Oleh: Nuraisah Hasibuan S.S.
Sungguh ironis melihat reaksi keras beberapa pejabat negara terhadap istilah syariah. Tepatnya pada hasil Ijtimak Ulama IV yang menyerukan NKRI bersyariah berdasarkan Pancasila.
Ijtimak Ulama yang diadakan pada Senin (5/8) di Hotel Lor Inn, Sentul-Bogor, menghasilkan 4 poin pertimbangan dan 8 poin rekomendasi. Salah satunya adalah poin nomor 3.6. yang berbunyi, “Mewujudkan NKRI Syariah yang berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi, agar diimplementasikan dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.”
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, ketika dimintai tanggapannya mengenai hal ini mengatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam. Ideologi negara adalah Demokrasi. Maka segala ideologi yang berlawanan dengan Pancasila harus dilawan.
Namun pada faktanya, perlawanan paling keras hanya pada ideologi Islam. Ketika beberapa tahun terakhir ini semakin tercium gelagat munculnya ideologi Komunis, yang nyata-nyata meninggalkan jejak memilukan dalam sejarah Indonesia, justru tidak tampak perlawanan pada ideologi ini sebagaimana halnya keras pada ideologi Islam.
Jalinan mesra dengan negara-negara berideologi komunis juga tidak pernah dianggap sebagai ancaman. Padahal hal tersebut sangat berpotensi pada tersemainya kembali ideologi terlarang tersebut di negeri ini, sebagaimana fitrah ideologi apapun yang memang ingin selalu disebarkan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla juga tidak ketinggalan memberi tanggapan. Menurutnya, hal ini tidak perlu dibesar-besarkan. Para ulama yang berkumpul pada Ijtimak Ulama IV di Sentul itu adalah para ulama dari “kelompok” yang sama, sehingga wajar jika memiliki pemikiran yang sama. Sementara di negeri ini masih banyak ulama lain yang bisa dijadikan panutan.
Padahal jika dilihat, para ulama yang hadir di acara tersebut berasal dari berbagai latar belakang ormas seluruh Indonesia. Artinya pemikiran mereka yang seragam itu bukanlah “doktrin” salah satu kelompok, melainkan pemikiran yang didasarkan pada Islam semata.
Lebih jauh lagi, Jusuf Kalla meminta masyarakat agar tidak alergi pada kata syariah. Bukan karena pro, namun karena ia menganggap syariah bukan hal yang mengerikan. Menurutnya, syariah itu mudah, seperti shalat, puasa, menutup aurat, atau bahkan kegiatan mengajar.
Pengerdilan makna syariah ini hampir sama seperti yang diungkapkan Sekertaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (Sekjen PPP) Asrul Sani. Ia menyebutkan bahwa selama ini PPP sudah berjuang menerapkan syariah, yakni dalam hal pemberantasan minuman keras. Sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan bidang keperdataan atau pelaksanaan syariat di bidang publik cukup dibicarakan di kalangan umat Islam saja. Termasuk pembahasan tentang pelaksanaan syariat dalam sistem khilafah, cukuplah dibicarakan dalam forum-forum diskusi. Ia menegaskan bahwa Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah empat konsensus bangsa yang sudah disepakati dan tidak bisa lagi diganti.
Tampaknya Jusuf Kalla dan Asrul Sani lupa bahwa syariat Islam tidak sebatas hal-hal tersebut. Rekomendasi Ijtimak Ulama agar negara menerapkan Pancasila bersyariah justru karena mereka paham bahwa hanya syariat Islam lah yang paling menyeluruh dan sempurna pengaturannya. Dan yang paling penting, penerapan ini menjadi penting karena perintah penerapan Islam secara kaffah ini datang langsung dari Allah Azza wa Jalla.
Namun tetap saja upaya-upaya penolakan datang silih berganti. Termasuk dari Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, yang mengatakan bahwa sebenarnya nilai-nilai syariat Islam sudah tertuang dalam sila I (satu) Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya tidak perlu lagi memaksakan pancasila supaya diganti menjadi Pancasila Syariah.
Masalahnya, implementasi sila pertama Pancasila tersebut tidak pernah tampak. Penyebabnya bisa jadi karena sila ini masih bermakna sangat general, bahkan bisa bermakna rancu. Cermati saja bunyinya, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Toh, agama-agama lain yang tuhannya Tidak satu (Esa) tetapi diakui bukan? Belum lagi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah, banyak yang justru kontradiktif dengan aturan Tuhan.
Sehingga di sinilah para ulama merasa perlu menambahkan istilah syariah pada Pancasila. Agar sila-sila pancasila yang sebenarnya sudah bagus tersebut semakin baik karena memiliki penjabaran yang lebih tegas, lengkap, dan terukur. Artinya jika negara menjadikan Pancasila sebagai sumber hukum, maka hukum yang ditarik darinya tidak keluar dari jalur yang seharusnya, yakni jalur yang berketuhanan (baca, syariah).
Betul kata pak Wakil Presiden, tidak perlu alergi dengan kata 'syariah'. Dengan melihat sejarah penerapannya di masa lalu, syariah telah membawa kebaikan bagi semua umat manusia dalam segala hal. Di mana yang disuburkan hanya kemaslahatan dan yang diberantas hanya kemungkaran.
Sehingga menjadi sangat tidak logis jika ada yang mengaku cinta Indonesia, menginginkan kebaikan dan kemakmuran untuk Indonesia, tetapi menolak hal yang terbukti jelas akan membawa kebaikan bagi Indonesia, yakni syariah.
Jangan sampai para pejabat negara yang menolak penerapan Pancasila Syariah ini dianggap sebagai penghalang tersampaikannya kebaikan bagi rakyat. Karena ketika kebijakan buatan manusia terasa sudah buntu dalam memecahkan permasalahan ummat, maka itulah saat yang tepat untuk mengandalkan kebijakan paripurna dari Yang Maha Sempurna. Semoga dengan menyerahkan semua keruwetan permasalahan negeri ini hanya pada Allah, maka akan dimudahkan-Nya jalan keluar.