Pengarusutamaan Liberalisasi Melalui Seni




Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Member Komunitas Menulis Revowriter) 


Konsolidasi Ekonomi ala Kapitalisme

Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) yang digelar kemarin, 27 Juli 2019 menyedot ribuan penonton. Kedatangan mereka pun menjadi berkah tersendiri bagi para pelaku usaha mulai pedagang outlet, souvenir , penginapan dan hotel, hingga cilok. Mereka mengaku mendapatkan keuntungan berlipat-lipat dari biasanya. Bupati Abdullah Azwar Anas bahkan mengklaim berbagai event yang dikemas dalam rangkaian Banyuwangi Festival (B-Fest) menjadi pengungkit perekonomian Banyuwangi.

Tingkat kunjungan wisatawan nusantara naik dari 491 ribu orang pada 2010 menjadi 5,3 juta orang di tahun 2018. Pun demikian dengan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang melonjak dari tahun 2010 yang 5 ribu orang menjadi 127 ribu orang pada tahun 2018. Hingga pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi ikut terdongkrak. Tepatnya naik dari Rp 20 juta per orang di tahun 2010 menjadi Rp 48,5 juta di tahun 2018. (Detiknews.com, 28/7/2019).

Anas mengaku senang banyak warga yang mendapat keuntungan ekonomi selama BEC diselenggarakan.  Kedepannya, Multiplier effect inilah yang kami harapkan dari atraksi yang kami gelar sepanjang tahun. PKL, pengusaha oleh-oleh, tur travel, pengelola hunian semua terimbas dengan datangnya wisatawan ke Banyuwangi. Inilah yang kami maksud dengan konsolidasi ekonomi dari digelarnya agenda wisata Banyuwangi Festival.


Pengarusutamaan Liberalisme

Ironi, masyarakat Indonesia adalah mayoritas beragama Islam. Tentu seharusnya ajaran Islam mendominasi setiap perilaku masyarakatnya. Namun nyatanya, hari ini liberalisme sedang diarus utamakan, budaya serba permisif yang berasal dari musuh Islam sedang digencarkan. Dan dianggap sebagai solusi jitu mengentaskan kemiskinan. Apakah ini bisa disebut sejahtera yang hakiki?

Masuknya pemahaman diluar Islam tentu standarnya bukan halal dan haram. Namun hawa nafsu manusia itu sendiri. Hari ini mungkin banyak pihak tertawa karena pundi keuangannya berlimpah, namun berapa lama? dan seberapa mudahnya masyarakat mengakses faktor-faktor ekonomi itu? 

Bagi ekonomi kapitalis, tentu prinsipnya siapa kuat ia akan menang. Tak selamanya pedagang cilok atau kaki lima lainnya mendapatkan pendapatan yang sama dalam semua gelaran event. Padahal kebutuhan hidup yang tinggi terus menuntut mereka untuk tetap menyalakan tungku dapur demi anak istri. Setinggi-tingginya pendapatan perkapita warga Banyuwangi masih tak bisa dikatakan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan juga berkurang. Karena perhitungan pendapatan perkapita dalam kapitalis berbeda jauh dengan Islam.

Pendapatan perkapita adalah Angka yang didapat dari  selisih antara jumlah pendapatan masyarakat secara total pada satu waktu dan wilayah kemudian dibagi dengan total jumlah penduduk,  jelas tak bisa menyentuh pendapat real individu perindivu karena bisa jadi angka didominasi oleh beberapa pengusaha yang berpendapatan diatas rata-rata saja. Sedangkan dalam Islam, pendapatan itu dihitung perindividu secara real. Negara akan menghitung berapa jumlah penduduk yang tergolong miskin, kaya atau berlebih. 


Sejahtera Hakiki

Data itu digunakan untuk memberikan hak individu secara benar. Di sisi lain , negaralah yang menanggung seluruh biaya kesehatan, pendidikan, keamanan dan seluruh kebutuhan dasar dan sekunder rakyatnya sesuai dengan taraf hidup masyarakatnya.

Kata sejahtera  juga merujuk pada tatanan masyarakat dan sosial yang minim terjadi kerusakan. Hal inilah yang sulit diwujudkan, karena sekali lagi liberalisme berasaskan sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Pastilah ada kegoncangan akidah dan kerusakan ketika pergaulan tak kenal batas, miras diperjual belikan sebagai syarat bolehnya wisatawan asing datang, eksploitasi tubuh atas nama keindahan dalam karnaval, tak ada lagi batasan menutup aurat.

Peningkatan ekonomi tanpa filter agama jelas menjebak pelakunya pada kerusakan yang dalam, menghamba dunia dan meninggalkan syariat di belakang. 

Lantas, salahkah jika kemudian Allah mendatangkan musibah, baik musibah alam maupun sosial sekaligus kesempitan hidup? sebagaimana firman Allah :
"Dan hendaklah kamu berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayaimu atas sebagian yang Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka karena dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik .Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik dari Allah (dalam menetapkan hukum)  bagi orang-orang yang yakin ”.  (QS Al Maidah 49-50).

Jelas, jawaban dari pengentasan kemiskinan bukan dengan menimbulkan masalah yang lain terlebih murka Allah. Namun dengan penerapan Islam kaffah dalam bingkai syariah dan khilafah. 

Wallahu a'lam biashowab.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak