Pajak Digenjot, Kesejahteraan Terus Merosot



Oleh : Ulfah Novianti, S.T


Target penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus ditingkatkan. Sejak tahun 2002, Pemerintah meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70%, bahkan tahun 2019 hampir 80%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam. Sayangnya meski sumber penerimaan pajak terus ditingkatkan kesejahteraan rakyat tak pernah di dapat. Bagaimana rakyat akan sejahtera jika sektor terkecil pun disasar untuk dikenai pajak. Mulai dari harga materai hingga nasi bungkus, pempek, dan kantong plastik.



Padahal SDA ( Sumber Daya Alam) kita begitu banyak. Kenapa tidak berpikir untuk meningkatkan pendapatan dari garam? Atau dari ikan? atau yang lebih besar lagi? Seperti pendapatan pengelolaan dari hutan, timah, emas atau migas yang kita miliki misalnya, Kenapa harus menyasar hal-hal yang memberatkan rakyat menengah bawah dengan terus meningkatkan angka pajak. 



Bahkan Indonesia saat ini sudah ikut dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Untuk memudahkan masyarakat mendapatkan informasi perpajakan secara otomatis. Sayangnya, masih banyak orang yang belum sadar untuk membayar pajak. Sehingga negara merasa rugi karena perolehan dari pajak masih minim dan tidak mampu menutupi kekurangan APBN. Untuk itu berbagai cara dilakukan oleh pemerintah demi mendorong kesadaran wajib pajak, bahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan tagline 'bayar pajak semudah isi pulsa'. Ide tagline tersebut datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menkeu menghimbau agar masyarakat taat bayar pajak.



Hal tersebut tentu semakin membuat rakyat semakin susah, padahal Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam pernah bersabda:

 “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada dia.” (HR Muslim dan Ahmad).

Pemimpin/ penguasa seharusnya mampu memenuhi semua kebutuhan rakyat, sebagaimana sabda Rasul shallallahu'alaihi wa sallam: “Siapa saja yang mengurusi urusan masyarakat, lalu ia menutup diri dari orang yang lemah dan membutuhkan, niscaya Allah menutup diri dari dirinya pada hari kiamat.” (HR Muslim). 

Pemimpin yang adil tentu akan memperhatikan setiap kebutuhan rakyatnya dan tidak  membebani rakyatnya dengan pajak.



Dalam konteks Indonesia dan negara-negara secara umum, pajak memang menjadi pos pendapatan yang pasti ada dan menduduki posisi teratas. Artinya pajak adalah sumber pendapatan utama negara. Dan tentu saja pajak ini dibebankan kepada rakyat, penerimaannya akan masuk ke APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Jadi, selama sistem ekonomi negara ini adalah sistem ekonomi kapitalis neo-liberal maka rakyat akan terus diperas dengan pajak. Maka tidak heran negara seperti mengalami kemunduran.



Berbeda dengan sistem demokrasi kapitalis, Sistem keuangan Islam dalam Negara Khilafah mempunyai banyak pos penerimaan negara yang terangkum dalam 3 pos besar (fai-kharaj, milkiyyah amm, zakat), tanpa pernah terjerat utang luar negeri yang ribawi.

Pertama, bagian fayi dan kharaj. Fayi adalah salah satu bentuk rampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam. Dengan objek tanah yang produktif maka pungutan ini tidak membebani rakyat, baik Muslim ataupun non-muslim.



Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari Allah subhanahu wa ta'ala kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.



Ketiga, bagian sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.

Ada 1 pos tambahan lagi yang bersifat extraordinary jika kas negara mengalami kekurangan yakni pos dharibah (pajak). Artinya pajak ternyata bukan sumber pemasukan utama negara. Hanya tambahan saja, itupun dalam keadaan yang sangat khusus dan objeknya hanya orang kaya. Setelah kondisi normal, maka pungutan pajak dihentikan kembali. 

Inilah ketentuan Islam yang datang dari Allah subhanahu wa ta'ala pemilik manusia dan alam semesta dan disampaikan serta dipraktikkan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam. Manusia seharusnya tidak perlu bersusah payah membuat aturan dari akalnya yang terbatas. 


 _Wallahu A’lam Bishshawwab._

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak