Bagaimana Pandangan Islam tentang Pengelolaan Energi?




Oleh: Tri Setiawati, S.Si

(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Sampai-sampai dijuluki negeri ‘zamrud khatulistiwa’ oleh para pujangga. Keberadaan kekayaan alam yang melimpah ruah dapat dengan mudah disaksikan di berbagai pelosok tanah air. Uniknya kekayaan alam tersebut beraneka ragam mulai dari ragam hayati dan non hayati. Selain itu, persebaran potensi SDA Indonesia yang sedemikian melimpahnya tersebar mulai dari sabang sampai merauke dan dari miangas sampai pulau rote.

Meski Indonesia telah merdeka secara yuridis sejak  1945, namun sejatinya negeri ini baru dapat dikatakan melakukan pembangunan ekonomi. Pada masa rezim orde baru tepatnya sejak 1969 melalui REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahunan) pembangunan ekonomi terencana dimulai. Ironisnya pembangunan ekonomi era orde baru ini tidak lepas dari arahan ekonomi kapitalisme. 
Keran investasi pun sampai saat ini masih dibuka lebar di era reformasi. Mirisnya, kondisi rakyat negeri ini tak banyak berubah meski rezim senantiasa berganti. Kondisi rakyat Indonesia kebanyakan hidup dalam bayang-bayang disintegrasi, kemiskinan, dan kriminalitas yang kian tajam dan meningkat. Jika melihat potensi SDA Indonesia yang luar biasa itu seharusnya berdampak positif bagi bangsa Indonesia.

Sayang, meski rezim terus berganti namun sistem yang ada masih sistem lama yang ‘dipermak’ dengan berbagai kepalsuan itulah demokrasi. SDA Indonesia sudah dikuasai oleh perusahaaan- perusahaan asing. Penguasaan asing atas SDA rakyat justru memperoleh ‘pembenaran’, legalitas, dan perlindungan dari berbagai payung hukum, yakni UU yang bernafas liberal. Akibatnya banyak kebijakan yang dihasilkan bukan menguntungkan rakyat tetapi justru membuntungkan rakyat.
Dari tahun ke tahun angka kemiskinan terus meningkat tajam. Ditengah semakin terhimpitnya ekonomi masyarakat akibat dollar yang semakin menguat, masyarakat harus pasrah menerima bahwa gas yang menjadi kebutuhan vital dapur mereka kini melambung tinggi harganya begitu pula dengan kenaikan harga BBM yang jelas semakin menguras isi dompet karena dibutuhkan untuk berkendara sehari-hari.

Jika ditelisik lebih jauh,  kebijakan pemerintah terkait energi dalam hal ini utamanya gas dengan membedakan gas Elpiji 3kg bersubsidi dan non subsidi justru memperlihatkan kepada kita begitu besarnya kesenjangan ekonomi yang terjadi dimasyarakat. Seperti ada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Hal ini pun diperkuat dengan adanya tambahan tulisan “Untuk Masyarakat Miskin” pada tabung Elpiji 3kg bersubsidi, yang mana jelas itu semakin mengukuhkan kesenjangan dimasyarakat. 

Padahal sejatinya tugas pemerintah adalah mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan tanpa pandang si kaya dan si miskin.
Ketika pemerintah mampu untuk mensubsidi gas Elpiji 3kg ditahun-tahun sebelumnya untuk kebutuhan masyarakat secara keseluruhan, mengapa ditahun ini harus dibedakan?. Belum lagi ditambah dengan rumitnya peraturan yang menyatakan bahwa setiap pembelian gas Elpiji 3kg subsidi harus dengan membawa surat keterangan tidak mampu.

Padahal saat ini pun pemerintah tidak memiliki data yang lengkap terkait siapa-siapa saja warga masyarakat yang tergolong tidak mampu dan tidak semua warga yang tidak mampu punya surat tersebut. Ditambah lagi dengan standar pemerintah yang menyatakan bahwa keluarga yang dinyatakan miskin salah satu kriterianya adalah perpenghasilan di bawah Rp.600.000/bulan. Padahal dengan penghasilan Rp.1.000.000/bulan saja belum tentu bisa mencukupi hiaya hidup selama sebulan. 
Dari fakta ini saja, jelas bahwa kebijakan ini malah akan menimbulkan problema baru yang akan semakin mencekik masyarakat. Apalagi kebijakan ini disinyalir adalah cara halus dari pemerintah untuk menghapus gas Elpiji 3kg subsidi secara perlahan.
Saat ini saja sudah terlihat antrean masyarakat di titik-titik  pendistribusian gas elpiji. Hal ini menandakan bahwa kelangkaan sedang terjadi.  Jika ini terbukti benar bahwa akan ada mekanisme pergantian gas elpiji dari subsidi ke non subsidi bahkan mengarah pada pencabutan subsidi secara keseluruhan maka semakin sengsaralah masyarakat terutama masyarakat ekonomi rendah.

Rakyat yang setiap hari berjuang memperbaiki perekonomian keluarga, alih-alih berhasil mewujud-kannya malah semakin terkapar dengan himpitan beban ekonomi.
Sudah di tindih dengan naiknya BBM yang berimbas pada naiknya harga barang, ditambah TDL  (Tarif Dasar Listrik) yang juga dicabut subsidinya, belum lagi ditambah bayang-bayang PHK sebagai akibat dari membanjirnya TKA (Tenaga Kerja Asing). Maka semakin lengkaplah penderitaan masyarakat. 
Masalah  BBM merupakan polemik yang selalu menemui jalan buntu. Kalau tidak harganya yang naik, maka pasokannya yang berkurang. Hal ini pun sudah semacam tabiat yang sudah terbaca oleh masyarakat. Lalu pertanyaannya, mungkinkah kita bisa merasakan kesejahteraan energi?

Islam menggambarkan bahwa energi masuk dalam ranah kepemilikan umum, yakni tidak ada pihak mana pun yang boleh memiliki secara perseorangan maupun  corporate. Disini negara hanya sebagai pihak pengelola yang bertugas mengolah bahan-bahan mentah  seperti minyak bumi, batu bara, gas dan lain-lain menjadi produk-produk energi yang siap pakai dan dinikmati oleh masyarakat dengan harga  murah bahkan gratis. Hal ini pun berlandaskan pada sabda rasulullah SAW:
“ Kaum muslimin bersekutu dalam tiga hal yakni air, padang rumput dan api”. ( HR. Abu Dawud)
Selain dijadikan produk-produk energi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sumber-sumber daya alam tersebut juga dijadikan sebagai sumber pendapatan utama negara yang berfungsi sebagai  penggerak ekonomi yang dapat menopang kebutuhan masyarakat lain dalam hal pendidikan, kesehatan, keamanan termasuk didalamnya pemenuhan sandang, pangan, papan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Hal ini pun jelas akan menghapus permasalahan-permasalahan lain seperti kemiskinan, kebodohan, krimiminalitas dan lain-lain.
Alhasil,  kesejahteraan hakiki akan dirasakan masyarakat. Hal ini pun dibuktikan dengan sejarah peradaban islam yang mampu mensejahterakan rakyatnya selama 13 abad. Terlebih kemandirian energi merupakan salah satu point yang menandakan kemampuan suatu negara untuk dapat menjadi negara yang berdaulat tanpa intervensi dari pihak mamapun.
Maka mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukanlah mimpi atau hanya sebuah khayalan belaka. Hal itu dapat dirasakan masyarakat manakala Islam di terapkan dalam semua aspek kehidupan utamanya dalam hal pengelolaan energi.


 



 






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak