Oleh : Teti Ummu Alif
PT PLN mencatat posisi utang perusahaan setrum pelat merah itu sudah mencapai Rp394 triliun per kuartal I (Q1) 2019. Jumlah itu tercatat lebih tinggi dari posisi utang PLN pada 2018 yang berada di kisaran Rp387,4 triliun.
Plt Direktur Utama PLN, Djoko Abumanan mengatakan nilai utang PLN meningkat sekitar 27,67 persen dari posisi terakhir pada tahun 2014. Dalam penjelasannya, Djoko mencatat, sejak akhir 2015 sampai Maret 2019, secara kumulatif utang PLN meningkat sebesar Rp160,7 triliun. Namun, menurutnya, jumlah utang itu masih aman sebab penambahannya jauh lebih rendah dari penyerapan investasi yang mencapai Rp334,7 Triliun. Artinya, sumber perdanaan PLN dinilai masih lebih banyak berasal dari internal. “Penambahan pinjaman PLN jauh lebih rendah dibandingkan tambahan penyerapan investasi sebesar Rp 334,7 triliun. Ini menunjukkan keuangan PLN yang sehat,” kata Djoko kepada wartawan usai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI di Gedung DPR, Jakarta pada Kamis (27/6/2019).
Sementara Direktur Keuangan PT PLN, Sarwono Sudarto mengatakan, pada 2019, PLN diperkirakan masih akan menambah utang pada Q3 atau Q4. Sebabnya, Sarwono menuturkan banyak investasi yang perlu dibayarkan oleh PLN. Dia memprediksi bila keuangan PLN masih berada dalam keadaan cukup baik maka jumlah pinjaman yang akan diajukan pada tahun ini mencapai 1-2 miliar dolar AS. “Tahun ini akan nambah lagi [utang], mungkin [pada] kuartal 3 atau 4 karena mulai bayar banyak. Bayar investasi. Dulu saya katakan, investasi kita tiap tahun antara Rp80-90 triliun. Sekarang baru 40 persen sisanya nanti cukup banyak utang juga,” ucap Sarwono kepada wartawan.
Kinerja para elit dan petinggi Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat ini patut dipertanyakan. Pasalnya selain belum mampu memberi pelayanan prima kepada pelanggannya, pengelolaan keuangan PLN juga sangat buruk. Ini terbukti dari kian menggunungnya hutang BUMN yang memonopoli sektor kelistrikan itu. Bahkan, Menteri Keuangan, sempat menyurati kementerian terkait (Kementerian ESDM dan BUMN) untuk ‘memeriksa’ apa yang sebenarnya terjadi dengan kas PLN. Bukan hanya itu saja, beberapa mega proyek PLN juga kerap ngangkrak dan terancam tidak terealisasi. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dikalangan elit PLN dalam melaksanakan tugasnya.
Kondisi ini tentu amat disayangkan, mengingat pemerintah tengah berkomitmen tinggi untuk menerangi pelosok negeri dengan listrik PLN dan mengembalikan kepercayaan serta kepuasan publik yang terlanjur tergerus akibat terlalu seringnya pemadaman listrik. Perusahaan besar bernama PLN itu kini dalam kondisi sakit dan harus segera mendapat penanganan tepat dari pemerintah. Jika pemerintah tidak sigap dalam mengambil tindakan, bisa saja PLN tenggelam ke lautan utang yang semakin dalam dan kemungkinan terburuk PLN bisa saja dijual kepada pihak asing seperti halnya Indosat yang dilepas ke Singapura beberapa tahun lalu.
Sebagai BUMN berkelas, ditambah dengan monopoli dalam bisnis kelistrikan dan adanya penyertaan modal negara, harusnya PLN tidak mengalami kesulitan dalam hal finansial.
Saat ini utang PLN dikabarkan terus bertambah seiring dengan berlangsungnya proyek pengadaan listrik 35.000 MW. Fakta inilah yang melatar belakangi Sri Mulyani menyurati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, terkait dengan kesanggupan finansial PLN dalam mengerjakan mega proyek pengadaan listrik tersebut.
Meski dalam kondisi finansial labil yang terbukti dari posisi PLN tidak begitu mendapat minat investor untuk berinvestasi, proyek tersebut tetap berjalan. Menyadari fakta tersebut, pada 2016 lalu kementerian keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 130/PMK.08/2016 tentang tata cara pelaksanaan pemberian jaminan pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Artinya ketika nanti PLN mendapatkan pinjaman, maka pinjaman tersebut akan ditanggung oleh pemerintah ketika PLN di kemudian hari tidak bisa melunasi pinjaman tersebut. Kewajiban meliputi pokok dan bunga pinjaman yang telah jatuh tempo beserta biaya-biaya lain yang timbul berdasarkan pinjaman. utang terus mengalir deras dan PLN terus melakukan kontrak dengan swasta agar program yang dicanangkan pemerintah bisa terwujud.
