Rezim Anti Rakyat Memalak Lewat Pajak



Oleh: 

Kareem Syaheeda


Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surge. Tombak, kayu dan batu jadi tanaman. 


Petikan lagu karya Koes Plus menggambarkan betapa makmurnya negri yang kita cintai ini, Indonesia. Sayangnya kemakmurannya belum dinikmati oleh semua rakyat nya. 


Berbagai kenyataan pahit harus dialami oleh rakyat. Dimana kebijakan-kebijakan strategis tidak berpihak kepada rakyat. Kemakmuran ibarat panggang jauh dari api. 


Kondisi perekonomian menunjukkan tanda-tanda jatuh bahkan kolaps. Sejumlah kalangan menyebut Indonesia akan bangkrut karena beban utang pemerintah yang dianggap sudah  menggunung. 


Dari sisi utang per akhir April 2019, posisi utang pemerintah masih pada level di 29,65 persen dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan ketentuan UU Keuangan Negara sebesar 60 persen. (CNNbisnis.com 3/7/2019). 


Alih-alih berupaya memperbaiki keadaan dengan menggerakkan aspek produksi dan memperluas jangkauan pasar agar ekonomi Indonesia bisa berdaya dan mandiri, nyatanya mereka membuat strategi dengan menggenjot pajak. 


Jelas, pajak adalah kebijakan yang tidak pro rakyat. Segala tagline persuasif dilancarkan seolah-olah pajak adalah benar-benar kewajiban rakyat kepada negara. Dari mulai jargon "mendekati, melayani dan memudahkan" sampai yang tagline  terbaru adalah agar orang membayar pajak semudah membayar pulsa. 


"Makanya besoknya saya rapat langsung bilang kemarin saya punya pengalaman saya melihat sendiri kalo beli pulsa itu cuma take a second sambil makan saja kita langsung bisa. Saya kepingin bayar pajak semudah beli pulsa," tutur Sri Mulyani. (detikFinance.com 2/8/2019). 


Ide itu tak hanya sekedar wacana. Ditjen Pajak akan kerjasama dengan e-commerce seperti Tokopedia untuk mempermudah pembayaran pajak.  Bahkan istilahnya orang mau menyimpan harta di sumur yang sulit ketahuan pun akan tetap ditarik pajaknya meskipun harus menurunkan drone. 


"Jadi anda mau pindah nggak jadi ke bank tapi ke insurance ya tetap akan laporin. Kalau mau ya gali aja sumur di belakang rumah taruh duitnya di situ. Oh masih ada yang seperti itu? nanti saya pakai drone cari di situ," tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu. 


Satu kata untuknya, "kejam".


Kebijakan Pajak Sarat Intervensi Asing


Dana Moneter Internasional (IMF) belum lama ini merilis hasil  assesment terhadap perekonomian Indonesia dalam laporan bertajuk Article IV Consultation tahun 2019. Meski secara keseluruhan perekonomian Indonesia dinilai positif, IMF menyoroti kinerja penerimaan negara yang masih rendah, terutama pajak.


Untuk mengatasi itu, IMF merekomendasikan Strategi Penerimaan Jangka Menengah atau Medium-Term Revenue Strategy (MTRS) untuk diterapkan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP). 


Pertama, reformasi administrasi perpajakan. 

Kedua, reformasi perpajakan dengan merampingkan sistem perpajakan. IMF menilai, semakin sederhana sistem pajak, maka semakin efisien dan tinggi pula tingkat kepatuhan.

Ketiga, memperluas basis pajak yang sudah berlaku. IMF menyarankan pemerintah untuk tidak menurunkan batas (threshold) PPN baik secara umum maupun untuk UMKM, sebelum menghapus kebijakan pembebasan PPN dan merampingkan PPh Badan. 

Keempat, kebijakan meningkatkan tarif pajak atau mengenakan tarif pajak baru untuk meningkatkan penerimaan secara substansial. 


Demikianlah jika negara sudah hilang kedaulatan. Semua kebijakan sama sekali tidak memihak rakyat. Tapi justru melanggengkan bercokol nya penjajahan gaya baru neoliberalisme. Dimana selalu saja rakyat yang menjadi korban pemerasan dan pemalakan oleh wakil rakyat nya sendiri.


Pajak Bukan Sumber Pendapatan Negara


Indonesia Negara kaya, dari minyak dan gas bumi saja ditaksir 200.000 T. Belum dari kekayaan hayati seperti hasil laut dan hutan. Sayangnya semua pengelolaan itu dimiliki oleh perusahaan asing, bukan Negara. Negara hanya sebagai regulator bukan pengelola pertama dan utama. 


Dalam Pandangan Islam, Pajak dalam khasanah Fiqh islam, dikenal dengan nama Dharibah.Syaikh ‘Abdul Qodim Zallum mendefinisikan dengan “Harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Maal kaum Muslim untuk membiayainya” (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal 129). 


Memang kalau kita menilik ke dalam catatan sejarah Islam, tidak dikenal  istilah kata APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dalam Islam, akan tetapi dalam Islam terdapat suatu konsep yang mewujud dalam bentuk lembaga yang tak terpisahkan dalam Struktur Khilafah untuk mengatur penerimaan dan pegeluaran negara yang dikenal dengan Baitul mal.


Baitul Mal dalam pengertian ini, telah dipraktekkan dalam sejarah Islam sejak masa Rasulullah, diteruskan oleh para khalifah sesudahnya, yaitu masa Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, dan khalifah-khalifah berikutnya, hingga kehancuran Khilafah di Turki tahun 1924. Gagasan konsep Baitul Mal yang ideal perlu disusun dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan syariah, baik dalam hal sumber-sumber pendapatan maupun dalam hal pengelolaannya.


Berbeda dengan Baitul Mal, APBN dalam Sistem kapitalis sangat mengandalkan pajak dari rakyat dan Hutang, terutama dari luar negeri jika tidak mencukupi.


Pajak merupakan intrumen pendapatan Negara yang sifatnya tidak tetap atau insidental. Saat kas Negara kosong maka Negara berhak mengambil pajak pada warga Negara, itupun bagi warga Negara yang berkemampuan lebih bukan seluruhnya. 


Wajib Pajak dalam Islam

Syara telah menetapkan bahwa Pajak tidak dipungut atas non-muslim.  Sedang Pendapatan Negara yang bersifat tetap salah satunya adalah hasil pengelolaan kekayaan Negara. 


Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.


Bagaimana cara menghitungnya? Pertama, pendapatannya harus dikurangi biaya untuk kebutuhan pokok dan sekunder pribadinya. Kedua, setelah itu dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder istri dan anaknya. Ketiga, jika mempunyai orang tua, saudara, mahram yang menjadi tanggungannya, maka dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Setelah dikurangi semuanya tadi masih ada kelebihan, maka dia menjadi wajib pajak, dan pajak pun wajib diambil darinya. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda, “Ibda’ bi nafsika fatashaddaqa ‘alaiha, fa in fudhula syai’ fa li ahlika.” (Mulailah dari dirimu, maka biayailah. Jika ada kelebihan, maka itu untuk keluargamu)( Abdurrahman, kaskus.co.id).


Khatimah

Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.


Bahkan negara khilafah siap menjamin seluruh kebutuhan publik. Baik masalah kesehatan sampai keamanan.  Negara khilafah benar-benar mengayomi dan memberikan pelayanan terbaik untuk rakyatnya. Sebagai bentuk kewajiban sebagai pelayan ummat. 


Wallahu'alam bi shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak