Oleh : Puji Astuti, S.Pd.I
Sebagaimana dilansir oleh Medcom.id (14-07-2019) bahwa sejumlah perempuan yang tergabung dalam Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) kerena tidak memiliki tolak ukur yang jelas dan mengandung multitafsir.
Tak hanya itu, Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati) juga menolak RUU P-KS karena dinilai melanggar norma agama serta sarat dengan muatan feminisme dan liberalisme.
Sejak digulirkannya RUU P-KS memang menuai pro dan kontra. Hal itu dikarenakan beberapa pasal yang terdapat dalam RUU P-KS disinyalir bersifat ambigu dan dikhawatirkan nantinya akan melegalkan kemaksiatan di negeri ini.
Yang menjadi sorotan dalam RUU P-KS yaitu perihal "kekerasan" seksual. Maka siapapun yang dinilai melakukan kekerasan seksualnya terhadap perempuan akan dapat terkena delik pidana. Nantinya bukan hal yang mustahil , para suami yang "memaksa" istrinya berhubungan intim juga akan terkena delik pidana. Komnas Perempuan mengatakan bahwa suami yang memaksa istrinya berhubungan intim, hal itu dapat dikategorikan pemerkosaan dalam rumah tangga. Bila ada laporan dari sang istri, suami bisa dikenai sanksi pidana.
Inilah produk hukum sistem sekuler-liberal yang tidak mampu memberikan keselamatan kepada perempuan. Hal yang paling mendasar dari munculnya RUU P-KS adalah kesalahan pandangan terhadap penyebab kekerasan yang dialami perempuan. Sistem sekular-liberal memandang bahwa kekerasan yang dialami perempuan dikarenakan tidak adanya kesetaraan gender. Tidak diberikannya kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah di wilayah domestik sebagaimana pria. Posisi perempuan selalu termarjinalkan karena terkungkung budaya patriarki. Oleh karena itu perempuan butuh payung hukum yang dapat melindungi mereka.
Sungguh semua permasalahan yang menimpa perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan perempuan hingga perdagangan perempuan (trafficking ), dan lain sebagainya dikarenakan negeri ini menganut sistem sekuler liberal yang menjauhkan agama dari kehidupan. Ini adalah sistem buatan manusia yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan, sehingga menghasilkan kerusakan.
Berbeda dengan sistem Islam yang berasal dari Allah SWT Sang Pencipta. Dia yang mengetahui setiap kelemahan dan keterbatasan manusia, memahami apa yang terbaik untuk setiap hambaNya. Islam memiliki 3 pilar dalam penerapan syariat Islam, yang pertama adalah ketakwaan individu. Individu yang bertakwa kepada Allah SWT, menjalankan perintahNya, salah satunya adalah menutup aurat, akan menghindarkan dirinya dari tindakan kekerasan. Suami dan istri yang memahami hak dan kewajiban dalam rumah tangga, sehingga tidak ada kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Pilar yang kedua adalah, masyarakat yang saling peduli satu sama lain. Ada amar ma'ruf nahyi mungkar dalam masyarakat. Satu dengan yang lainnya saling mengingatkan ketika individu melakukan kemaksiatan. Tidak ada ruang untuk individualisme. Sehingga
kontrol masyarakat akan terjaga.
Pilar yang terakhir adalah negara yang menjamin pelaksanaan sistem Islam kepada seluruh masyarakat. Dalam Islam, negara berkewajiban melindungi kehormatan dan kemuliaan perempuan. Negara akan melarang setiap aktivitas meng eksploitasi kecantikan perempuan dan menutup setiap segala hal yang mengarah kepada pornografi dan pornoaksi.
Semua pilar tersebut hanya bisa diterapkan dalam naungan sistem Islam saja, bukan sistem sekular-liberal. Saatnya kini kaum muslimin turut berjuang agar sistem Islam dapat terwujud, karena dengan sistem Islam, perempuan akan dimuliakan. Wallahu'alam bisshowab.