Oleh: Rizka Agnia Ibrahim
Mengamati kondisi remaja hari ini, ibarat menatap sebuah potret kehidupan yang mencekam. Kekhawatiran mendalam menjadi hal yang secara otomatis hadir di benak kita. Bahkan muncul pertanyaan yang masih belum menemukan jawaban, karena sistem yang mencengkeram. Akan melaju ke arah mana masa depan umat ini? Bukankah generasi adalah penerus juang? Jika tunas terhambat oleh hama, tentu tak akan tumbuh pohon yang berkualitas, bisa dipastikan kerusakanlah yang kian menjalar.
Sebuah data yang membuat miris. Terjadi kasus pembunuhan seorang remaja terhadap anaknya sendiri, dengan kronologi kasus yang terbilang sadis. Bayi berjenis kelamin perempuan itu tewas setelah mulutnya disumpal tisu toilet dan tali pusarnya dicabut. Jasad dimasukkan ke dalam kantong plastik. Pelaku berinisial SNI (18) berdalih tak berniat membunuh darah dagingnya. Peristiwa seperti ini tengah digiring untuk menjadi lumrah adanya, kasus ini pun bukan yang pertama di negeri kita, deretan data tak akan bisa dipungkiri, inilah buah dari sekularisme.
Berita yang tak kalah mencengangkan. Tercatat setidaknya 12 kasus pernikahan anak di kamp pengungsian korban gempa dan tsunami yang tersebar di Palu, Sigi, dan Donggala-Sulawesi Tengah- menambah potret buram provinsi ini sebagai daerah dengan prevalensi pernikahan anak terbanyak. Penyebabnya pun kebanyakan karena sudah berhubungan seksual lebih dulu, bahkan hamil sebelum menikah. Semakin banyaklah generasi-generasi yang mengalirkan keharaman sepanjang zaman, beginilah tatanan liberalisme.
Dua kasus di atas hanyalah sebuah gambaran kecil dari fenomena gunung es yang meliarkan kerusakan, agar bisa terus menggerus generasi dan meluaskan akses. Jalan-jalan kehancuran yang bukan tanpa sengaja diciptakan. Produk yang tentu tidak hanya menjadi hal yang kebetulan terjadi karena perkembangan zaman yang kian menggila, akan tetapi inilah penghancuran nyata bagi kita.
Di kondisi ini kita tak bisa berdiam diri, persoalan generasi adalah problematika yang sistemik. Kita harus mencermati tiga pilar pendidikan, dari menganalisis kondisi tersebut, maka kita bisa menyimpulkan tentang korelasi dari problematika generasi saat ini dengan lemahnya fondasi yang ada.
Tatanan pertama dan dasar kekuatan adalah keluarga, bahwasanya kita tahu saat ini sistem hidup masyarakat didominasi paham kapitalis, yang menitikberatkan standarisasi pencapaian bahagia adalah meraup materi sebanyak-banyaknya. Akibat yang terjadi, fungsi keluarga menjadi fakir pendidikan, bukan lagi masuk kategori miskin. Sangat wajar jika kini generasi mengais jati diri pada kerusakan sistem.
Kepincangan peran dan matinya tanggung jawab orang tua, terhadap kewajiban mendasar mendidik anak, menjadi faktor utama yang membuat generasi kehilangan pijakan, panutan, teladan, bahkan rasa aman. Padahal di dalam Islam, misi penting orang tua adalah mengakrabkan buah hati pada Penciptanya, bagaimana menjadi taat pada segala perintah-Nya, pun melahirkan rasa takut terhadap seluruh larangan-Nya.
Memapah mereka untuk mengenal jati diri sebagai laki-laki atau perempuan, yang kemudian mereka pun harus paham menapaki jalan sebagai Muslim dan Muslimah, calon suami dan istri, calon ayah dan ibu. Maka, akan terbentuk sebuah konsekuensi besar dalam diri mereka, bagaimana bertanggung jawab atas jalan yang ditempuh agar sesuai rida-Nya.
