Oleh : Hexa Hidayat, SE
Belum tuntas masalah-masalah yang dihadapi umat Islam tentang kriminalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, mulai dari pelarangan pengibaran bendera Tauhid, sampai kasus ‘drop out’ yang dilakukan rektor sebuah universitas Islam terhadap seorang mahasiswanya, Hikmah sanggala, karena dianggap berafiliasi terhadap aliran sesat. Alasannya sang mahasiswa sering mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah dan membangkitkan pemikiran kaum milenial tentang pentingnya seorang pemimpin muslim pada saat melakukan dakwahnya.
Saat ini, kembali ajaran Islam dianggap seolah-olah pembuat kekacauan, intoleransi, sampai-sampai Direktur kurikulum Sarana Prasarana Kesiswaan dan Kelembagaan (KSKK) Madrasah Kementrian Agama, Ahmad Umar menuturkan, di tahun ajaran baru 2020 tidak akan ada lagi materi perang di mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), baik untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS), ataupun Madrasah Aliyah (MA). ( Gatra.com,13/9/2019).
pernyataan Direktur KSKK diatas merupakan upaya untuk mereduksi ajaran Islam itu sendiri sehingga proses deislamisasi dapat diterima dengan mudah oleh umat. Sehingga makna perang bagi meraka dikaitkan dengan kekerasan bahkan dikaitkan dengan peristiwa sekarang, hal inilah yang disebut dengan deislamisasi yang berarti mereka sendirilah yang berusaha menghilangkan harkat Islam sehingga melabelinya dengan Islam radikalis.
Entah secara sadar atau tidak mereka mencoba meracuni otak para remaja milenial dengan pemikiran sekulerisme. Mereka seolah-olah ingin menanamkan makna toleransi tetapi menghilangkan makna yang seharusnya menjadi semangat perjuangan penghantar keberhasilan Islam. Mereka mencoba hanya memperlihatkan hasil tanpa harus melihat proses yang telah dilakukan karena nantinya dianggap memiliki unsur kekerasan.
Islamophobia atas nama deradikalisasi inilah justru melemahkan kebangkitan pemikiran umat Islam. Kenapa? karena, perjuangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat serta pejuang-pejuang Islam pada masa kejayaan Islam justru harus kembali diceritakan sebagai pelajaran penting kepada kaum milenial sebagai pejuang masa depan, sebagaimana Rasulullah dan para pejuang Islam lainnya rela menumpahkan darah mereka demi tegaknya syariat Islam di buminya Allah SWT sehingga hal ini terbukti menghasilkan kejayaan Islam yang cemerlang selama kurang lebih 1300 tahun telah berhasil menyatukan 2/3 dunia. Bukan malah menghilangkan makna perang yang sesungguhnya. Ini bukan berarti Rasulullah seorang yang intoleran karena keikutsertaan Rasulullah dalam memimpin beberapa perang, sungguh ini pemikiran yang bathil.
Pemerintah seolah lupa, deislamisasi justru menjadi tanya bagi kaum milenial yang berfikir kritis saat ini. Kalaupun materi tentang perang dihilangkan, mengapa justru penganiayaan yang dilakukan kaum kafir terhadap umat muslim justru tidak berkesudahan, seperti yang terjadi di Palestina, Suriah, Mali bahkan negara muslim lainnya dan mengapa lagi-lagi kaum muslim yang menjadi sasarannya sebagai upaya genosida terhadap umat muslim di negara-negara konflik tersebut. Kaum kafir tersebut terus menerus memerangi umat muslim, dari serangan fisik sampai pemikiran.
Lalu, apakah perang semacam ini boleh dipertontonkan kepada kaum milenial tanpa adanya edukasi mengapa hal tersebut bisa terjadi, bukankah hal semacam ini justru membahayakan bagi pemikiran kaum milenial yang ingin mulai berkembang?
Hal tersebut diatas harusnya membuka pikiran kita tentang makna perang itu sendiri. Bagi kaum muslim, makna perang itu sendiri artinya jihad melawan kekufuran. Dan yang paling penting perang itu merupakan perintah dari Allah SWT dalam surat AT-Taubah ayat 29, ALLAH berfirman “ Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada ALLAH dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan kitab, hingga mereka membayar jizyah(pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. “ dan dalam surat At-Taubah ayat 39, “ Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kamu dengan azab yang pedih dan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan merugikan-Nya sedikitpun. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. “ Perintah Allah itu bersifat mutlak dan wajib adanya, tapi dalam pelaksanaannya, ada hal-hal yang harus dan wajib diperhatikan pada saat perang dilakukan, maksudnya disini adalah adanya aturan-aturan dan larangan-larangan dalam pelaksanaan perang, tidak seperti sekarang yang dilakukan oleh kaum-kaum kafir sekarang dimana anak-anak dibantai, fasilitas umum dihancurkan bahkan tempat ibadah pun tak luput dari keganasan mereka seperti yang terlihat di negeri Palestina,Suriah, Mali dan negara muslim lainnya.
Perang adalah pilihan terakhir bagi umat muslim setelah upaya dakwah sudah dilakukan. Dalam perang pun ada aturan yang berlaku, berbeda dengan kaum kafir yang cendrung barbar. Dalam aturan Islam, pada saat berperang dilarang menghancurkan fasilitas-fasilitas umum seperti rumah sakit, maupun sekolah, tidak boleh membunuh anak-anak kecil dan manula, dan tidak boleh menculik warga yang tidak ikut perang untuk dijadikan hamba sahaya, dan banyak aturan-aturan lainnya yang bersifat sangat manusiawi. Sehingga memaknai perang itu sendiri menjadi berbeda antara kaum kafir yang barbar dan kaum Islam yang beradab.
Jadi materi perang sangat penting untuk disampaikan kepada kaum milenial sebagai upaya memberi semangat dan motivasi bagi mereka, bagaimana seorang pemuda seperti Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel pada usia 21 tahun. Dengan ketaatan penuh kepada Allah SWT, bukan sibuk bermain game mobile legend. Dan yang paling penting, kemenangan yang diraih ataupun kemerdekaan yang didapatkan bukan dari hasil bersenang-senang atau bahkan memelas kepada musuh, tetapi justru dari ghiroh umat muslim untuik melawan penjajahan fisik terhadap kaum kafir. Kemerdekaan juga merupakan Anugerah ALLAH SWT kepada umat Islam yang ingin memperjuangkannya baik secara pemikiran maupun fisik. Wallahu’alam bish shawabi