Oleh: Anita S. S.Pd
Tokoh nasional sekaligus ketua umum partai Nasdeem Surya Paloh, dalam pidatonya saat mengisi kuliah umum di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia malu-malu kucing untuk mendeklarasikan sebagai negara kapitalis yang liberal. Sistem negara kapitalis liberalis ini, menurut Surya sangat jelas terlihat saat ada kompetisi politik dalam negara ini. Namun dia tak menjelaskan kompetisi apa yang dia maksud (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190814184758-32-421367/surya-paloh-sebut-indonesia-negara-kapitalis-liberal).
Sebuah negara terkategori sebagai negara kapitalis jika negara tersebut menyerahkan kegiatan perekonomian kepada pasar/swasta khususnya para pemilik modal, bukan kepada pemerintah. Dalam sistem ini tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik di suatu negara.
Secara umum sistem kapitalis iberalis mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas bagi para individu. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan berpikir, memiliki sesuatu, berpendapat, dan beragama. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan terhadap apa yang disebut dengan hak-hak asasi baik oleh pemerintah maupun agama.
Dewasa ini paham liberalisme telah berevolusi menjadi paham neoliberalisme.. Paham ini memfokuskan pada pasar bebas, perdagangan bebas, dan merobohkan hambatan-hambatan perdagangan internasional dan investasi. Berdasarkan metode ini harapannya semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup rakyatnya melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.
Privatisasi BUMN yang merupakan kunci pelaksanaan paham ini mulai dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1980-an. Kepemilikan saham beberapa perusahaan BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat (Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk., dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. telah berpindah kepada swasta baik asing maupun lokal. Walhasil beberapa ketentuan operasional perusahaan termasuk harga jual produknya juga akan berubah sesuai dengan kebijakan para pemegang saham dan tak lagi mengabdi untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Berikutnya pemerintah akan menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, dan mengurangi fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik. Pada akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik.
Suksesi karakter negara dari menyediakan pelayanan menjadi memenuhi permintaan pasar menjadikam negara tak lagi memperhatikan kesejahteraan umum. Nampaknya kondisi inilah yang menyulut upaya rakyat Papua untuk memerdekakan diri lepas dari pangkuan negara kesatuan Indonesia.
Papua yang merupakan provinsi yang sangat kaya seharusnya mendapatkan pelayanan dan fasilitas publik yang memadai sehingga kemakmuran masyarakat terjamin. Akan tetapi faktanya daerah penghasil tembaga dan emas ini, memiliki tingkat kemiskinan 8 kali tingkat kemiskinan warga Jakarta. Merujuk kepada Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan di Papua meningkat hampir 60 ribu orang sejak tahun 2014 hingga 2018. Oleh karenanya sangat wajar jika penduduknya mengajukan referendum untuk memerdekaan diri.
Selama kebijakan yang berakar dari ruh kapitalis-neoliberalis terus diterapkan di negeri Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam, acaman perpecahan bangsa akan menghantui setiap saat. Apalagi didukung oleh fakta pengelola sumber daya alam tersebut sebagian besar adalah asing, baik Amerika, Inggris, Australia, Belanda, atau China. Bisa dipastikan mereka akan berupaya untuk semakin memperluas penguasaan sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.