Akhiri Pendudukan Rezim Kufar India Terhadap Khasmir



Oleh : Imanda Amalia, MPH 

(Dosen, Penulis Buku, Founder @RumahSyariahInstitute)

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” [QS Al-Maidah ayat 82].

Pendudukan Khasmir 

Islam masuk di Kashmir pada masa Turki Ustmani yang mengalami kemajuan sangat signifikan. Tentara Turki Ustmani memasuki wilayah India atas dasar jalinan hubungan antara keduanya. Sehingga secara alami Islam pun turut masuk di wilyah India (Kashmir). Dengan berjalannya waktu, Islam semakin menyebar di kawasan ini. Howard Arnold Walter dalam \"Islam in Kashmir\", The Muslim World Vol 4 Oktober 1914, menyatakan, pendakwah pertama yang mengunjungi Kashmir diketahui bernama Bilal Shah atau Bulbul Shah dari Turkistan. Ia datang ke Kashmir pada masa Raja Suhadeva. Nama asli Bulbul Shah adalah Sharaf-ud-Din Syed Abdur Rahman Turkistani, murid spiritual Shah Nimatullah Wali Farsi, seorang pemimpin tarikat Suhrawardiyyah. Kesederhanaan Bulbul Shah menggerakkan hati penguasa Kashmir, Rainchan Shah, yang juga penganut Buddha dari Ladakh. Ia memeluk Islam dan menjadi penguasa Muslim Kashmir pertama bergelar Sultan Sadr ud-Din. 

Pada abad 19 M Kashmir ditaklukkan oleh raja Ranjit Singh, seorang penguasa Punjab yang anti Islam. Selanjutnya kedatangan Inggris ke anak Benua India termasuk Kashmir memperparah keadaan. Perlakuan yang bersifat menindas tidak hanya dilakukan oleh umat Hindu-Budha saja tapi melainkan juga dilakukan oleh bangsa kulit putih. Sengketa Kashmir bermula dari era kemerdekaan Pakistan dan India pada Agustus 1947. Ketika Pakistan dan India menyatakan kemerdekaan, ratusan negara-kerajaan merdeka di wilayah itu harus menjatuhkan pilihan. Menurut aturan Indian Independence Act of 1947, setiap negara bebas memilih bergabung dengan India atau Pakistan. Maharaja Kashmir, Hari Singh, memutuskan bergabung ke India dengan imbalan bantuan militer dan referendum yang dijanjikan. Sebaliknya, mayoritas rakyat Kashmir yang beragama Islam cenderung memilih Pakistan. Pada 27 Oktober 1947, India mendaratkan pasukan di wilayah itu sekaligus menandai penguasaan India atas Kashmir.

Geopolitik Khasmir

Posisi Kashmir yang berada di tengah-tengah, menyebabkan mereka memiliki keuntungan geopolitik tertentu, posisi inilah yang kemudian semakin menyebabkan Kashmir semakin diperebutkan. Kashmir berbatasan langsung dengan Afghanistan, Tajikistan, Tibet dan China. Masuknya Kashmir ke India, dianggap sebagai ‘pintu masuk’ untuk mempengaruhi negara-negara tersebut, disamping itu Kashmir juga bisa dijadikan benteng pertahanan yang cukup strategis bagi militer India.

Pada Agustus 1947 dimana bagian dari anak benua India yang telah dipimpin selama beberapa abad oleh Islam, ketika Barat memasuki wilayah tersebut semakin menguatkan cengkeraman Hindu atas mayoritas Muslim di Kashmir. Pada 1947, 1965, 1971 dan 1999, selama konflik dengan India, intervensi kolonialis Barat semakin menusuk umat Islam, dan semakin mendukung pemerintahan Hindu. Perang pertama Kashmir dimulai pada Oktober 1947 dan berakhir pada Januari 1949 dengan pembagian negara secara de facto di sepanjang Garis Kontrol, sebuah garis perbatasan tidak resmi yang masih diakui hingga saat itu oleh PBB. 

Sepertiga wilayah Kashmir masuk Pakistan, sementara dua pertiga bergabung dengan India. Cina ikut menguasai sebagian kecil dari wilayah timur lembah Kashmir pada 1050-an. Cina yang memiliki perbatasan panjang dengan Jammu dan Kashmir, juga memainkan peran dalam konflik ini. Pada tahun 1962, Cina menduduki bagian dari India yang berbatasan dengan Kashmir dan mengadakan aliansi dengan Pakistan. Cina dan Pakistan berdagang melalui Karakoram Highway sebagai bagian dari proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) melalui wilayah Kashmir barat. 

Pakistan telah menguasai provinsi khusus utara Gilgit-Baltistan dan sub-wilayah Azad Kashmir sejak 1949. Bagian yang dikuasai India menjadi negara federal Jammu dan Kashmir pada tahun 1957, dengan status otonomi khusus yang memungkinkan badan legislatif negara bagian memiliki suara dalam legislasi yang mencakup semua masalah kecuali pertahanan, urusan luar negeri, dan komunikasi.

Pada tahun 1966, India dan Pakistan menandatangani Perjanjian Simla yang menggarisbawahi pentingnya garis kontrol dan berkomitmen melakukan negosiasi bilateral untuk mengklarifikasi klaim wilayah Kashmir. Pada 1984, India dan Pakistan berselisih lagi; kali ini di atas Gletser Siachen yang dikendalikan India. Bagi India dengan menguasai Kashmir akan mempermudah India memiliki akses terhadap wilayah strategis di bagian barat daya, di samping Kashmir menyediakan suatu rangkaian hubungan tradisional antara Asia Tengah dan Subkontinen. Hubungan India dan ketiga Negara tetangganya yang terpenting – Rusia, China, Afghanistan sangat tergantung pada luasnya wilayah Kashmir yang dapat dikuasai.

Kejahatan Rezim Kufar India Terhadap Khasmir 

Pada tahun 1990an, pasukan keamanan India, termasuk tentara dan pasukan paramiliternya, seperti Angkatan Polisi Cadangan Pusat (CRPF) dan Angkatan Keamanan Perbatasan (BSF) telah menyerang warga sipil selama operasi pencarian, menyiksa dan dengan cepat mengeksekusi para tahanan, serta membunuh warga sipil pada serangan balasan. Pada Oktober 1992, perwakilan dari Asia Watch dan Physisicians for Human Rights berkunjung ke Kashmir untuk mendokumentasikan pemerkosaan dan penyelewengan hak asasi manusia lainnya serta penyalahgunaan hukum peperangan oleh Pasukan Keamanan India. Para tentara dan polisi juga menggunakan pemerkosaan sebagai senjata untuk menghukum, mengintimasi, memaksa, memermalukan dan merendahkan warga Kashmir. 

Kuburan massal telah diidentifikasi di banyak wilayah di Kashmir oleh aktivis hak asasi manusia yang diyakini menampung ribuan tubuh warga Kashmir yang telah hilang secara paksa. Sebuah penyelidikan dari Komisi HAM pada tahun 2011 telah mengonfirmasi bahwa terdapat ribuan jasad yang penyg dengan peluru tembakan dikubur di kuburan tak dikenal di Jammu dan Kashmir. Dari 2730 jasad yang ditemukan di 4 dari 14 distrik, 574 jasad diidentfikasi sebagai warga lokal yang dilaporkan hilang, berlawanan dengan pernyataan dan desakan dari pemerintah India bahwa kuburan tersebut adalah milik militan asing. Berdasarkan sebuah penelitian pada tahun 2011, jumlah total dari kuburan massal tak dikenal tesebut terdapat lebih dari 6000.

Pemerintah India telah menahan beberapa pimpinan politik, mengenakan restriksi yang luas terhadap kebebasan beraktivitas, serta melarang pertemuan-pertemuan umum di Kashmir. Mereka juga memutus akses internet, layanan telepon dan institusi-institusi pendidikan sebelum mengumumkan bahwa mereka akan mengganti konstitusi yang berkaitan dengan status khusus Kashmir tersebut. Pasukan Keamanan India dan polisinya diduga telah menggunakan penyiksaan yang sistematis. Pada tahun 2012, seorang pengacara HAM telah memulai peneliannya di seluruh negara bagian tentang penyiksaan di Kashmir. Laporannya menyimpulkan bahwa penyiksaan di Kashmir itu bersifat endemis dan sistematis. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa 1 dari 6 warga Kashmir telah mengalami penyiksaan. Pada sampel penelitian tersebut, yakni 50 desa, lebih dari 2000 kasus penyiksaan ekstrim berhasil diidentifikasi dan terdokumentasikan. Laporan ini juga menemukan bahwa terdapat 50 titik pusat yang digunakan oleh tentara dan paramiliter sebagai tempat memraktikkan penyiksaan.

Penghapusan Otonomi Khasmir 

Penguasa India juga mencabut status otonomi khusus untuk Jammu dan Kashmir, satu-satunya negara bagian yang mayoritas penduduknya Muslim, lewat keputusan presiden yang disampaikan di parlemen pada Senin (05/08/2019). Langkah ini disebut politikus Mehbooba Mufti sebagai “hari paling kelam” dan langkah penjajahan India di wilayah tersebut.


Berdasarkan Pasal 370 memungkinkan Kashmir India, bernama resmi negara bagian Jammu dan Kashmir, memiliki konstitusinya sendiri, bendera yang terpisah dan kebebasan untuk membuat undang-undang. Sementara urusan luar negeri, pertahanan dan komunikasi tetap menjadi milik pemerintah pusat.


Resolusi penghapusan yang dikeluarkan di bawah nama “Undang-Undang Reorganisasi” membagi Kashmir yang diduduki menjadi dua wilayah: wilayah Jammu dan Kashmir dan wilayah Ladakh, dan pemerintahan kedua wilayah itu dihubungkan dengan pemerintah federal di New Delhi. Majelis Tinggi Parlemen India “Dewan Negara” pada hari berikutnya, 6/8/2019 menyetujui rancanan undang-undang itu dengan 125 suara setuju berbanding 61 menolak. 


Pasal 35 A dihapus. Pasal ini melarang selain orang Kashmir membeli property dan tanah di Kashmir. Penghapusan itu membuka ruang bagi orang India lainnya di wilayah (negara bagian) lainnya untuk datang ke Kashmir dan membeli property di sana dan melamar menjadi pegawai pemerintah di sana, yang bisa menyebabkan perubahan secara populasi dan kebudayaan di wilayah yang mayoritasnya muslim. Artinya, hal itu menyerupai langkah-langkah yang diambil institusi Yahudi dengan aksi aneksasi di Palestina, sebagaimana Apa yang dilakukan Netanyahu disetujui oleh Amerika dan dengan lampu hijau dari Amerika, demikian juga apa yang dilakukan Modi juga atas persetujuan Amerika dan lampu hijau dari Amerika, Artinya, Modi mengkloning siasat Netanyahu di Palestina dengan persetujuan dan dukungan Amerika.


Diplomasi dan Dialog: Pepesan Kosong bagi Kashmir

Perdana Menteri Pakistan Imran Khan berjanji untuk menentang keputusan India yang mencabut hak otonomi wilayah Kashmir yang dikelola New Delhi. Dan akan  membawa isu tersebut ke ranah Dewan Keamanan PBB dilansir  BBC, Rabu (7/8/2019). Namun, DK PBB menekankan penyelesaian isu Kashmir secara bilateral antara Pakistan dan India. DK PBB, menekankan pentingnya kedua negara untuk saling menahan diri dan bisa menyelesaikan secara bilateral. 

Perdana menteri Pakistan Imran Khan menyatakan, “Presiden Trump menawarkan untuk mediasi dengan Kashmir. Diplomasi maupun dialog untuk hal seperti ini yang notabene kesempatannya tidak pernah diberikan kepada Muslim Kashmir -justru mereka kerap menjadi korban dan termarginalkan- serta kepada penguasa tiran pendukung nasionalis Hindu seperti Modi ini tidak akan memberikan pengaruh apapun, kecuali tekanan dan ketidakadilan yang akan terus berlanjut atas rakyat di Kashmir.

PM Imran Khan mengesampingkan terjadinya konflik militer baru dengan India, dan menyatakan bahwa Pakistan tidak mencari opsi militer. Hal ini sangat disayangkan, mengingat Pakistan juga memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah Kashmir, dan memiliki militer yang kuat. Terlebih ikatan aqidah sesama muslim yang mewajibkan untuk dapat melakukan jihad dalam rangka menolong muslim Kashmir atas kedzaliman penguasa India. Padahal Pakistan memiliki kekuatan untuk menghalangi India. Terbukti ketika India pada 26/2/2019 mengumumkan pelaksanaan gempuran udara terhadap kamp-kamp berbagai jamaah Kashmir dan “bahwa gempuran itu menewaskan banyak orang di kamp”. Hal itu setelah jamaah-jamaah Kashmir melakukan operasi melawan pasukan India yang menduduki Kashmir dan membunuh 41 tentara India pada 14/2/2019. Pakistan satu hari setelah serangan India  mengumumkan telah menembak jatuh dua pesawat tempur India dan menawan seorang pilot dan menewaskan dua lainnya, hal Ini menunjukkan bahwa pasukan Pakistan mampu mencegah India dan mengalahkannya, tetapi rezim khianat Pakistan tidak serius mengambil langkah apapun untuk menghalangi India. Sebaliknya, rezim Pakistan tunduk kepada perintah Amerika yang meminta untuk tidak menaikkan eskalasi dalam insiden jatuhnya dua pesawat. Hal itu menguatkan keputusan India menghapus status khusus Kashmir.

Pakistan dan India sejatinya berada dalam pengaruh Amerika sebagaimana dibahas pada kitab “Qadhâyâ Siyâsiyah – Bilâdu al-Muslimîn al-Muhtallah” yang keluar pada 21/5/2004 seputar isu Kashmir sebagai berikut: “Oleh karena itu Amerika, di mana dua negara yakni India dan Pakistan berada di bawah pengaruhnya. Amerika memandang ketegangan terkait Kashmir antara India dan Pakistan berpengaruh memperlemah konfrontasi anak benua India melawan Cina, sehingga untuk mengatasi ketegangan ini, Amerika mulai melakukan normalisasi antara India dan Pakistan. Tujuan dari normalisasi agar pasukan India dan Pakistan tidak saling berperang satu sama lain disebabkan masalah Kashmir dan mengarahkan upaya ke arah kerjasama dengan Amerika Serikat diujungnya, untuk membelenggu kebangkitan Cina. Amerika beranggapan bahwa penggabungan Kashmir ke India dan tekanannya terhadap rezim di Pakistan untuk menghalangi upaya merebut kembali Kashmir secara militer, dan memindahkan masalah itu untuk dialog; hal itu akan mematikan isu Kashmir dan mencegah konflik militer antara India dan Pakistan.


Khilafah Islam Akhiri Pendudukan Terhadap Khasmir 

Musibah umat Muslim ada pada para penguasa di negeri kaum Muslim. Potensi kekuatan dimiliki untuk mengembalikan hak kaum muslim. Tetapi, para penguasa yang berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin, mereka tunduk kepada tuan-tuan mereka kaum kafir imperialis lebih dari ketundukan mereka kepada Allah Rabb semesta alam. Mereka melarang tentara memerangi musuh untuk membebaskan negeri mereka yang diduduki, kemudian dengan kehinaan dan kerendahan itu, para penguasa khianat mencari perlindungan DK PBB, bahkan Amerika.

Umat butuh pemimpin sebagai pembela serta pelindung. Hak-hak umat  akan menjadi hal yang paling berharga untuk dibelanya dan dibanggakannya. Sebab itu hanya ada dalam institusi politik yang menerapkan Islam, dan tercermin dalam negara Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah, yang akan meninggikan Islam dan kaum Muslim di seluruh penjuru bumi, serta menjaga hak umat sesuai dengan syariah. Sebagaimana firman Allah SWT: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!" [QS. An-Nisa: 75]. Allah (swt) juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa” [QS. at-Taubah: 123]

Dan Rosul (saw) bersabda, “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad melainkan Allah hinakan mereka” (HR Ahmad).


Sumber:

Zallum, Abdul Qodim. (2001). Pemikiran Politik Islam. Bangil: Al Izzah 

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/political-questions/62162.html

https://mediaumat.news/apa-di-balik-penghapusan-status-khusus-kashmir-oleh-india/

https://www.liputan6.com/global/read/4032285/india-cabut-otonomi-khusus-kashmir-warga-lokal-siapkan-perlawana

https://www.merdeka.com/dunia/konflik-kashmir-pakistan-bakal-kerahkan-pasukan-ke-perbatasan.html

https://www.hidayatullah.com/spesial/analisis/read/2019/08/10/168968/india-mencaplok-kashmir-di-bawah-bayang-bayang-gelap-israel.html

https://www.kiblat.net/?fbclid=IwAR1YanTtGUZ7fOSGB-ojByy0x7v10iDArryxpRfSH26v53XIZoBj8Y1Wdrc




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak