tiga. Ada enam tanggungan BPJS saya, Mbak,” ujarnya.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah ini adalah sebuah kebijakan yang berbasis neoliberalisme. Dimana posisi negara diminimalisir perannya dalam kepengurusan urusan rakyat. Dan rakyat didorong untuk saling bergotong royong memenuhi kebutuhan komunal mereka. Sudahlah negara tidak bertanggungjawab menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyatnya yang lain, negara justru memalak mereka dengan mewajibkan rakyat membayar premi. Dengan kata lain, negara telah memindahkan tanggungjawab ini ke pundak rakyat. Ketika ini sudah ditetapkan sebagai kewajiban di pundak rakyat, maka ketika rakyat tidak membayar, mereka pun akan dikenai sanksi dan denda. Bahkan Konsekuensinya, jika rakyat tidak mau membayar maka akan dihukum oleh negara dengan sanksi, berupa denda sebesar 2% dan sanksi lain, yaitu tidak akan mendapat pelayanan publik, seperti untuk mengurus sertifikat tanah, mengurus IMB (Ijin Mendirikan Bangunan), mengurus ijin usaha, dsb. (Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, Jakarta: Kemenkes RI, 2013). Di sinilah, kezaliman sistem BPJS ini. Bukan saja zalim, tetapi juga batil. Mengapa? Karena mu’amalah seperti ini tidak lahir dan berdasarkan akidah Islam, sehingga tidak bisa diperbaiki lagi. Mengapa tidak bisa diperbaiki lagi? Karena, kesalahannya bukan hanya pada daun [buah]-nya, tetapi sejak dari akarnya. Akar dari persoalan BPJS ini adalah konsep neoliberalisme yang lahir dari rahim ideologi kapitalisme. Maka, sejatinya sikap seorang muslim adalah membuang jauh jauh segala ide yang bukan berasal dari Islam.
Islam memandang kesehatan
Pandangan Islam dalam jaminan kesehatan sangat bertolak belakang dengan pandangan ekonomi neoliberalisme tersebut. Dalam ajaran Islam, negara mempunyai peran sentral dan sekaligus bertanggung jawab penuh dalam segala urusan rakyatnya, termasuk dalam urusan kesehatan. Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan tanggung jawab Imam atau Khalifah (Kepala Negara Islam) untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:
فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di antara tanggung jawab Imam atau Khalifah adalah mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar (primer) bagi rakyatnya secara keseluruhan. Yang termasuk kebutuhan-kebutuhan dasar bagi rakyat adalah kebutuhan keamanan, kesehatan dan pendidikan. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
مَنْ أَصْبَحَ آمِناً فِي سِرْبِه، مُعَافىِ فِي بَدَنِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيا بِحَذَافِيْرِهَا
Siapa saja yang saat memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya dan tersedia bahan makanan di hari itu, dia seolah-olah telah memiliki dunia semuanya (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalam hadis tersebut ditunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan dipandang sebagai kebutuhan primer atau dasar sebagaimana makanan. Dengan demikian keamanan dan kesehatan masuk dalam kategori kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, menurut pandangan Islam.
Bagaimana cara Islam menjamin pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya? Di dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara yang wajib diberikan secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Negara tidak boleh membebani rakyatnya untuk membayar kebutuhan layanan kesehatannya. Negara memiliki sebuah lembaga baitul mal yang didalamnya terdapat pos-pos pemasukan dan pengeluaran. Kesehatan termasuk dalam pembiayaan yang ditanggung baitul mal.
Indahnya kehidupan dan terjaminnya pelayanan kesehatan masyarakat ini tentunya hanya bisa terwujud didalam sebuah institusi khilafah. Yang mana institusi ini berpijak kepada aturan Al Khaliq. Dengan demikian, jika kita mengharapkan adanya jaminan kesehatan yang benar-benar sesuai syariah maka kita tidak dapat berharap lagi kepada negara yang tidak menerapkan syariah. Kita hanya bisa berharap pada negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah, yakni Khilafah Islamiyah, bukan dari sistem yang lain. Sistem Khilafah inilah yang wajib kita ikuti dan kita tegakkan. Khilafahlah model pemerintahan yang dimanahkan oleh Rasululah saw. dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.