Oleh : Heni Kusmawati
Pro kontra rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) semakin memuncak. Dari berbagai kalangan seperti mahasiswa menolak disahkan RKUHP tersebut karena dinilai sangat merugikan masyarakat. Sementara dari pihak pemerintah justru menginginkan RKUHP segera disahkan.
Dilansir dari CNN Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendukung revisi RKUHP dan RUU PKS agar segera disahkan. Hal ini karena menurut Ketua Harian Tanfidziyah Robikin Emhas RUU KUHP memiliki kelebihan walaupun memang ada kekurangannya. Menurutnya, KUHP yang digunakan saat ini merupakan warisan Belanda sehingga tidak sesuai dengan Indonesia masa kini dan tidak selaras dengan tujuan nasional.
Hal senada juga oleh Pakar hukum pidana Universitas Al Alzhar, Suparji Ahmad mendukung disahkan RKUHP karena dinilai lebih baik dari KUHP warisan Belanda.
Jika memang RKUHP lebih baik, kenapa banyak kalangan menolak disahkan? Banyak pasal-pasal yang dinilai kontroversi. Bagi penghina presiden dan wapres akan dipidana dan harus membayar denda 150 juta, dimana kebebasan berpendapat yang diagung-agungkan dalam sistem demokrasi?, gelandangan dikenai denda 1juta, padahal mereka menjadi gelandangan karena tidak tersedianya lapangan kerja, koruptor dipidana minimal 2 tahun dan denda 10 juta dan bahkan bagi ternak yang masuk di lahan yang sudah ditanami pun akan dikenakan denda terhadap pemilik hewan ternak tersebut.
Adanya revisi RKUHP karena KUHP warisan Belanda dianggap kaku dalam menyelesaikan kasus pidana bagi warga negara. Dengan disahkan RKUHP maka seluruh problem yang dihadapi bisa diselesaikan secara adil di tengah kehidupan sosial masyarakat.
Tetapi yang jadi masalah, RKUHP yang tengah digodok pemerintah dan parlemen justru memuat pasal-pasal yang lebih represif terhadap warganegara ketimbang KUHP peninggalan belanda. Keberadaan RKUHP berpeluang menkriminalkan warga negara dalam berbagai hal seperti politik, ekonomi, hukum, ketahanan keluarga dan lain-lain. Selain itu adanya juga menghidupkan lagi usaha untuk menyakralkan pemerintah, dari presiden-wakil presiden, lembaga negara, maupun pengadilan. Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 219, Pasal 281, Pasal 305, Pasal 262, dan Pasal 354. Semuanya memuat aturan yang melindungi institusi pemerintah dari apa yang disebut “penghinaan." (Tirto.id, 13/9/2019).
Berharap hukum yang diterapkan bisa menyelesaikan permasalahan hidup dalam sistem kapitalisme sekuler hanyalah mimpi di siang bolong. Buktinya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan melalui undang-undang tidak pernah berpihak pada rakyat tetapi justru berpihak pada pemilik modal.
Inilah yang akan terjadi jika aturan diserahkan kepada akal manusia yang membuatnya. Manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Ketika berhukum pada hukum buatan manusia, mustahil mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Sementara Allah SWT sebagai pembuat hukum telah memerintahkan agar berhukum kepada hukum-Nya.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(TQS Al Maidah ayat 49).
Hukum dari Allah SWT akan bisa diterapkan secara keseluruhan dalam sistem islam. Sistem yang mampu menyesaikan seluruh problem hukum. Tidak hanya bagi kaum muslim bahkan non muslim pun merasakan keadilan dari penerapan hukum islam. Sebagaimana yang terjadi ketika kejayàan islam, seorang Yahudi mencuri baju besi seorang khalifah, karena sang khalifah tidak mampu mendatangkan saksi, maka yang dimenangkan adalah orang Yahudi tadi. Hingga akhirnya karena takjub dengan hukum islam, orang Yahudi tadi masuk islam. Begitulah sistem islam, akan menyesaikan seluruh problem hidup.
Wallahua'lam.