Belajar Memberantas Korupsi pada Umar Bin Al Khattab



Oleh: Anita S. S.Pd

Umar bin Al Khattab adalah salah satu dari Khulafaur Rasyidin yang cukup masyur ketegasannya dalam memberantas korupsi. Beliau cukup tegas dalam menindak para penguasa seperti amil (setingkat bupati), wali (gubernur), para qadli (hakim), dan para pegawai negara yang menyalahgunakan harta-harta negara yang berada di bawah pengaturan (kekuasaan) mereka. Harta tersebut bisa jadi untuk membiayai tugas atau pekerjaan mereka, membiayai berbagai sarana atau protek infrastruktur negara, membiayai kepentingan negara, atau kepentingan dan kemaslahatan umum.

Setelah beliau diangkat menjadi khalifah yaitu pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, tindakan awal dalam pemberantasan korupsi yang ia lakukan adalah melakukan auditing kepada para wali, pegawai negara, atau kerabat mereka yang kaya dan penuh kemewahan.

Para pejabat pemerintah, pegawai pemerintah, atau keluarganya diperiksa untuk diteliti berapa jumlah kekayaannya sebelum dan sesudah ia menduduki sebuah jabatan. Jika ada kelebihan maka akan diusut dari mana ia mendapatkannya. Jika ternyata diketahui bahwa pertambahan kekayaan si pejabat diperoleh bukan dari hasil gaji resmi negara, waris, atau muamalah yang biasa ia lakukan sebelum menjabat maka disitalah harta itu dan dimasukkan ke kas negara (baitul maal). Kadangkala (jumlah kelebihan itu) dibagi dua, kadang seluruhnya dimasukkan kedalam baitul mal.  

Beliau juga menghitung dan mencatat harta keluarga penguasa, qadli, atau pegawai negara. Tindakan tersebut pernah dilakukan terhadap Abu Sufyan. Setelah Abu Sufyan kembali dari Syam (tempat anakya Mu'awiyah menjabat sebagai wali/gubernur), Umar bertanya kepadanya tentang oleh-oleh dari anaknya. Umar menduga Muawiyah membekali ayahnya dengan uang dan barang-barang berharga untuk dibawa pulang. 

Umar mengulurkan tangannya pada sebuah cincin yang berada di tangan Abu Sufyan, lalu mengambilnya. Kemudian ia mengutus seseorang dan membawa cincin tersebut kepada Hindun (istri Abu Sufyan). Utusan tersebut dipesan atas nama Abu Sufyan. Utusan tersebut berkata, "Perlihatkan kepadaku dua wadah yang baru engkau terima dan berikanlah keduanya!"

Utusan tersebut kembali dengan membawa dua wadah yang didalamnya ternyata terdapat uang sebanyak 10.000dirham. Uang tersebut diserahkan ke baitul mal dan digunakan untuk memelihara kebutuhan atau kemaslahatan umat.

Yang termasuk aktifitas korupsi juga adalah uang-uang yang diambil oleh pegawai pos, telegram, telepon, dan transportasi dari kantor-kantor pemerintahan dengan jalan menambah jumlah tagihan yang seharusnya. Secara langsung, penipuan, pemalsuan atau memanfaatkan kelemahan dan kelengahan orang lain. 

Semua harta-harta tersebut harus disita dan diserahkan kepada baitul mal. Harta harta tersebut dianggap sebagai pemasukan baitul mal.dan dikeluarkan untuk memelihara urusan atau kemaslahatan umat.

 Beberapa cara perolehan harta tidak sah selain dari hasil korupsi yang juga dilarang, antara lain:

1. Suap
Setiap harta yang diberikan seseorang kepada penguasa seperti amil, wali (gubernur), khalifah (kepala negara), qadli (hakim), atau pegawai negara dengan maksud untuk memperoleh maslahat suatu kepentingan yang seharusnya diputuskan tanpa adanya pungutan atau bayaran.

2. Hadiah atau Hibah (Gratifikasi)
Setiap harta yang diberikan kepada penguasa seperti amil, para wali, khalifah, qadli, atau pegawai negara sebagai sebuah hadiah atau hibah, meskipun pihak yang memeberi hadiah pada saat itu tidak memiliki kepentingan tertentu. Akan tetapi ia ingin memperoleh penghargaan atau penilaian istimewa, atau ingin mendapatkan suatu kemaslahatan di kemudian hari. 

