Sejumlah perempuan yang tergabung dalam organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi dalam menolak Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Menurut Humas ACN alwyah, banyak pasal dalam RUU tersebut yang tidak memiliki penjelasan secara rinci dan menjadi bias makna. Misalnya terkait orientasi seksual yang multitafsir.
RUU itu tersebut juga dinilai rentan bermasalah sekaligus tidak mampu melindungi perempuan dari tindakan kekerasan seksual atau perkosaan. Misalnya, yakni ketika laki-laki dan perempuan berhubungan intim di luar pernikahan dengan dalih suka sama suka, lantas tidak kena jerat pidana. Mereka baru akan terjerat pidana bila ada yang mengadu. (Medcom 14/7)
Sejalan dengan itu Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati) pun menilai bahwa secara sosiologis, muatan RUU tersebut sarat dengan feminisme dan liberalisme yang memungkinkan munculnya celah legalisasi tindakan LGBT serta pergaulan bebas.
Tidak bisa dipungkiri kekerasan seksual terhadap perempuan memang masih menjadi momok tersendiri. Tak aneh jika kemudian lembaga terkait berupaya menerbitkan payung hukum yang menurut mereka dinilai mampu mengatasi masalah ini. Sayang, bukannya melegakan, rancangan aturan tersebut justru memunculkan polemik baru di tengah tengah masyarakat.
Mencuatnya fenomena gunung es yang tak terkendali ini menjadi bukti bahwa isu kesetaraan gender dan emansipasi yang mati matian diperjuangkan nyatanya tak pernah berhasil mengatasi problem kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Pergerakan kaum feminis tak lebih dari sekedar perjuangan semu yang dilandaskan pada asas sekuler liberal. Sebuah asas yang pelan tapi pasti mulai mendegradasi peran utama wanita sebagai ibu dan rabbatul bait.
Atas nama gender, kaum feminis bergerak menyeru perempuan menuntut adanya pengakuan bagi dirinya agar dilibatkan dalam dunia kerja yang berujung pada pengeksploitasian diri demi memenuhi gaya hidup. Pargerakan ini sengaja diaruskan oleh Barat untuk menyasar negeri negeri muslim sebagai bentuk serangan pemikiran untuk mendiskreditkan Islam. Bermodalkan opini busuk yang penuh kamuflase pembelaan hak hak perempuan, pegiat feminis pada akhirnya berhasil menjerumuskan perempuan ke jurang yang justru berpotensi besar mengundang terjadinya tindak kekerasan seksual. Terlebih kondisi masyarakat saat ini sama sekali tidak ideal dan tidak mampu menghadirkan rasa aman.
Kegagalan solusi pemberantasan kekerasan perempuan yang hendak dituangkan dalam RUU tersebut menandakan bahwa kapasitasnya yang hanya sebagai manusia biasa -dengan segala keterbatasan yang dimiliki- menjadikan ia tidak layak menerbitkan aturannya sendiri. Kondisi inilah yang menuntut manusia untuk segera kembali tunduk pada aturan dari Al Khaliq yang diwujudkan dalam Khilafah yang menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah.
Untuk menyelesaikan kejahatan semacam ini tentu tidak bisa dilakukan dengan hanya melihat fakta tunggal yaitu kejahatannya itu sendiri. Tetapi harus dilihat secara komprehensif dan utuh bahwa kejahatan seksual bisa terjadi karena faktor internal, yaitu lemahnya pondasi agama yang berakibat pada lepasnya keterikatan kepada hukum Islam serta faktor eksternal yang distimulasi dari tontonan, pergaulan, lingkungan masyarakat dan sistem yang rusak.
Dari sini, maka penanganan kejahatan seksual bisa dimulai dengan melakukan penjagaan secara individu. Diantaranya dengan mewajibkan perempuan menutup aurat ketika keluar rumah termasuk juga larangan bertabarruj yang dengannya bisa menarik syahwat laki laki asing. Lebih dari itu, penjagaan terhadap perempuan juga dilakukan dengan larangan bagi mereka untuk bepergian jauh lebih dari sehari semalam tanpa ditemani oleh mahram. Islam juga melarang perempuan bekerja jika pekerjaan tersebut justru mengeksploitasi sisi sensualitas mereka seperti model atau peragawati.
Semua hukum hukum tersebut sejatinya bukanlah untuk mengekang kebebasan perempuan. Namun lebih kepada penjagaan agar perempuan bisa beraktivitas tanpa adanya ancaman.
Kedua, Khilafah akan menjamin pelaksanaan tugas utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah dengan menjauhkan mereka dari lingkup tanggung jawab berat. Untuk menjamin kelangsungan fungsi tersebut, maka Islam mewajibkan kepada pihak pihak yang bertanggungjawab terhadap perempuan untuk memenuhi hak mereka dengan baik. Termasuk negara, dengan menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memberi nafkah pada keluarga.
Adapun terkait faktor eksternal terjadinya kejahatan seksual, maka langkah yang diambil oleh khilafah adalah menjamin keamanan bagi perempuan baik di dalam keluarga maupun kehidupan publik dari segala gangguan yang akan mencelakakan dirinya. Upaya ini ditempuh dengan menerapkan hukum persanksian (uqubat) Islam atas setiap pelaku pelanggaran. Tidak seperti hukum yang berlaku saat ini, hukum persanksian Islam dipastikan dapat menimbulkan efek jera yang dengan itu dapat meminimalisir kejahatan serupa.
Disamping itu, khilafah juga memiliki wewenang untuk menguasai media massa, sehingga konten yang disampaikan tidak menyimpang dari syariat dan menjadi inspirasi tindak kejahatan.
Hanya dengan cara inilah kejahatan seksual bisa di atasi dari hulu ke hilir, yakni dengan melibatkan Islam dan eksistensi negara. Jadi sudah saatnya kita untuk membentengi diri dari propaganda sesat yang menyesatkan. Yang solusinya hanya bersifat ilusi dan pragmatis. Yang bukannya menyelamatkan, tapi justru membawa manusia pada kehancuran.
Maya. A / Gresik