“Ada beberapa hal yang menyebabkan ada risiko potensi default antara lain, pertama kondisi keuangan PLN yg memburuk. Kedua, kerugian nilai tukar karena sebagian besar kewajiban/hutang dalam denominasi dollar AS tapi pendapatan dalam denominasi rupiah. Kalau refer profil utang pemerintah pusat, pembayaran cicilan pokok hutang PLN sampai dengan Juli 2017 mencapai Rp 35 triliun dan ke depannya berpotensi juga meningkatkan pinjaman luar negeri pemerintah. Kondisi inilah yang perlu diwaspadai karena dapat mengganggu kesinambungan fiskal,” kata Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede (Detik.com)
Dengan kondisi finansial yang ala kadarnya, menteri BUMN justru optimis bahwa PLN masih mampu untuk merealisasikan program kelistrikan nasional presiden Jokowi, salah satunya melalui proyek pengadaan listrik 35.000 MW. Pelaksanaan mega proyek ini rencananya akan dilakukan sebanyak 9.000 MW yang dikerjakan oleh PLN sendiri, sedangkan sekitar 26.000 MW dikerjakan oleh penyedia listrik swasta atau IPP. Padahal banyak pengamat ekonomi dan sejumlah kalangan lainnya yang meragukan kesehatan keuangan PLN untuk merealisasikan proyek tersebut.
Menjawab keraguan finansial PLN itu, Rini Soemarno menyatakan bahwa pihaknya selama tiga tahun sebagai Menteri BUMN dirinya selalu mengingatkan semua perusahaan milik negara termasuk PLN sebagai perusahaan besar harus menjaga rasio utang dan meningkatkan kualitas aset.
“Wajar juga jika Menteri Keuangan mengingatkan agar PLN dengan proyek yang banyak harus menjaga rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) perusahaan. Harus dijaga dan diyakini bahwa dalam melakukan investasi aset-asetnya harus berharga, misalnya, pembangkit harus bisa memproduksi listrik, efisien dan memadai. Sehingga tambahnya, dalam keadaan membutuhkan investasi jika perlu aset bisa dijual,” katanya. (AntaraNews.com)
Pemerintah melalui kementerian terkait harus segera melakukan pembenahan di tubuh PLN. Bukan hanya memeriksa dan membenahi finansial saja, melainkan juga melakukan audit dan pemeriksaan mendalam atas kinerja direksi yang terkesan tidak becus dalam menjalankan perusahaan. Perlu ditegaskan bahwa masalah PLN bukan hanya dari kesehatan finansial belaka, melainkan juga dalam hal pelayanan dan pendistribusian listrik yang sampai saat ini masih amburadul.Seandainya pemerintah memang tidak ingin PLN semakin terlilit utang dan berujung pada penjualan perusahaan ke tangan asing, tidak ada salahnya untuk melakukan pembenahan, baik dari komando kementerian maupun internal PLN itu sendiri. Semoga kedepannya PLN dapat terlepas dari lilitan utang dan memperbaiki kualitas mutu pelayanan terutama mengurangi intensitas pemadaman listrik.
Sebenarnya, PLN tak perlu terlilit utang seperti saat ini jika sistem ekonomi yang dijalankan benar. hal Ini menyangkut kepemilikan [milkiyyah], pengeloaan kepemilikan [tasharruf], termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat [tauzi’]. Maka negara akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai segala bentuk penyelanggaraan negara. Serta memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan termasuk listrik. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga.
Dengan begitu, ketika negara mengalami situasi dimana harus membangun infrastuktur kelistrikan, maka Negara banyak pilihan. Karena, masalah penyelenggaraan negara sudah selesai. Masalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya juga sudah selesai. Dengan kata lain, negara lebih leluasa membuat kebijakan. Pada saat yang sama, kebijakan itu tidak akan membebani rakyatnya, sebagaimana yang dialami oleh rakyat di negeri ini. Hal ini dikarenakan kekayaan milik umum dikuasai dan dikelola oleh negara itu sendiri bukan diserahkan pengelolaannya kepada pihak Asing. Sehingga kas negara selalu terisi. Negara pun tidak akan bergantung pada utang kerena saat ini hutang luar negeri ini telah digunakan sebagai alat untuk menguasai dan menjajah sebuah negara. Selain menggunakan riba, di dalamnya juga ditetapkan berbagai syarat yang mengikat negara penerima utang. Pemerintah seharusnya cermat dalam masalah ini. Wallahu a'lam bis shawab.