Oleh : Eli Marlinda, S.Pd.i
Apa yang terlintas dalam pikiran anda? ketika Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mempersilahkan para mahasiswa dan civitas akademika yang ingin melakukan kajian mengenai paham Marxisme & LGBT di lingkungan kampus yang sudah tersebar di media cetak dan elektronik.
Mungkin akan sama dengan jawaban saya: Muak, Gerah bahkan mempertanyakan balik kepada Menristekdikti, Situ Sehat??.
Padahal jauh-jauh orang tua menyekolahkan anaknya ke ibukota untuk menjadi manusia yang lebih baik, menaikkan taraf berpikir yang rendah menjadi bermartabat bahkan yang paling penting mengenal dirinya sebagai Hamba Allah.
Namun cita-cita luhur yang diinginkan oleh setiap orang yang ingin menyekolahkan anaknya ke bangku Pendidikan tampaknya akan kandas dengan kebijakan Menristekdikti di atas. Betapa tidak, bukankah dengan mempelajari sesuatu akan membentuk pemahaman tertentu.
Pernah terjadi wawancara BBC.com dengan salah seorang Dosen dan peneliti pluralisme di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon tahun 2016 yang menyatakan dia mendukung LGBT dan selama enam tahun terakhir setelah keputusannya untuk mendengar dan mengenal orang-orang dalam komunitas ini kemudian mengubah pandangannya bahkan berani mengatakan ada tafsir ajaran Islam yang saat ini terlalu didominasi oleh pandangan orang-orang heteroseksual sehingga LGBT tidak menemukan tempat dalam agama.
Berbagai keanehan pun terjadi sebelumnya, Mohamad Nasir meminta Universitas mendata akun media sosial pegawai, dosen, dan mahasiswa untuk menanggulangi radikalisme dan intoleransi.
Satu sisi memberikan fasilitas ide Marxisme, LGBT untuk dipelajari sedangkan Ide-Ide yang bernuansa Islam termasuk Islam Kaffah (baca:Khilafah) dianggap sebagai radikal dan intoleransi.
Lucu memang, sebagai negeri yang tercatat dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dengan Islam sebagai agama yang mayoritas, pemangku kebijakan di negeri ini masih takut akan Islam.
Mereka Muslim tapi Islamophobia, khawatir akan Islam, seolah Islam itu sebab dari semua masalah yang terjadi dan karenanya Islam itu dirasa harus disingkirkan dari kehidupan. Lihat saja ketika kasus penistaan agama terjadi. Semua hal dipandang dari sudut Islamophobia.
Ada hal mendasar sebenarnya yang menimpa negeri ini termasuk di dunia pendidikan, yakni Sekulerisme. Agama di anggap sebagai urusan privat semata, tidak boleh masuk pada ranah pendidikan, ekonomi bahkan pemerintahan.
Tentu ini sangat berbeda dengan Islam, semua permasalahan dalam kehidupan baik itu masalah pribadi maupun permasalahan bangsa dan Negara tidak terlepas dari bagaimana pandangan syariat yang diajarkan oleh Rasulullah Saw dalam memecahkan atau problem solving terhadap penyelesaian masalah tersebut.
Pernyataan Menristekdikti tentang kebolehan mempelajari ajaran komunis, maka Islam tidak akan memberikan peluang masuknya ide, pemikiran dan pemahaman yang akan memperlemah akidah kaum muslim.
Pendidikan diawali dengan penanaman akidah yang kokoh pada jiwa seorang muslim. Ide atau pemikiran yang bertentangan dengan Islam hanya boleh dipelajari jika penanaman akidah ini telah tertancap kuat pada benak mereka.
Barulah ide-ide (isme-isme) lain yang merusak akidah umat bisa dipelajari untuk sekedar mengetahui kesesatan dan kelemahannya bukan kemudian langsung disodorkan untuk dipelajari tanpa memperkuat pondasi aqidah umat. Wallahu’alam bishawab.