Oleh : Teti Ummu Alif
(Pemerhati Sosial)
Akhir - akhir ini beredar luas perdebatan seputar isu dan gagasan "Penghapusan Pelajaran Agama Di Sekolah". Tak pelak ini menguras energi publik. Apalagi bila dibahas oleh mereka yang tidak menganalisa dengan benar perihal kabar tersebut. Adalah seorang Setyono Djuandi Darmono (SD Darmono) yang kembali mempopulerkan gagasan tak lazim ini. Beliau adalah pengusaha yang merupakan pendiri sekaligus Chairman Jababeka Group. Group ini sukses sebagai pengembang kawasan perkotaan dan industri baru. Darmono selain sukses dalam bisnis, diketahui memiliki pengaruh kuat dan dikenal dekat dengan tokoh politik juga orang penting di Indonesia.
Sebenarnya 2017 lalu, telah heboh perihal kabar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan "akan meniadakan pelajaran agama di kelas". Tribunnews mengangkat tema ini di kolomnya. (http://m.tribunnews.com/amp/nasional/2017/06/14/kemendikbud-bakal-hapus-pelajaran-agama-di-kelas-ini-pro-dan-kontranya). Kemendikbud berencana meniadakan pelajaran agama formal didalam kelas dan akan menggantinya dengan pendidikan (agama) di madrasah diniyah, masjid, pura, atau gereja.
Kemendikbud beralibi, rencana itu terkait pemberlakukan waktu kegiatan belajar lima hari sekolah. "Sekolah lima hari tidak sepenuhnya berada di sekolah. Siswa hanya beberapa jam di dalam kelas dan sisanya di luar kelas," tukas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Selasa (13/6/2017). Namun ide ini mendapat penolakan keras. Mayoritas Ormas Islam, MUI, Anggota DPR menanggapi dingin dan menyarankan agar Muhadjir mengurungkan niat tersebut. Ternyata ide ini kembali mencuat saat ini bahkan lebih ekstrim lagi.
Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda," kata Darmono pada acara bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Gagasan singkat, padat, jelas dari Darmono ini segera ditanggapi beragam. Pro dan kontra segera bersahutan. Biasanya di Medsos gagasan ini didukung oleh pendukungnya namun biasanya dengan memakai akun abal-abal. Di dunia nyata belum ada tokoh politik yang membela Darmono. Mungkin saja takut dicap 'anti agama'.
Dari pihak oposisi, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (FPKS DPR RI), Jazuli Juwaini berpendapat ide ini bertentangan dengan dasar negara, Pancasila. "Ini ide sekularisasi yang menjauhkan generasi bangsa dari nilai-nilai agama. Ide atau wacana ini bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tujuan pendidikan nasional yang sangat menekankan nilai-nilai pendidikan agama di sekolah. Kami menolak tegas wacana ini," tegas Jazuli.
Bahkan pendukung Jokowi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) nampak tidak sepakat ihwal ide tak populer tersebut. Wakil Ketua Komisi X DPR, Reni Marlinawati yang berpendapat bahwa "pernyataan yang menganggap pendidikan agama sebagai pemicu adanya politisasi agama merupakan pernyataan yang keluar batas". "Tudingan terhadap pendidikan agama sebagai pemicu adanya politisasi agama merupakan pernyataan yang offside, ahistoris dan tidak paham dengan sistem pendidikan nasional," ujar Reni di Gedung DPR RI pada Jumat (5/7/2019).
Meskipun, wacana tersebut sudah diklarifikasi oleh pihak yang bersangkutan bahwa itu hanyalah kesalahan penafsiran semata dan itu hanya bahan renungan agar kualitas pendidikan agama di negeri kita menjadi lebih baik kedepannya tetapi isu ini terlanjur bergulir ke publik bak bola liar yang tak tentu arah. Tak pelak banyak masyarakat yang kembali bereaksi terutama para orang tua yang sudah susah payah menyekolahkan anaknya ditengah biaya pendidikan yang meroket saat ini. Jika ditilik dari argumen mereka bahwa pelajaran agama adalah sumber radikalisme, kerusakan mental, ekslusifisme, dan lain sebagainya tentu menyentil naluri keagamaan kita apalagi negeri ini nota bene negeri yang mayoritas penduduknya Islam. Jelas ini adalah argumen yang mengada - ada alias ngawur. Karena yang namanya agama pasti mengajarkan kebaikan bukan keburukan.
Sungguh Islam adalah agama yang Paripurna dan sempurna dalam mengatur seluruh aspek kehidupan mulai dari urusan ibadah, muamalah, akhlak, sampai urusan penyelenggaraan negara. Islam juga agama yang sangat menghormati pluralitas ( kemajemukan) tapi bukan pluralisme karena 2 hal ini sangat berbeda. Sebagaimana dalam Surah Al hujurat : 13 " Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti".
Bisa dibayangkan apa jadinya anak-anak kita jika tanpa pelajaran agama di sekolahnya. Apa jadinya mereka jika tak mengenal siapa Sang Pencipta. Jangan sampai anak cucu kita hidup dengan prinsip Komunis yang mengingkari adanya Sang Pencipta. Nauzubillah min dzalik. Penyebab segala kebobrokan dan kerusakan yang terjadi di negeri kita tercinta bukanlah disebabkan karena agama justru sumber segala kekacauan yang terjadi karena agama tidak dipakai sebagai aturan dalam hidup ini. Kita lebih memilih memakai sistem buatan manusia yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara alias Sekularisme. Paham ini mengajarkan kita untuk tidak memakai agama diluar wilayah ibadah. Agama tidak boleh mengatur ranah publik. Seharusnya, paham inilah yang dicabut sampai ke akar-akarnya dan dibuang ke tong sampah peradaban karena sudah terbukti gagal membawa manusia kearah yang lebih manusiawi. Hanya disistem ini nyawa manusia begitu tak berharga, keadilan tak pernah dirasakan rakyat kecil, kesejahteraan susah untuk diraih, manusia semakin tak bermoral, korupsi menggurita, LGBT merajalela minta pengakuan, dan masih banyak lagi masalah yang ditimbulkan.
Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang dibuat oleh Sang Pencipta Semesta. Yang sudah teruji berpuluh abad menguasai 2/3 belahan dunia. Menghapus segala bentuk penyembahan selain pada Allah. Menghasilkan pemimpin yang amanah, takut pada pengadilan akhirat bukan hanya sekedar pemanis bibir. Sesungguhnya agama dan penguasa adalah 2 hal yang tak terpisahkan bagai 2 sisi mata uang dimana agama sebagai pondasinya dan penguasa sebagai pelindung. Segala sesuatu yang tanpa pondasi akan runtuh dan segala sesuatu yang tanpa pelindung akan lenyap. Siapkah kita menyongsong kelahiran peradaban baru yang memanusiakan manusia dan mampu menciptakan keadilan yang nyata? Wallahu A'lam bisshawwab.