Kerusakan fatal hari ini bukan tanpa sengaja. Kita bisa melihat kondisi sosial kultural yang diwarnai pekat oleh liberalisme. Bukankah hukum hari ini melanggengkan kebebasan? Maka inilah hasilnya. Pemahaman agama semakin dikesampingkan. Fungsi keluarga semakin kehilangan orientasi hidup yang hakiki. Lahirlah ketahanan yang rapuh.
Selain itu edukasi publik pun tidak bisa meng-cover dan memperkuat materi pendidikan. Gagal mengkristalkan suasana keimanan dan ketaatan umat terhadap Islam dan syariat-Nya. Sebaliknya, menjajakan gaya hidup materialistis dan hedonis. Kebebasan berpacaran kian ditebar, kasus aborsi semakin disebar, tanpa solusi yang pasti. Bahkan pembunuhan menjadi hal yang biasa saja. Mereka meneladani semua, lari dari masalah, mencari solusi salah kaprah, dan tak segan berkonsekuensi dengan pedihnya dosa.
Tinjauan lain, kita bisa arahkan ke kurikulum pendidikan, sekilas menengok pun sudah bisa dipastikan, sekularisme menguasai ranah ini. Islam didesain menjadi pengetahuan belaka. Khalik hanya digambarkan sebagai gagasan kebaikan, konsep yang hanya mengatur urusan akhirat semata, standar perbuatan adalah kemaslahan saja, bukan rida Allah. Tidak ada perincian terhadap perbuatan halal dan haram, tentang pahala dan dosa pun tak terbahas dengan detail.
Kita akan memahami pada akhirnya, segala kerusakan generasi mengerucut pada kegagalan negara dalam mengurusi. Selama ideologi kapitalis masih dilestarikan, maka liberalisme dan sekularisme akan semakin mengakar. Menjadi hal utopis ketika kita berharap banyak bisa melahirkan generasi-generasi terbaik.
Sistem hari ini mengusung peradaban Barat, memahat kegelapan pekat. Menyajikan rayu yang mematikan generasi terbaik dengan kebebasan. Sekularisme kian mencakar, liberalisme semakin menggila. Bidikan utama penghancuran adalah pendidikan.
Islam tidak seperti itu, akan tetapi serius dan fokus memuliakan para estafet perjuangan (generasi) dengan mengarahkan mereka agar memiliki kepribadian (syakhshiyah) Islami yang terbentuk dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) keduanya harus Islami pula.
Sudah semestinya dalam pedidikan Islam, bahwa negara harus memfasilitasi generasi dalam meningkatkan wawasan (tsaqafah) Islamnya supaya kualitas pola pikir pun unggul. Asas pendidikan dalam sekolah formal adalah Akidah Islam. Pun kebijakan berorientasi pada pembentukan sistem berpikir dan kejiwaan Islami pada anak didik. Ini pembeda yang jelas antara kurikulum Islam dengan sekuler.
Begitu juga memberikan rasa aman pada iman, negara wajib menumbuhkan suasana kehidupan yang memengaruhi positif agar ketaatan kepada Allah semakin mengkristal. Dari generasi yang terbentuk seperti ini, maka bisa dipastikan akan lahir keluarga-keluarga yang penuh keteladanan dan keteguhan, kemudian membentuk masyarakat yang akan saling menopang dan menjaga sesuai aturan-Nya.
Sudah waktunya bagi kita mengeliminasi sistem kapitalis-sekuler, menginstal kembali secara menyeluruh sistem Islam yang telah Allah jadikan jalan keluar terbaik bagi permasalahan umat di dunia ini. Sebuah ketegasan termaktub:
“Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad)Alquran sebagai penjelas segala sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim. (TQS an-Nahl [16]:89)
Wallahu a’lam ....