Oleh : Eny Kemilia S.T
(Aktivis, Penggerak Pengajian Qonitat, Magetan)
Diberitakan di Radar Magetan, 26 Juli 2019 bahwa Jalan Usaha Tani (JUT) yang menghubungkan Desa Jonggrang, Kecamatan Barat, dengan Desa Patihan dan Desa Maron, Karangrejo, rusak parah dan hampir seluruh aspalnya mengelupas. Selama ini, jalan itu mempunyai fungsi ganda. Disamping digunakan untuk aktivitas pertanian, juga dijadikan jalur alternatif warga dari arah Desa Jonggrang menuju Desa Maron dan menuju Jalan Raya Ngawi-Maospati.
Kerusakan JUT sepanjang 1,5 kilometer itu telah banyak dikeluhkan masyarakat. Karena banyak lubang jalan yang menganga lebar. Bahkan, saat hujan deras, lubang itu digenangi air hingga membahayakan kendaraan yang lewat. Menurut Kepala Desa Patihan Daim Wartoyo, JUT butuh perbaikan. Hanya saja jatah dana desa terbatas, sehingga pembangunan desa disesuaikan dengan skala prioritas. Di sisi lain, para petani minta saluran irigasi di samping jalan itu diperbaiki terlebih dahulu supaya pengairan sawah bisa lancar.
Kondisi infrastruktur umum yang rusak dan sulit diperbaiki karena keterbatasan dana daerah, saat ini banyak kita jumpai di berbagai wilayah tanah air. Bahkan banyak yang lebih mengenaskan dari gambaran di atas. Keterbatasan dana desa, selalu menjadi kendala ketika desa akan membangun atau memperbaiki sarana dan prasarana umum untuk kepentingan masyarakat banyak. Padahal sarana tersebut sangat vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat.
Penerapan sistem desentralisasi yang merupakan bagian dari sistem ekonomi kapitalis berbentuk Otonomi Daerah (OTODA) yang diterapkan di Indonesia awalnya dimaksudkan untuk memberikan keluasan bagi setiap daerah untuk mengembangkan dan mengelola sendiri potensial daerahnya. Sistem ini tidak hanya mengharuskan daerah mengelola sendiri potensi daerahnya tetapi juga harus mencari tambahan sumber pendapatan daerah untuk mencukupi kebutuhan pembangunan daerahnya.
Pemberlakuan OTODA membuat daerah yang potensi kekayaan alamnya kurang semakin ketinggalan. Secara umum, pemberlakuan OTODA mengurangi peran negara dalam mengatur dan memenuhi kebutuhan rakyat serta mengelola perekonomian daerah.
Masalah yang dihadapi oleh dunia Islam saat ini, termasuk Indonesia, dalam membangun proyek infrastuktur adalah kesalahan dasar akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menguntungkan negara-negara pemilik modal yang memainkan usahanya di Indonesia. Sebagaimana banyak diungkap, hampir 90% kekayaan alam negeri ini dikelola oleh pihak asing atas nama Penanaman Modal Asing (PMA). Akibatnya, dengan seluruh kekayaan yang dimilikinya, negara tidak mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik.
Pembangunan infrastruktur dibiayai dari hutang dan pungutan pajak yang prosentasenya mencapi 80 persen. Ini karena kekayaan negara tidak masuk ke kas negara, tetapi masuk ke kantong swasta, baik domestik maupun asing yang menguasai perusahaan-perusahaan besar di dalam negeri.
Dalam sistem perekonomian Islam, infrastruktur yang masuk kategori milik umum seperti jalan, harus dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum. Bisa juga dari dana milik negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. Walaupun ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya dalam bentuk yang lain.
Ini termasuk juga membangun infrastruktur atau sarana lain yang menjadi kewajiban negara terhadap masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum, dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka. Dalam hal ini, negara tidak mendapat pendapatan sedikit pun. Yang ada adalah subsidi terus-menerus. Jadi, sama sekali tidak ada pos pendapatan dari sarana-sarana ini.
Dalam sistem pemerintahan Islam, penguasa dalam hal ini khilafah memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat termasuk pembangunan sarana-sarana umum yang berkaitan dengan kemaslahatan umum seperti jalan. Dengan pengelolaan kekayaan negara sesuai dengan aturan Islam, khilafah akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga.
Jika masalah pemenuhan kebutuhan pokok bisa selesai maka masalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya juga sudah selesai. Pada saat yang sama, negara bisa membangun infrastruktur tanpa harus membebani rakyat dengan otonomi daerah, berbagai pajak dan hutang kepada negara asing yang sangat memberatkan.
Bagaimana caranya? Pertama, khilafah bisa membangun infrastruktur dengan dana dari Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Apakah itu mungkin? Tentu, sangat mungkin. Dengan kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara, maka sumber pendapatan negara sangat mencukupi kebutuhan rakyat. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah khilafah di masa lalu, baik di zaman Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah. Contoh mutakhir adalah proyek pembangun rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istanbul. Proyek ini dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun.
Bukti peninggalan ini masih bisa dilihat di Madinah. Bahkan, hebatnya Sultan Abdul Hamid II membangunnya dengan dana pribadinya. Hal yang sama juga bisa kita temukan pada proyek saluran air bersih di Jalur Armina [Arafah-Mina-Muzdalifah]. Di sini bisa kita temukan Qanat Zubaidah [Jalur Air Zubaidah]. Zubaidah adalah istri Khalifah Harun ar-Rasyid dari Khilafah ‘Abbasiyyah. Bahkan, proyek ini terhubung hingga ke Baghdad dengan Birkah [Situ] dan ‘Ain Zubaidah [Mata Air Zubaidah]-nya. Proyek ini pun dibiayai oleh istri sang Khalifah.
Kedua, jika Baitul Mal tidak ada dana, baik karena terkuras untuk peperangan, bencana maupun penyebab lain, maka dalam hal ini harus dilihat, jika proyek infrastuktur tersebut memang vital karena merupakan satu-satunya fasilitas umum yang dibutuhkan, atau karena alasan lain, dalam kondisi seperti ini negara bisa mendorong pastisipasi publik untuk berinfak. Jika tidak cukup, maka kaum Muslim, laki-laki dan mampu dikenakan pajak khusus untuk membiayai proyek ini hingga terpenuhi. Tetapi terjadinya kemungkinan ini kecil sekali jika pengelolaan kekayaan alam benar-benar telah sesuai dengan aturan Islam.
Pada saat yang sama, negara bisa mengajukan fasilitas kredit, baik kepada negara asing maupun perusahaan asing, tanpa bunga dan syarat yang bisa menjerat. Negara akan membayarnya dengan tunai setelah dana infak dan pajak tersebut terkumpul. Namun, kebijakan ini ditempuh dalam kondisi yang sangat terdesak. Adapun, jika proyek infrastuktur tersebut tidak vital, maka negara tidak perlu menarik pajak dari masyarakat. Negara juga tidak boleh mengambil fasilitas kredit, termasuk berutang kepada negara asing atau perusahaan asing untuk membiayai proyek ini.
Wallahu a’lam.