Oleh : Dini Azra
Apa yang terjadi di Manokwari, Fakfak, dan Timika, Papua belakangan ini. Telah mengakibatkan rusaknya banyak fasilitas umum. Diantaranya ada gedung DPRD dan pasar yang dibakar oleh para demonstran. Kondisi di lapangan nampak begitu mencekam. Dibeberapa kota, mahasiswa Papua masih melakukan aksi demonstrasi. Segenap aparat negara tengah berusaha, meredam kericuhan ini.
Rangkaian aksi ini dipicu adanya dugaan persekusi, disertai tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Atas tindakan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua. Diketahui, sejumlah kelompok ormas dan aparat mendatangi asrama mahasiswa Papua, di Jl. Kalasan, Surabaya Timur (17/8). Kedatangan mereka, menyikapi adanya pembakaran bendera merah putih yang kemudian dibuang ke selokan. Yang diduga dilakukan oleh mahasiswa di depan asrama tersebut.Seperti di video yang tersebar di grup-grup WA sebelumnya.
Salah seorang mahasiswa, Dortince Iyowau. Mengatakan, asrama dipadati massa ormas. Saat itu ada aparat yang merusak pagar dan menyebutkan nama sejenis hewan kepada mereka. Itulah yang menyulut emosi dan melukai harga diri mereka sebagai manusia. Maupun sebagai warga negara. Sebenarnya aparat hendak melakukan pemeriksaan terkait pembakaran bendera. Dan hendak membawa mereka ke kepolisian. Namun, para mahasiswa tidak mau keluar, sehingga dibawa secara paksa. Setelah pemeriksaan, mereka tidak terbukti sebagai pelaku pengrusakan bendera. Merekapun dilepaskan kembali. Tribunnews.com(19/8)
Sikap rasisme dapat melukai harga diri, bukan hanya bagi pribadi. Tapi imbasnya akan menjalar kepada masyarakat yang menjadi bagian dari suku tersebut. Akan menciptakan ketersinggungan yang luas dan membekas. Tentu saja ini bertentangan dengan asas Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Ini juga menambah panjang luka yang dirasakan masyarakat Papua. Yang selama ini memang sudah merasa dianaktirikan. Dalam hal pemerataan ekonomi, pendidikan, dan pembangunan. Sementara kita tahu, tanah Papua memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Namun penduduknya masih tertinggal, dan jauh dari kata sejahtera.
Sikap rasisme yaitu merendahkan, atau menghina orang lain berdasarkan warna kulit, suku, bangsa. Bertentangan dengan fitrah manusia. Dan terlarang dalam ajaran Islam. Sebab Allah sendiri yang telah menciptakan perbedaan. Menjadi ketetapan yang tak bisa ditolak atau dirubah oleh manusia.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman : "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."(QS. Al-Hujurat :13)
Islam tidak pernah menilai seseorang berdasarkan status sosial, kekayaan, rupa lahiriah, warna kulit, suku, dan bangsanya. Melainkan, tingkat ketakwaan hamba terhadap Rabb nya.
Sejarah Islam telah membuktikan. Bagaimana kisah Bilal bin Rabbah. Seorang budak berkulit hitam dari Habasyah (sekarang Ethiopia). Yang gigih mempertahankan iman. Ditengah tekanan dan siksaan tuannya yang kejam. Batu besar yang panas ditindihkan ke atas dadanya. Tak keluar dari mulutnya, selain kata "ahad...ahad" pengakuan bahwa Allahu ahad (satu). Bukti Ketauhidan yang amat kuat.
Dan ketika dia merdeka, menjadi sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam yang mulia. Selalu membela dan menjaganya. Sepanjang hidupnya mengabdi demi agama. Turut berjihad di perang Badar. Mendapat kehormatan sebagai muadzin pertama. Termasuk diantara sahabat yang dijamin masuk surga. Bahkan, suara terompah Bilal sudah mendahuluinya di surga. Karena amalan wudhunya yang luar biasa.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam bersabda : "Bilal ialah pemuka orang-orang Habasyah dalam Islam "(HR. Muslim)
Sebelum negara ini ada, dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika nya. Islam sudah lebih dulu membuktikan. Dengan mempersatukan bangsa-bangsa, yang berbeda suku, bahasa, warna kulit, dan agama. Dibawah naungan sistem pemerintahan Islam. Kekuasaan Islam meliputi dua pertiga dunia. Dan berlangsung tiga belas abad lamanya. Didalamnya terwujud keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Karena pemimpin/khalifah berperan sebagai perisai dan pelindung umat. Mengurusi kebutuhan hidupnya, berlandaskan syariat Islam saja.
Sama sekali tidak ada intoleransi, diskriminasi atau rasisme yang terjadi. Semua diperlakukan adil, bebas memeluk agama yang diyakini. Walaupun tetap didakwahi. Sehingga semua umat beragama dapat hidup berdampingan. Aman dan tentram. Tidak seperti sistem demokrasi yang tengah berlangsung saat ini. Terbukti berbagai gesekan dan perselisihan sering terjadi, karena masalah perbedaan. Mudah tersulut amarah, dan melontarkan kebencian. Apalagi jika dipicu tingkat kesejahteraan yang timpang. Dimana negara tidak mampu memberikan pelayanan yang sama. Yang adil dan menyeluruh terhadap rakyatnya. Akibat sistem kapitalis yang hanya menguntungkan sebagian golongan. Penguasa dan pemilik modal.
Rasisme dan ketidak adilan, itulah yang dirasakan oleh masyarakat Papua selama ini. Maka sangat wajar jika mereka mudah tersulut emosi. Terprovokasi dan dihasut untuk memerdekakan diri. Sebab negara seolah tak hadir untuk mengayomi. Mereka punya kekayaan alam yang tak dapat merasa nikmati. Bahkan nasibnya pun terpinggirkan. Semua ini tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan yang Islami.Sebab syariat Islam akan memenuhi seluruh bumi dengan keadilan dan keberkahan. Sebab Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.