Oleh : Shela Rahmadhani
(Aktivis Agrokompleks)
Wisata agro ekonomi hari digadang-gadang menjadi andalan permasalahan ekonomi. Misalnya wisata agro ekonomi di DI. Yogyakarta dengan nama kampung Flory yang dirintis oleh BUMDES Tridadi sejak tahun 2015 yang menerapkan konsep wisata agro ekonomi berkelanjutan. Kini terpilih menjadi salah satu nominasi di ajang Indonesia Sustainable Tourism Award (ISTA) 2019 (jogja.tribunnews.com, 4/08/2019) dan Anugerah Pesona Indonesia (API) 2019.
Kampung Flory hari ini menjadi sorotan oleh Dinas Pariwisata untuk dipromosikan kepada para pengunjung sehingga diharapkan memberikan efek ekonomi untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran DI. Yogyakarata. Sebagaimana Sri Sultan Hamengkubuwono X mengatakan bahwa “dengan dibukanya Desa Wisata Kampung Flory diharapkan mampu menyerap tenaga kerja sehingga ini menjadi langkah strategis yang nyata dalam mengurangi pengangguran dan berpotensi membuka peluang usaha” (jogja.antaranews.com, 29/04/2018). Tak heran jika pariwisata dimasukkan dalam kajian visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025 karena dianggap strategis untuk mengentaskan kemiskinan.
Sebelumnya, jenis pariwisata terbagi menjadi wisata alami, buatan, dan bangunan sejarah. Wisata alami merupakan sesuatu yang tersedia di alam yang dapat dinikmati secara bebas dan langsung oleh seluruh umat. Wisata alami contohnya seperti laut, pantai, gunung, hutan, dll. Wisata buatan adalah tempat yang didesain oleh campur tangan manusia seperti taman, tempat adventur biasanya ditujukan untuk hiburan sekaligus edukasi. Wisata bangunan sejarah adalah pariwisata yang sarat dengan nilai sejarah terkait perjalanan peradaban setempat.
Wisata alami dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengedukasi dan menghantarkan manusia untuk bertafakkur memikirkan ciptaan Allah swt sehingga tercipta iman dan takwa melalui ke-alam-semestaan. Sebagaimana firman Allah swt:
“ Maka, tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan?. Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan” (TQS. Al-Ghosiyah (88): 17-20).
Wisata buatan merupakan kepemilikan individu tertentu yang didesain dan diciptakan manusia untuk tujuan hiburan dan edukasi tertentu. Pariwisata bangunan sejarah seperti monumen, museum, tempat sejarah digunakan mengingatkan nilai peradaban suatu wilayah dan mempropagandakan nilai peradaban tersebut. Sehingga, tujuan pariwisata adalah edukasi, propaganda, dan hiburan. Berdasarkan fungsi pariwisata tersebut, maka pariwisata seharusnya tidak dijadikan sebagai sektor andalan perekonomian dan penghasilan negara, namun dapat dijadikan unit usaha individu dengan tetap menjalankan tujuan pariwisata yang benar.
Namun, Pengelolaan wisata yang berlandaskan prinsip sekuler menjadikan semua jenis pariwisata sebagai objek kapitalisasi yang bertolak-belakang dengan konsep pariwisata yang benar berdasarkan islam. Keberadaan pariwisata berubah menjadi sektor ekonomi, bisnis dan liberalisasi untuk menghasilkan income bagi para investor, pebisnis, dan negara. Sehingga tak heran, jika ingin menikmati wisata publik harus membayar dengan tarif tertentu, bahkan kadang dengan tarif yang sangat mahal. Padahal aktivitas tersebut menghantarkan pada kezaliman dikarenakan pantai, gunung, dan keindahan alam adalah bagian dari kepemilikan publik sebagaimana dalam hadis Rasulullah SAW:
“kaum muslim berserikat dalam tiga pekara yakni padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam islam, wisata yang boleh dikomersialiasaikan adalah jenis wisata buatan yang merupakan kreasi dan cipta dari individu misalnya wisata tanaman hias. Kampung flory tergolong wisata buatan manusia yang merupakan integrasi dari sentra kuliner, pemandangan alam, adventur, dan tanaman hias, sehingga pelaku usaha sudah sewajarnya mendapatkan profit dan kemudian menjadikannya sebagai jalan pencaharian individu bukan negara karena kekuatan ekonomi pariwisata buatan terbatas.
Meskipun komersialisasi pada pariwisata buatan diperbolehkan, keberadaan investasi asing adalah sesuatu yang harus diwaspadai mengingat begitu tingginya investor asing di bidang pariwisata Indonesia. Berdasarkan Menteri Pariwisata Arief Yahya, tahun 2017, investor asing menguasai sektor pariwisata 90%, dan investor lokal 10% (beritasatu.com, 14/03//2018). Tingginya keterlibatan para investor asing menunjukkan pariwisata Indonesia dikuasai swasta. Jika dikuasai swasta maka fungsi pariwisata berdasarkan perspektif yang benar tidak akan dapat direalisasikan yakni edukasi ketakwaan melalui perantara kosmos (alam semesta), alat propaganda keagungan Islam melalui peninggalan sejarah peradaban Islam, dan hiburan (rekreasi).
Oleh karena itu merealisasikan tujuan pariwisata yang sesungguhnya bergantung pada visi negara dan penguasa yang memiliki rasa tanggung jawab penuh terhadap umat dan islam. Negara yang bervisi benar tidak akan membiarkan investor menguasai sektor pariwisata. Hanya institusi islam yang berlandaskan sistem islam yang dapat menjalan konsep pariwisata secara benar.