Oleh : Endah Husna
Mengamati lingkungan sekitar di jaman milenial sekarang amatlah miris, apalagi kalau berbicara tentang tingkah polah anak-anak yang katanya bak Raja dalam bertitah apapun harus dikabulkan. Salah satunya ketagihan gadget, sebenarnya tidak salah si gadget, tapi karena yang menggunakan adalah anak-anak yang belum lengkap akalnya maka kemudaratanlah yang banyak kita jumpai. Gadget diciptakan sesungguhnya untuk membantu manusia memudahkan segala urusannya dalam kehidupan ini, tapi nyatanya malah banyak menimbulkan keburukan, karena kesalahan penggunaan oleh manusia, baik dia anak-anak atau bahkan orang dewasa sendiri.
Mulai kasus anak yang matanya juling karena terlalu sering menonton youtube dengan tiduran. Mulai dari matanya sakit karena kering terkena radiasi cahaya layar smartphone. Hingga pembunuhan oleh pasangan haramnya yang ketahuan mendua.
Terkhusus pada anak, dampak buruk dari penggunaan gawai yang berlebihan ini sangatlah fatal. Dengan dalih agar anak bisa anteng, orangtua akhirnya mengambil jalan untuk memberikan smartphone dengan game onlinenya yang menarik dan membuat ketagihan. Sebenarnya bukan salah anak, karena pertama yang mengenalkan adalah orangtua.
Menurut beberapa penelitian, usia anak bisa diberikan gawai ini adalah 4 tahun. Tapi fakta di masyarakat, bayi belum genap setahun sudah disajikan smarthphone agar diam. Si bayi sendiri diam karena tertarik dengan cahanya yang cepat peralihannya. Tapi ternyata bahaya cahaya dan radiasinya menanti.
Tentu permasalahan ini tidaklah berdiri sendiri, karena banyak faktor yang menjadikan orang tua mengambil solusi ini. Salah satunya adalah kesibukan orang tua. Baik orang tuanya karena bekerja atau tidak. Sebagai pengganti keberadaan orang tua, gadget dianggap teman yang setia menani mereka.
Ibu, terlepas engkau bekerja karena tuntunan ekonomi atau ibu yang tidak bekerja, peran utamanya sebagai ibu dan mengurus keluarga sangat dibutuhkan. Karena tuntutan ekonomi yang semakin tidak bisa diajak berunding, sebagian para ibu terpaksa keluar meninggalkan anak-anaknya bersama gadget dirumah.
Selain isu kesetaraan gender, bahwa wanita bisa sama dengan laki-laki menjadi magnet yang kuat untuk para oknum ibu memilih berkiprah di publik dengan memendam beribu permasalahan dalam internal keluarganya. Secara tersistem oleh negeri ini perempuan berupaya digiring untuk menjadi pelaku pemberdayaan ekonomi lewat sederet kebijakannya. Lewat tugas baru ini yang sebenarnya hukumnya boleh dikerjakan, menjadi wajib dalam pandangan para okmum ibu yang dia penggiat dalam pemberdayaan ekonomi perempuan, yang dia berdaya karena status, bukan karena tuntutan. Yang tuntutan pun nyatanya dia juga dipaksa karena sistem negeri ini memandulkan peran laki-laki sebagai pencari nafkah.
Kalau sudah begini, alih-alih berdaya dalam ekonomi keluarga, tapi anak terdampar bak makhluk planet asing masuk bumi tercinta. Mereka menjadi asing dengan orang tua, mereka tak paham bahasa orang tua, bahkan mereka tak kenal wajah orang tua karena sedikitnya perjumpaan diantara mereka.
Pemahaman bahwa anak-anak adalah amanah dari Allah SWT yang bisa menjadi ladang pahala atau bahkan ladang dosa bagi orang tua. Mendidik anak adalah tugas utama seorang ibu, dengan pendampingan Ayah sebagai kepala keluarga yang menjadi pengayom bagi seluruh anggota keluarga. Akan mengembalikan semua peran yang sudah Allah SWT titahkan untuk seluruh manusia.
Aturan Islamlah yang sesuai dengan fitrah manusia. Aturan yang berdiri dalam tiga pilarnya, yakni aturan individu, masyarakat dan negara. Sudah waktunya kita kembali kepada aturan Ilahi Rabbi. Jangan biarkan perampas periode emas anak terus beroperasi tanpa kawalan negeri ini yang sejatinya bisa terkendali dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri.
Allahu a'lam bishowab.