Suatu ketika, Khalifah Umar ibn Khaththab mengajak tamunya pergi ke rumahnya. Khalifah Umar berkata kepada istrinya, "Ya Ummi Kultsum ! Keluarkanlah makanan yang ada, kami kedatangan tamu dari jauh, dari Azerbaijan."Istrinya menjawab, "Kami tidak mempunyai makanan selain roti dan garam."

"Tidak mengapa," Jawab Umar. Kemudian keduanya makan roti dan garam.

Sesudah makan, Khalifah Umar ibn Khaththab bertanya kepada tamunya,"Apa maksud kedatangan Anda kali ini?"

Utusan Azerbaijan itu menjawab, "Aku adalah utusan Negeri Azerbaijan. Amirku memerintahkan aku membawa hadiah ini untuk Baginda."

Umar ibn Khaththab berkata,"Bukalah bungkusan itu, apa isinya?" Sesudah dibuka ternyata isinya gula-gula.

Utusan itu berkata, Gula-gula ini khusus buatan Azerbaijan."

Umar bertanya lagi, "Apakah semua kaum Muslim mendapat kiriman gula-gula itu?" Utusan itu tertegun sejenak, lalu dia menjawab, "Tidak, Baginda. Gula-gula ini khusus untuk Amirul Mukminin."

Mendengar perkataan itu, Umar marah sekali. Dia lalu memerintahkan kepada utusan tersebut untuk membawa gula-gula itu ke Masjid, dan membagi-bagikannya kepada fakir miskin kaum Muslim yang ada di sana. Umar berkata dengan nada marah, "Barang itu haram masuk ke perutku, kecuali kalau kaum Muslim memakannya juga. Dan kamu cepat-cepatlah ke negerimu. Beritahukan kepada yang mengutusmu, kalau mengulanginya kembali, akan kupecat dia dari jabatannya!"

3. Harta kekayaan yang diperoleh dengan sewenang-wenang dan dengan tekanan kekuasaan
Harta yang tergolong jenis ini adalah semua harta yang diperoleh para penguasa seperti para amil (setara dengan bupati), para wali, khalifah (kepala negara), qadli, atau pegawai begara yang berasal dari harta atau tanah milik negara, harta atau tanah milik masyarakat, yang diperoleh dengan jalan pemaksaan, sewenang-wenang, kekerasan, tekanan kekuasaan dan penyalahgunaan jabatan.

4. Hasil Makelaran (Samsarah) dan Komisi ('Amulah)
Harta ini meliputi harta hasil makelaran/komisi para penguasa dan para pegawai negara yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan asing maupun lokal atau orang-orang tertentu sebagai balas jasa dari penjualan atau transaksi perusahaa/instasi tersebut dengan negara. Seluruh harta ini termasuk ghulul dan akan disita, kemudian dimasukkan kas baitul mal.

Demikianlah cuplikan kisah bagaimana Khalifah Umar memberi contoh yang baik seorang pejabat yang anti pada korupsi dan aktifitas yang merugikan umat dan negara. Moralitas anti korupsi inilah yang saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar pejabat di tanah air. Budaya suap, amplop, mark up harga, dan pengeluaran fiktif sudah menjadi rahasia umum praktik birokrasi di tanah air. Inilah yang menjadi embrio terjadinya korupsi berjamaah.

Berikutnya hukuman tidak tegas dan cenderung bisa dinego menjadikan pratik korupsi tetap merajalela. Upaya tebang pilih kepada para koruptor semakin menjadikan mandulnya aktifitas pembersihan korupsi.

Berkaca pada apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar, ketaqwaan individu ditambah dengan pelaksanaan hukum-hukum islam merupakan kunci dari keberhasilan memberantas praktik korupsi.

Oleh karena itu meskipun banyak koruptor yang sudah dijebloskan ke penjara oleh KPK, tetapi praktik korupsi ini tetap berjalan. Yang demikian dikarenakan budaya ini sudah terlanjur berurat dan berakar dalam sistem birokrasi negara kita. Korupsi baru akan berakhir jika ada perubahan karakter dari sistem birokrasi kita. 

***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak