Perempuan Butuh Syariat Islam, bukan RUU P-KS



Oleh : Ernawati, A.Md

(Anggota Forum Muslimah Kota Banjarbaru)



Penolakan terhadap RUU PKS (Perlindungan Kekerasan Seksual) kembali mengemuka. Sejumlah perempuan yang tergabung dalam organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi untuk menolak RUU tersebut. Aturan dalam RUU dianggap tidak memiliki tolak ukur yang jelas. Demikian pula Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati) menyatakan sikap menolak dengan pertimbangan melanggar norma agama serta sarat muatan feminisme dan liberalisme. 


Sementara, pada Rapat Paripurna ke 23 DPR diputuskan untuk memeperpanjang pembahasan RUU PKS dan menunda mengesahkannya dengan alasan menunggu pengesahan RUU KUHP. Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Masruchah, menyatakan kekhawatirannya terkait penundaan tersebut, karena merasa sudah dijanjikan sangat lama. Menurutnya, Ketua Panja Komisi III dan VIII DPR harus sungguh sungguh dan memprioritaskan RUU PKS karena angka korban kekerasan seksual semakin meningkat dan membutuhkan perlindungan.



Perlukah RUU PKS?


Penting bagi kita untuk meluruskan cara pandang bahwa kemuliaan perempuan tidak boleh distandarisasi oleh akal manusia. Keterbatasan jangkauan akal menyebabkan manusia menetapkan standar pada sesuatu yang bersifat materi yang bisa diindera. Karena itulah, manusia --tanpa bimbingan wahyu-- akan menetapkan kehormatan dan kemuliaan perempuan pada pendapatan ekonominya, jabatan publiknya, kecantikan fisiknya dan standar materi lainnya. 


Kesalahan cara pandang ini menyebabkan kesalahan fatal dalam memperlakukan perempuan. Oleh karena itu, para pejuang perempuan telah salah bertindak dengan mencoba membuat undang-undang dan mereformasi kebijakan yang ada dan bukannya mencabut sistem demokrasi liberal ini dari negeri kita. Usaha mereka justru mempertahankan status quo dan memperkuat rezim korup dan busuk di seluruh dunia muslim, yang merupakan sumber utama penderitaan bagi perempuan. Hal ini karena mereka mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya dan bekerja dalam sistem yang cacat yang hanya membuang-buang waktu dan tenaga.



Nyatanya, peningkatan jumlah perempuan legislator tidak pernah berkorelasi langsung dengan perlindungan atas diri perempuan dan keluarganya. Mereka hanya menjadi stempel atas proses politik yang menguntungkan suara kepentingan yang menguasai negeri ini. 


Sebut saja kasus kekerasan atas anak, khususnya kekerasan seksual, yang dianggap Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, trennya meningkat di awal tahun 2018. Padahal DPR telah melegislasi sederet aturan perlindungan anak yang dianggap sebagai prestasi feminisasi politik. 


Ada UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No.23/2004 tentang PKDRT jika kekerasan seksual terjadi dalam lingkup keluarga. Tahun 2014, UU No.23/2002 diubah menjadi UU No.35/2014.


Undang-undang ini memberikan pemberatan sanksi pidana dan denda yang lebih tinggi bagi pelaku kejahatan seksual. Undang-undang ini direvisi kembali menjadi UU No.17/2016.


Sekalipun didukung Pemerintah melalui Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN AKSA) dan meluncurkan PP No.43/2017 tentang restitusi, kasus kekerasan seksual itu tidak mungkin bisa selesai dengan deretan regulasi. Ini mematahkan klaim pegiat gender yang menganggap arus feminisasi akan mampu melindungi perempuan dan keluarganya. Pasalnya, penyebab utama problem perempuan, anak dan keluarga --termasuk kerusakan perilaku kesusilaan-- adalah buah liberalisme. Sementara liberalisme tidak lain merupakan nilai-nilai esensial yang terkandung dalam kapitalisme.



Perempuan Butuh Syariat Islam


Islam mempunyai cara pandang dan  standar yang benar dan jelas. Perempuan adalah hamba Allah SWT sebagai manusia, sama dengan laki-laki yang mempunyai kebutuhan fisik dan naluri. Dari sekumpulan ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi saw Islam memposisikan perempuan sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Islam pun menjelaskan bentuk dan cara penjagaan kaum perempuan. Islam memberi perhatian besar terhadap status perempuan sejak mereka kecil. Rasulullah saw misalnya bersabda :

 "Janganlah kalian membenci anak-anak perempuan karena mereka adalah penghibur (hati) yang amat berharga" (HR Ahmad dan ath-Thabarani).


Islam memerintahkan kita berlaku adil terhadap anak perempuan, Ibnu Abbas ra menuturkan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda

"Berlakulah sama terhadap anak-anak kalian dalam pemberian. Jika aku ingin mengutamakan seseorang, aku akan mengutamakan perempuan" (HR ath-Thabarani dan al-Baihaqi).


Saat Perempuan dewasa, ia diberi posisi terhormat dengan menjadi ibu, istri dan saudara perempuan. Ia mendapat seluruh haknya sebagai manusia. Ia dijamin kehormatan dan kemuliaannya dengan seperangkat hukum syariat. 


Rasulullah saw bersabda 

"Sungguh Allah telah berwasiat kepada kalian untuk berbakti kepada ibu kalian, kepada ibu kalian, kepada ibu kalian, lalu kepada ayah kalian, baru kemudian kepada orang yang lebih dekat dan seterusnya" (HR Bukhari, Ahmad dan Ibnu Majah).


Ali ra menuturkan bahwa Rasulullah saw juga pernah bersabda

"Perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Tidak memuliakan kaum wanita kecuali orang mulia dan tidak merendahkan mereka kecuali orang hina" (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Asakir).



Penetapan peran perempuan sebagai istri dan ibu merupakan bentuk penjagaan terhadap mereka. Ruang lingkup kehidupan wanita berada di tempat yang suci, jauh dari fitnah dan kekejaman. Di dalam rumah, ia mendapat perlakuan adil dan terhormat. Ia diserahi tugas untuk mengurus rumah tangga dan anak tanpa dibebani kewajiban nafkah dipundaknya. Bila ia memerlukan seorang pembantu, ia berhak mendapatkannya. Ia dimintai pendapatnya dalam urusan keluarga dan layak didengar. Ia berhak mendapat perlakuan baik dari suami dan para walinya. 


Rasulullah saw bersabda

"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan akulah yang paling baik diantara kalian kepada keluargaku" (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan ad-Darimi).


Kaum wanita hidup aman dan mulia di rumah suami dan wali mereka dengan adanya hukum perwalian. Tidak boleh laki-laki asing masuk ke dalam rumah mereka. Siapapun yang ingin bertandang wajib untuk meminta izin pada walinya.


Dalam hal waris, perempuan mendapatkan keadilan. Sebagaimana kita tahu ibu, istri, saudara dan anak perempuan mempunyai bagian tertentu yang sudah ditetapkan secara rinci. 


Dalam hal mahar, harta tersebut menjadi miliknya yang tidak boleh diganggu oleh siapapun, termasuk walinya.


Dalam hal pendidikan, perempuan pun berhak mendapatkannya. Anak perempuan berhak mendapat pendidikan dari orangtuanya di rumah sebagai bekal mereka untuk menjalani perannya pada saat dewasa. Orangtua harus membekali mereka dengan keterampilan memasak, menjahit, menata rumah, ilmu-ilmu agama dasar dan pengetahuan umum dasar. Tujuannya agar mereka mempunyai kemampuan yang bisa memberi mereka nilai berarti bagi kehidupan. Wanita pun berhak mendapat pendidikan formal sebagai bekal pengabdian perannya bagi kemajuan masyarakat.


Saat perempuan menunaikan kewajiban mereka atau menunaikan kepentingan mereka di luar rumah, mereka harus menutup seluruh tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangannya. Saat mereka bepergian dengan perjalanan 24 jam atau lebih, mereka harus disertai oleh mahram laki-lakinya. Mereka pun dilarang untuk melakukan pekerjaan yang akan merendahkan martabat mereka semisal menjadi sales promotion girls, pekerja seks komersial dan sebagainya, pemandu lagu di cafe, hotel dan sebagainya. Semua aturan ini dalam rangka menjaga dan melindungi kehormatan perempuan sehingga mereka hidup dalam kemuliaan.



