Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang, pangan di tanah air yang kaya ini, maka sebenarnya kita sendiri yang tolol, kita sendiri yang maha tolol. (Soekarno_proklamator RI)
Hari Pangan Sedunia (HPS) dijadwalkan terselenggara 24 Oktober 2019 di Kota Kendari. Dalam agendanya, Presiden RI bakal hadir di Kota Lulo tersebut. Selain presiden RI, dikabarkan juga ketua Food and Agriculture Organization (FAO) serta tamu-tamu dari negara tetangga akan berkumpul meramaikan HPS.
“Ketua FAO sendiri akan hadir pada acara ini dan kurang lebih tamu dari 44 negara sahabat akan hadir,” tukas Nahwa Umar, sekretaris kota Kendari. (sultrakini.com, 16/7/2019).
Kelaparan Dunia, Sebuah Ironi
Siapa sangka di balik gelaran tahunan HPS ada kelaparan yang mencekam. Bukti menunjukkan angka kelaparan terus meningkat selama hampir tiga tahun terakhir. Orang-orang di dunia yang menderita kurang makan kronis, telah meningkat dari sekitar 804 pada 2016 menjadi hampir 821 juta 2017, 11 persen dari populasi dunia atau setara dengan satu dari sembilan orang di planet. (republika.co.id, 18/10/2018).
Ambisi mewujudkan zerohunger2030 yang menjadi slogan FAO sepertinya masih jauh panggang dari api. Terlebih di tanah zamrud khatulistiwa. Laporan Global Index Hunger menyebutkan bahwa masalah kelaparan di Indonesia berada pada urutan 73 dunia dengan skor tinggi yaitu 21,9. Bahkan untuk level Asia Tenggara bertengger di tiga terbawah di atas Kamboja dan Laos.
Untuk Sulawesi Tenggara sendiri, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2019 adalah 302,58 ribu orang (11,24 persen), bertambah sebesar 0,73 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2018 yang berjumlah 301,85 ribu orang (11,32 persen). (bps.go.id, 15/7/2019).
Ironinya di tengah kesulitan hidup yang mendera ada saja segelintir orang yang kenyang dengan kekayaan yang selangit. Sebut saja Jeff Bezos, orang terkaya di dunia. Kekayaannya terkini mencapai USD 110 miliar (Rp 1.569 triliun). Di dalam negeri salah satunya Nyoman Dhamantra, Anggota Komisi VI DPR I. Pria yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait kuota impor bawang putih memiliki jumlah harta kekayaan Dhamantra Rp 25.189.359.500,00 (acch.kpk.go.id, 9/8/2019). Fantastis bukan? Bukan mustahil masih banyak lagi yang lainnya.
Itu dari sisi personal. Kebijakan yang diambil para Elit penguasa pun tak kalah ajaibnya. Alih-alih memberdayakan seluruh potensi lahan dan sumber daya guna mengatasi kelaparan, justru menelurkan masalah baru. Antara lain dengan membuka keran impor untuk segala komoditas. Mulai dari beras, gula, kedelai, garam hingga ikan asin. Nasib petani, peternak, nelayan terlebih petani penggarap pun seolah digiring ke ujung tanduk. Jangankan difasilitasi berupa pembiayaan pertanian malah berjuta hektar lahan produktif dikonversi. Ujungnya kelaparan tak pelak setia menghantui.
Jujur saja, menilik problemnya sekilas amat kompleks. Tetapi dapat diurai dari mana akarnya bermula. Tak dapat dipungkiri kebijakan yang berkiblat pada sistem kapitalismelah biangnya. Terbukti impor demi impor yang dilakukan menyulap negeri ini tak lebih sebagai market, pasar bagi barang produksi negara kapitalis. Keberadaan Indonesia di arena G-7 yang beranggotakan negara industri maju semakin menguatkan hal ini. Bermodal indeks kelaparan yang tinggi namun dengan jumlah penduduk yang besar menjadikan nusantara melenggang ke arena G-7 yang dihuni negeri-negeri maju (baca: kapitalis).
Perlu diingat juga bagi negara-negara kapitalis, demi mencari bahan baku dan pembeli sejak dulu rela melakukan ekspansi hingga penjajahan. Baik secara fisik dengan pendudukan militer maupun dengan gaya baru, dominasi di bidang ekonomi dan politik.
Sistem ini nyata merusak dan menyengsarakan. Tak heran imbasnya terlihat hingga ke level pribadi-pribadi yang merupakan produk sistem ini. Hemat kata, sistem yang buruk sangat berisiko memunculkan figur yang buruk pula. Bermental curang, culas, arogan serta korup. Nyoman Damanthra hanya satu di antara sekian figur elite yang bobroknya terungkap di permukaan. Lainnya? Seperti kata pepatah sepandai tupai melompat, akhirnya jatuh jua. Tinggal tunggu waktu saja.
Jika Masalahnya di Akar, Mustahil Ranting jadi Solusi
Setuju. Akarnya ada pada ideologi kapitalisme yang berlaku, wajar jika dicabut. Untuk kemudian digantikan dengan yang baru. Islam yang dulu – ketika diterapkan – terbukti berjaya hingga berabad lamanya. Diturunkan dari Sang Pencipta yang Maha Tahu melalui perantaraan manusia mulia, Baginda Nabi Muhammad saw. Sudah tentu lebih dari layak sebagai pengganti. Selain merupakan konsekuensi iman juga karena Islam agama yang sempurna. Termasuk memiliki visi dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Maka syariah Islam sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk menjadikannya produktif atau menanaminya. Berikutnya tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat perhatian terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib (juru tulis) untuk mencatat hasil produksi Khaibar dan hasil produksi pertanian.
Sampai di sini jelas Islam dan kapitalisme berbeda bagai bumi dan langit. Jika sebelumnya kapitalisme hanya melahirkan individu yang buruk pikir dan rasanya, Islam sebaliknya. Sistem yang baik dari Yang Maha Baik sukses mencetak figur yang jujur, adil dan amanah sepanjang sejarah peradabannya. Nama-nama mereka tertulis dengan tinta emas. Ingat duo khalifah Umar bukan? Umar bin Khattab ra. yang rela memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang lapar serta Umar bin Abdul Aziz yang tersedu sesaat setelah ditunjuk mengampu jabatan khalifah.
Demikianlah sebagian gambaran syariah Islam memberikan solusi pada masalah pangan. Sempurnanya konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin diterapkan secara kaffah oleh negara. Semoga semakin banyak yang memahami untuk selanjutnya menyadari pentingnya memeluk syariah Sang Pencipta alam semesta demi selamat dunia akhirat. Wallahu ‘alam.
Ummu Zhafran
( member Akademi Menulis Kreatif )