Oleh : Sendy Novita, S.Pd
Menanggapi masalah kekerasan seksual memang tak pernah ada habisnya. Lebih-lebih yang menjadi obyek kekerasan adalah perempuan. Dari waktu ke waktu pembahasan masalah kekerasan seksual tak pernah bisa terselesaikan secara maksimal meskipun masalah kekerasan seksual pada perempuan hampir terjadi di setiap negara.
Inilah yang menjadi alasan bagi para pengusung ide gender untuk terus memperjuangkan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS) menjadi sebuah undang-undang yang dilegalkan. Dengan begitu diharapkan mampu menyelesaikan kekerasan seksual yang menimpa kaum hawa.
Secara sepintas tujuan legislasi RUU PKS adalah sikap keprihatinan atas meningkatnya kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak-anak. Komnas perempuan sebagai salah satu National Human Right Institution secara kontinu menyampaikan laporan terkait dengan peningkatan kasus tersebut. Bahkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Mirisnya kasus kekerasan tersebut bukannya mengecil dan hilang namun justru subur dan berkembang.
Liberalisme sebagai akar masalah
Sejatinya munculnya RUU PKS terkait dengan kekerasan seksual muncul bukanlah tanpa sebab. Muatan Baratisasi yang menjadi kiblat dalam memuja sekulerisasi dan kapitalisasi ternyata turut mendominasi materi RUU ini.
Definisi kekerasan seksual yang digunakan fokus pada klausal secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas memberi kesan bahwa perbuatan seksual yang dilakukan tanpa paksaan dan dikehendaki satu sama lain- sekalipun relasinya tidak setara- dan seseorang yang secara bebas memberikan persetujuannya, tidak akan dikatakan sebagai perbuatan yang layak untuk diberikan sanksi.
Bagi pemuja kebebasan ada doktrin yang begitu mereka banggakan. My body my otority seolah menjadi legalisasi. Jika tubuh seseorang dieksploitasi tapi atas persetujuan yang bersangkutan sehingga mendatangkan keuntungan maka tidak akan terkena delik kekerasan. Jelas ini adalah fakta yang ambigu.
Dengan kebebasan eksploitasi tubuh atas nama manfaat dan keuntungan bisakah RUU PKS menjadi efektif dalam mencegah dan memberikan sanksi atas kejahatan seksual? Hal inilah yang seharusnya menjadi sebuah pertanyaan. Karena sejatinya peraturan yang dibuat oleh akal manusia yang terbatas maka akan terbatas pula efektivitasnya.
Sebagai contoh peraturan yang dibuat manusia dalam rangka melindungi anak harus mengalami beberapa kali revisi. Begitu juga hukum positif yang diterapkan di Perancis, sebuah negara dimana lahirnya para filsuf perumus teori demokrasipun tak mampu menghentikan kejahatan seksual yang terjadi di negaranya.
Selama kapitalisme dan sekularisme yang menjadi sandaran hidup maka kejahatan seksual akan terus menjadi monster yang menakutkan. Penyelesaian kasus kekerasan tak akan berjalan maksimal. Hal ini karena mereka menyangkal bahwa karena kebebasan mengumbar auratlah dan perilaku seks bebas yang menjadikan kekerasan seksual akan terus tumbuh subur. Bahkan kondisi tersebut hampir setiap hari mengisi fantasi manusia yang tak pernah memahami kehidupan setelah kematian.
Selain solusi yang tak pernah tuntas, pemerintahpun selalu setengah hati dalam menyelesaikan permasalahan yang menimpa umatnya. Lagi-lagi dana menjadi salah satu alasan karena penyelidikan dan penyelesaian perkara membutuhkan anggaran yang tidak sedikit jumlahnya karena biaya ditentukan atas setiap kasus pidana yang ada.
Segala pangkal dari kasus kekerasan tersebut adalah lemahnya dalam mengatasi faktor penyebab terjadinya kejahatan yang tidak mampu dilenyapkan. Keamanan, kehormatan dan nyawa perempuan serta anak-anak akan tetap terancam. Sekalipun sanksi ciptaan manusia dijatuhkan, benih kerusakan akan tetap berpotensi menjadi kehancuran.
Syariat Islam solusi tuntas
Sejumlah perempuan yang tergabung dalam organisasi Aliansi Cerahkan Negeri ( ACN) justru menggelar aksi yang menolak pelegalan RUU PKS. Pasalnya aturan dalam RUU PKS dianggap tidak memiliki tolok ukur yang jelas. RUU tersebut juga dipastikan tidak dapat melindungi perempuan dari tindak kekerasan seksual termasuk perkosaan.
Pengamat politik dan pemerhati perempuan, Pratama Julia Sunjandari berpendapat adanya tiga alasan yang menyebabkan feminis bersikeras untuk melegalkan RUU PKS yaitu menyuburkan perilaku bebas. Muatan kontrol seksual menegaskan daulat atas tubuh. Kedua merusak keluarga terutama relasi suami dan istri. Tak ada lagi fungsi qowwam dimana suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Ketiga adalah tujuan dalam menafikkan hukum Allah.“ Menjadi keharusan bagi kaum muslimin untuk menolak dan mencegah kemungkaran dengan aksi nyata.” Ungkapnya pada MNews, Rabu (30/1/2019).
Inilah yang terjadi jika pemerintah dan masyarakat tetap berkubang pada konsepsi demokrasi sekulerisasi yang mendasarkan penyelesaian setiap permasalahan manusia dari kecerdasan akal manusia semata. Secara pasti bahwa solusi yang didasari pada hukum ciptaan manusia justru berujung pada masalah baru. Sehingga penanganan kasus kekerasan seksual hanya menjadi wacana saja.
Seharusnya penanganan masalah kejahatan termasuk kekerasan seksual dilakukan secara preventif dan kuratif. Karena tanpa usaha preventif atau pencegahan maka apapun langkah kuratif tidak akan pernah efektif. Sesungguhnya penanggulangan kejahatan seksual bahkan penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sekuler wajib kembali pada syariah Islam secara kaffah oleh negara.
Dengan pelaksanaan syariah Islam yang mengacu pada tiga pilar utama yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial dan penegakkan hukum oleh negara maka segala penyakit dan kejahatan sosial insya Allah akan teratasi. Kejahatan tidak akan terjadi bila masyarakat memahami keyakinan bahwa sekecil apapun dosa yang mereka lakukan akan mendapat balasan setimpal di hari akhir. Adanya keterikatan dengan hukum syariat Islam sehingga mampu mencegah perbuatan dzolim apapun dan kepada siapapun. Selanjutnya mekanisme sistem sanksi dalam negara yang tegas akan menjadi penghalang kemaksiatan.