Untuk menjaga hubungan kerjasama laki-laki dan perempuan di publik, Islam menetapkan agar masing-masing mereka menjaga pandangannya satu sama lain. Tidak boleh khalwat (berduaan) dengan lawan jenis saat pelaksanaan aktivitas kerjasama tersebut. Masing-masing harus meningkatkan ketakwaan saat berinteraksi bersama serta fokus pada apa yang dimaksudkan dari aktivitas bersama tetsebut.


Seperti itulah Islam menempatkan perempuan dan memberi mereka perhatian dan penjagaan dengan cara memenuhi hak-hak mereka sesuai dengan hukum syariah. Penerapan seluruh hukum tersebut memerlukan kontrol dari pihak di luar keluarga.


Pasalnya, dalam kehidupan publik, selain melalui kesadaran individu dengan ketakwaan, penjagaan dilakukan juga oleh dukungan lingkungan yang meniscayakan adanya penjagaan kehormatan terhadàp perempuan. Karena itu, dalam Islam tanggung jawab penjagaan kehormatan dan kemuliaan perempuan juga dibebankan kepada Negara. Negara wajib menghilangkan semua tempat pekerjaan yang melanggar kehormatan perempuan. Negara harus menutup akses terhadap konten porno di media publik yang merangsang syahwat. Negara harus memisahkan tempat laki-laki dan perempuan di lingkungan pendidikan. 


Negara harus memberlakukan sanksi hukum bagi pelaku pelecehan, mengontrol pelaksanaan penutupan aurat perempuan di area publik dan sebagainya.

Dalam hal ini negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa para perempuan terpenuhi hak-haknya di dalam rumah oleh para walinya.


Karena itu, Islam memperkenankan adanya pengaduan istri kepada penguasa akan lalainya suami atau wali memberi nafkah, atau berlaku kasar, dan sebagainya melalui pengadilan dan tidak boleh diumbar untuk publik. Negara yang menerapkan sistem Islam lah yang dapat mewujudkan hal di atas, yaitu sistem Khilafah.


Dalam sistem Khilafah, perempuan mendapat jaminan pemenuhan hak-hak dasar hidup mereka, juga mendapat perlindungan terhadap posisi dan perannya yang strategis dalam kehidupan keluarga dan umat. 


Perempuan adalah warga negara yang bermartabat dan terhormat. Setiap interaksi mereka dengan laki-laki dalam kehidupan publik untuk menunaikan tugasnya sarat dengan perlindungan. Setiap pandangan, perkataan dan tindakan yang mengandung unsur pelecehan atau eksploitasi perempuan akan segera ditangani.


Sulit rasanya membayangkan adanya jaminan kemuliaan terhadap perempuan pada sistem selain Islam. Ideologi sekuler tidak akan pernah memberi kemuliaan hakiki pada perempuan. Ia memberi harapan palsu dengan kebahagiaan materi dan fisik sesaat, namun menggadaikan kebahagiaan sejati perempuan. Padahal fitrah penciptaan perempuan adalah menjadi seorang yang berharga, terhormat dan mulia. Ia akan merasa bangga menjadi ibu generasi umat. Anak-anaknya akan menghargai dan berterima kasih kepada mereka karena telah mengasuh mereka. Umat pun akan berterima kasih atas pengabdian mereka dalam membina dan melestarikan generasi umat Islam yang membanggakan dan selamat di dunia serta akhirat.


Peran perempuan Muslimah ini akan menjadi panutan yang layak dan menginspirasi para perempuan lain di seluruh dunia. Sungguh, para Muslimah berhak membanggakan diri di depan perempuan di seluruh dunia karena penghormatan tinggi yang Islam berikan kepada mereka. Tentu kita punya kewajiban untuk mengejawantahkan kembali kemuliaan perempuan dalam sistem Islam.


Wallahu 'alam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak