(W. Wardani, penggiat literasi)
Kasus black out PLN pada tanggal 4 Agustus 2019 yang terjadi di Jakarta dan sebagian Jawa Barat selama hampir sepuluh jam menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Sektor transportasi MRT lumpuh total, akibatnya para penumpang tertelantarkan. Penguasaha kecil ikan koi mengeluh, karena banyak ikan koinya yang mati. Ibu-ibu mengeluhkan banyak cadangan ASI di kulkas yang basi. Black out listrik PLN yang melumpuhkan perekonomian daerah ibukota dan sebagian Jawa Barat rupanya membuat trauma pemerintah.
Berbekal umpan blackout, opini swastanisasi listrik menjadi keras gaungnya. Seperti yang dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, dalam oke finance, 14 Agustus 2019, yang meminta supaya PLN menyerahkan proyek ke swasta. Menko Kemaritiman menginginkan PLN lebih efisien. PLN juga diminta tidak terlalu banyak terlibat dalam pembangunan listrik, dan membiarkan private sector yang lebih masuk.
Selang beberapa waktu kemudian pemerintah menekan MOU dengan Cina pada tanggal 15 Agustus 2019 untuk membangun PLTA Kayan di Kalimantan Utara dengan kapasitas sekitar 9000 MW. Nilai invetasi untuk pembangunan ini mencapai US$ 27 miliar yang pendanaannya bersumber dari PowerChina dan Central Asia Capital Ltd. (CNNIndonesia, 21 Agustus 2019).
Keterlibatan asing dalam urusan listrik ini sudah lama diopinikan, tepatnya sudah dimulai sejak UU Ketenagalistrikan No. 20 tahun 2002 disahkan. UU ini salah satunya mengatur soal unbundling vertikal, yang memisahkan proses bisnis PLN menjadi beberapa usaha, yaitu pembangkit tenaga listrik, transmisi listrik, distribusi listrik, dan penjualan tenaga listrik. Unbundling vertikal inilah yang diduga akan bermuara pada liberalisasi listrik, dikarenakan UU ini juga mengatur pembukaan ruang luas bagi pelibatan swasta. Ruh UU ini dihidupkan kembali melalui pengesahan UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Dan diperkuat implementasinya oleh Perpres 44/2016. Semenjak itu banyak pihak swasta yang berkolaborasi dengan oknum pejabat ikut main secara bebas dan meraup untung lebih banyak dari komoditas listrik ini (Muslimahnews, 13 agustus 2019)
Nampaknya liberalisasi bidang listrik akan menjadi kenyataan. Padahal listrik sebagai kebutuhan pokok rakyat banyak seharusnya dikelola oleh negara. Bukannya malah diserahkan ke swasta. Kalau diserahkan ke swasta dan negara hanya berfungsi sebagai regulator saja, rakyat yang akhirnya harus menanggung biayanya. Karena mau tidak mau rakyat memang sangat memerlukan ketersediaan listrik.
Yang namanya swasta tentu saja orientasinya mencari keuntungan, atau profit oriented bukan public oriented. Pelayanan atau jasa yang bagus tentu saja harus dibeli dengan harga yang mahal. Mahalnya listrik akan membuat harga-harga dan jasa lainnya juga meroket. Di tengah kondisi perekonomian yang kian sulit, rakyat akan semakin menderita.
Inilah konsekuensi dari diterapkannya sistem ekonomi liberal oleh rezim penguasa, yang berimbas buruk kepada rakyat. Sistem ekonomi liberal yang berdiri di atas kapitalisme tidak akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi rakyat. Sistem ekonomi seperti ini hanya akan menguras habis sumber daya alam kita, menguntungkan para kapitalis dan menyengsarakan rakyat.
Hal ini tidak akan terjadi jika kepemimpinan Islam yang diterapkan. Karena kepemimpinan Islam berdiri di atas akidah yang lurus yakni berupa keyakinan bahwa segala perbuatan nanti akan dimintai pertanggunjawabannya di akhirat kelak. Kepemimpinan Islam akan berfungsi sebagi rain (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya
Dalam islam juga telah terdapat seperangkat aturan, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Yang kalau diterapkan akan membawa kemashalatan bagi manusia. Diantaranya masalah pengaturan sumber daya alam.
Sumber daya alam menurut pandangan islam merupakan milik umum, yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan umum. Dasarnya adalah Hadist Rasulullah, yang diriwayatkan oleh HR Abu Dawud dan Ahmad, Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api Termasuk di dalamnya barang tambang yang terkandung di dalam perut bumi, hutan, sumber air, listrik dan sebagainya. Haram hukumnya menyerahkan pengelolaan sumber daya alam ini kepada pihak asing.
jika seluruh sumber daya alam tadi dikuasai negara, maka urusan membangkitkan listrik dan distribusinya pun akan murah, karena batu bara yang digunakan sebagai bahan bakar PLTU murah atau bisa gratis. Infrastruktur untuk pembangkit listrik dan distribusinya dibiayai dari hasil penjualan sumber daya alam. Dengan demikian listrik akan bisa dinikmati seluruh rakyat dengan sangat murah bahkan bisa gratis.
Murahnya biaya listrik, akan berdampak murahnya ongkos produksi yang ujungnya harga barang-barang akan murah. Murahnya listrik juga akan membangkitkan potensi ekonomi yang akan mendorong perputaran uang. Perputaran uang yang lancar akan menggerakan perekonomian negara. Yang pada akhirnya rakyat akan sejahtera.
Namun, tentu saja penerapan hukum Allah dalam pengelolaan sumber daya alam harus dibarengi dengan penerapan hukum Allah di segala aspek, termasuk juga sistem pemerintahan. Hanya dengan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh institusi yang disebut khilafahlah yang bisa menjamin penerapan hukum Allah di setiap aspek. Hal ini akan membawa keberkahan bagi negeri. Wallahu alam