Visi Indonesia Bertumpu Pada Investasi, Meneguhkan Imperialisme Asing



    Oleh: Diah Ayu Anggraini, S.SI


Presiden Jokowi menegaskan pihaknya akan membuka investasi seluas – luasnya karena dapat berpengaruh pada lapangan pekerjaan. Hal itu disampaikan Jokowi dalam penyampaian Visi Indonesia dalam Syukuran Nasional 2019. Dia menuturkan investasi berguna untuk pembukaan lapangan pekerjaan seluas – luasnya.

“Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Karena dengan inilah lapangan kerja terbuka sebesar – besarnya,” kata Jokowi dalam acara tersebut di Sentul International Conventional Center (SICC), Minggu (14/7). Oleh karena itu, katanya, hal – hal yang menghambat investasi akan dipangkas. Dia mencotohkan hal itu terkait dengan perizinan yang lambat, berbelit hingga dugaan pungutan liar. “Yang ada punglinya akan saya kejar, akan saya kontrol, akan saya cek dan akan saya hajar kalau diperlukan. Tidak ada lagi hambatan investasi karena ini adalah kunci pembukaan lapangan kerja yang seluas – luasnya,” kata Jokowi.

Catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi Triwulan I 2019 total mencapai Rp 195,1 triliun. Nilai ini naik 5,3 persen dibanding periode yang sama tahun 2018, yaitu sebesar Rp 185,3 triliun. Adapun perinciannya, nilai investasi dalam negeri sebesar Rp 87,2 triliun dan penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp 107,9 triliun.

Bila dicermati masing-masing maupun keseluruhan aspek yang menjadi fokus pemerintahannnya tersebut dan kemudian dikaitkan dengan program-program yang disuarakan pada saat debat capres cawapres beberapa waktu lalu serta keseluruhan sistem kehidupan sekuler yang melingkupi maka dapat disimpulkan bahwa visi pemerintah Indonesia di tangan kepemimpinan presiden Joko Widodo sangat kental dengan muatan neoliberal. Yakni, hanyalah melanjutkan berbagai program neolib pemerintahannya periode lalu yang sudah dirasakan publik begitu menyakitkan bersamaan dengan kedudukannya sebagai negara pengekor (baca: terjajah). Hanya saja pada pemerintahannya di periode ini aspek neolibnya semakin menonjol.

Seperti pembangunan infrastruktur, publik tidak saja dibebani biaya selangit dalam pemanfaatannya namun juga ditegaskan bahwa pembangunan infrastruktur tersebut hanyalah bertujuan memenuhi kepentingan industri (baca:korporasi), bukan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan publik. Artinya publik tetap akan dibebani mahalnya infrastruktur seperti mahalnya tol trans Jawa di samping buruknya ketersediaan berbagai infrastruktur yang murni menjadi kebutuhan publik seperti jalan-jalan umum yang tidak tersambung ke kawasan industri.

Sementara itu pembangunan SDM dari sisi kesehatan dengan pemberian jaminan kesehatan hanyalah melanjutkan program JKN-UHC yang sejak dari awal hingga saat ini tidak saja tak henti menyusahkan masyarakat secara finansial namun juga perjudian nyawa publik di ruang pelayanan kesehatan sudah menjadi biasa. Bahkan di tengah-tengah rencana kenaikan beban premi BPJS Kesehatan sebagai institusi bisnis pelaksana program JKN terus mengeluarkan aturan-aturan yang semakin menyusahkan publik mengakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Seperti keharusan memperbaharui rujukan setiap kali cuci darah bagi pasien-pasien hemodialisa. Sedangkan program pendidikan vokasi neolib dari tingkat pendidikan menengah hingga pendidikan tinggi dengan agenda World Class University  tidak saja mahal namun juga menegaskan sistem pendidikan hanyalah penggerak mesin industrialisasi yang menjadikan kaum terpelajar bangsa ini sebagai buruh terdidik.

Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam mengemukakan, sesungguhnya pendanaan proyek-proyek dengan mengundang investasi asing adalah cara yang paling berbahaya terhadap eksistensi negeri-negeri Islam. Investasi asing bisa membuat umat menderita akibat bencana yang ditimbulkannya, juga merupakan jalan untuk menjajah suatu negara.

Strategi pembangunan yang ditempuh pemerintah saat ini secara substansial tidak berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Dengan berkedok mendorong investasi, pemerintah justru semakin menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Ketergantungan utang menyebabkan sebagian alokasi menyebabkan sebagian alokasi APBN terserap hanya untuk membayar utang dan bunganya dalam jangka waktu yang panjang.

Selain itu, kemandirian negara juga tergadaikan karena komitmen utang yang disepakati mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan negara pemberi utang, namun merugikan negara pengutang, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan,. Hal yang juga sangat mendasar adalah utang-utang yang ditarik oleh pemerintah dan BUMN di atas merupakan utang ribawi yang diharamkan secara tegas oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.

Inikah visi Indonesia yang diinginkan. Jelas bukan, karena semua ini sangat jauh dari tujuan insaniah kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari pada itu sangat bertentangan dengan Islam dari aspek manapun. Pada tataran inilah kembali pada visi mulia sebuah negara dan bangsa sebagaimana tuntunan syariat Islam  merupakan hal yang mutlak diwujudkan. Visi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh penduduk negeri ini untuk membebaskan negara ini dari utang dan cengkeraman kepentingan negara dan lembaga donor kecuali dengan kembali menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khilafah Islam. Sistem tersebut nantinya akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri sesuai dengan Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia negeri ini, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam.

Dengan pengelolaan sistem keuangan negara berbasis syariah, maka akan diperoleh pemasukan rutin yang sangat besar dalam APBN negara yang berasal dari pos fa’i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Abdul Qadim Zallum dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah mengemukakan, bahwa kebutuhan dana negara yang sangat besar juga dapat ditutup dengan penguasaan (pemagaran oleh negara) atas sebagian harta milik umum, gas alam maupun barang-barang tambang lainnya. Tentu hanya bisa terlaksana, jika elit politiknya berkemauan kuat untuk mengelola sumberdaya alam secara mandiri (tidak bermental terjajah). Dan bukan malah menyerahkannya kepada negara lain.

Wallahualam bissawab..



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak