Oleh : Siti Hardiyanti Susanto
Informasi peringatan dini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut bahwa tahun ini Indonesia berpotensi dilanda kemarau ekstrem sampai dengan bulan September, dan puncaknya terjadi pada bulan Agustus. Wilayah yang terancam terdampak kekeringan terutama di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Menurut petugas pengamat di lapangan, secara umum penyebab kekeringan selain karena curah hujan yang sedikit juga penggunaan varietas yang didominasi varietas tidak toleran kekeringan seperti Ciherang, IR 64 dan Mekongga. (Merdeka.com, 08/07/2019).
Berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), wilayah yang memiliki potensi kekeringan adalah yang telah mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari dan diperkirakan curah hujan rendah alias kurang dari 20 mm dalam 10 hari mendatang dengan peluang lebih dari 70%.
Beberapa faktor penyebab terjadinya daerah terdampak kekeringan di sejumlah daerah di antaranya karena intensitas air hujan yang sedikit, belum tersedianya sarana untuk mendapatkan air bersih, banyaknya pembangunan perumahan dan semakin menjamurnya industri sektor pariwisata dan perhotelan. Bali dan Jogjakarta adalah beberapa contoh di antaranya.
Cemagi terletak beberapa kilometer di utara Tanah Lot. Lahan ini belakangan menjadi sorotan media, karena munculnya rencana pembangunan resor terbaru hasil kongsi Hary Tanoesoedibjo dan rekan bisnisnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Megaproyek yang ditolak warga setempat karena mencaplok lahan adat ini merupakan contoh anyar, bagaimana aliran modal dari luar pulau senantiasa mencoba mengkapitalisasi industri wisata Bali walau penduduk tak lagi menginginkannya. (Vice.com, 26/02/2018)
Manager Bali Water Protection Program Idep Foundation, Komang Arya Ganaris, mengatakan sekitar 10 tahun yang lalu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), cadangan air tanah bersih di Bali yang tersisa hanya 47 persen. Angka persedian air tersebut menunjukkan Bali saat ini sudah masuk dalam kategori krisis air tanah bersih.
"Itu sudah sejak sekitar 10 tahun yang lalu hingga perkembangan sekarang yang sangat pesat. Sementara cadangan air kita tidak bertambah. Kalau tidak ada upaya yang serius dari semua pihak, khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali atau pemerintah kabupaten dengan kondisi sumber daya air yang sekarang ini, prediksi kami paling lama 10 tahun kedepan kita akan menghadapi masalah besar dengan air bersih," (Bali.tribunnwes.com, 12/06/2018)
Sementara itu di industri perhotelan, peningkatan jumlah hotel di Kota Yogyakarta yang tinggi tentu menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Mulai dari pemerintah kota, peneliti, Lembaga Swadaya Masyarakat, hingga warga lokal. Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Badan Lingkungan Hidup beragumen membenarkan operasional hotel karena dinilai sudah tepat mengambil sumber air dalam yang tidak akan menganggu sumber air dangkal masyarakat.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) berkata mereka memiliki kewenangan untuk memonitor, menegur dan memeringatkan hotel-hotel terkait. Namun rata-rata hotel yang bersertifikat sudah memiliki manajemen air yang baik.
Selain itu, Dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, mengatakan bahwa manajemen air yang tidak baik di hotel akan berpotensi mengurangi kualitas air dari air minum jadi air bersih. Pengelolaan limbah hotel yaitu limbah air, sampah, dan tinja, juga perlu dicek apakah sesuai dengan kebutuhannya. Dalam konteks bencana, tidak membangun hotel adalah pencegahan yang paling sempurna.
Tim melakukan monitoring, bila ada hotel yang melanggar akan disegel. Perhimpunan mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam Jogja Student meneliti bahwa kebutuhan air di Yogyakarta tahun 2015 untuk rumah warga ada 120 liter per orang sedangkan untuk hotel mencapai 2-3 kali lipat yaitu 250-350 liter per orang. (http://realestatestrategy.co.id, 01/02/2016)
Industri pariwisata dan perhotelan menjadi faktor utama penyebab kekeringan di sejumlah daerah. Ini tidak lepas dari hegemoni Kapitalis yang bercokol di dalam negeri. Pembangunan sektor industri pariwisata dan perhotelan yang jumlahnya kian hari kian menjamur dan tanpa adanya batasan jumlah pembangunan yang jelas.
Sehingga jumlahnya semakin tak terbendung. Pemilik modal adalah yang kerap berkuasa mengatur. Industri sektor pariwisata dan perhotelan mengkonsumsi air bersih yang tak sedikit dan ini berbanding terbalik dengan jumlah debit air bersih yang tersedia di dalam tanah dan tidak didukung dengan manajemen pengelolaan air dalam tanah.
Maka dari itu, di sini peran negara sangat vital dalam mengatur tatanan daerah, termasuk pembangunan industri sektor pariwisata dan perhotelan. Negara memiliki peranan penting untuk mengatur segala hal. Setiap pembangunan industri haruslah memperhatikan segala aspeknya, termasuk aspek konsumsi air bersih dan pengelolaannya.
Jangan sampai hanya karena mendahulukan kepentingan pemilik modal dalam membangun industri pariwisata atau hotel, aspek yang berkaitan terhadapnya malah diabaikan. Ini yang berbahaya apalagi jika kaitannya dengan hajat hidup umat.