Oleh: Syaima Azkiya Nafisa
Apa jadinya jika dunia tanpa listrik?
Gelap. Aktivitas macet. Dunia lumpuh. Seakan tak ada kehidupan. Itulah gambaran ketika listrik padam 4 Agustus kemarin.
Dilansir dari viva.com, sebagian wilayah Pulau Jawa termasuk ibu kota Jakarta mengalami padam listrik. Meski perlahan sudah pulih, peristiwa ini dikritik karena punya dampak luas terhadap kegiatan masyarakat.
Anggota Komisi VI DPR RI Darmadi Durianto meminta institusi Perusahaan Listrik Negara untuk bertanggung jawab terkait kejadian ini.
"Padamnya serentak di banyak kota menimbulkan tanda tanya besar. Menciptakan kegelisahan, harus ada tanggung jawab ke masyarakat," kata Darmadi dalam keterangannya, Minggu, 4 Agustus 2019.
Gelap karena listrik padam seakan kehidupan pun padam.
Inilah gambaran kehidupan saat ini ketika tidak ada sistem yang benar dari Sang Maha Benar yang mengatur kehidupan manusia.
Peristiwa padamnya Jawa-Bali kemarin selain karena qadla Allah juga karena manajemen yang belum tepat. Dalam hal ini negara tidak maksimal dalam mengelola energi untuk kebutuhan masyarakat. Terbukti ketika lumpuhnya Jawa-Bali kemarin negara justru angkat tangan, enggan untuk menyelesaikan bersama dengan satu-satunya badan usaha milik negara ini yang menyuplai listrik. Negara menyerahkan semua masalahnya kepada BUMN tersebut dan enggan untuk turut bertanggung jawab.
Listrik adalah salah satu kebutuhan pokok warga negara yang harus dipenuhi, ini mutlak tugas negara yang memiliki kewajiban mengayomi warganya. Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat, dia akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah atas pelayanannya. (HR. Muslim)
Listrik dalam sistem Ekonomi Islam masuk ke dalam kepemilikan umum. Digunakan untuk hajat hidup orang banyak dan negara mengelolanya. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw:
"Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput dan api” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Maka negara punya tanggung jawab besar dalam hal ini. Pemenuhannya harus terdistribusi dengan baik, pembiayaannya harus diperhatikan, dan sebagainya.
Karena masuk ke dalam kepemilikan umum, maka tidak boleh ada privatisasi apalagi liberalisasi. Jika hal ini terjadi maka kerusakan yang akan terjadi. Lagi-lagi, pemerintah yang harus tanggung jawab.
Namun, selama kapitalisme yang digunakan tentu pengelolaan listrik tidak akan sesuai dengan apa yang Allah perintahkan di dalam sistem Ekonomi Islam. Krisis akan terus terulang. Karena sekulerisme sebagai landasan kapitalisme dari akar sistemnya saja sudah bermasalah, bertentangan dengan akidah Islam sebagai landasan sistem ekonomi Islam.
Di dalam Islam, spirit akidah Islam menjadikan pemimpin melayani rakyat dengan sepenuh hati karena hanya mengharap pahala dan ridho Allah dalam menunaikan kewajibannya. Maka negara akan memperhatikan kebutuhan rakyat, terdistribusi dengan baik atau tidak.
Sementara Kapitalisme dari spirit sekulerisme akan memprivatisasi bahkan liberalisasi di hampir seluruh kebutuhan rakyat termasuk listrik.
Apakah dijual mahal, tiap tahun mengalami kenaikan, subsidi ditarik, hingga mengundang investor asing.
Menurut Umar Syarifudin (ketua Lajnah Siyasiyah HTI), sistem Islam memberikan solusi bahwa negara adalah pemelihara kepentingan masyarakat dan pengatur urusan mereka, bukan sebaliknya. Karena itu, di antara kewajiban negara adalah menghilangkan ketergantungan pada asing, menyediakan listrik, air, bahan bakar, pelayanan kesehatan, pendidikan dan berbagai pelayanan lainnya secara gratis atau murah. Jika negara abai dalam menyediakan sesuatu dari semua itu, maka wajib dikoreksi dengan sangat tegas. Jika tampak jelas bagi publik bahwa negara tidak memiliki kemampuan melakukan ri’ayah, maka pemerintah harus minggir dan mundur serta menyerahkan masalah itu kepada umat untuk memilih orang yang mampu memerintah dengan baik dan menerapkan aturan Islam secara kaafah, bukannya malah negara yang abai itu biarkan mengalihkan beban dari pundaknya dan menyerahkannya kepada perusahaan kapitalis dan para pengusaha.
Oleh karenanya, sumber daya alam dan energi adalah milik umat yang tidak boleh diprivatisasi oleh individu atau perusahaan. Disamping itu, menempatkan kekayaan-kekayaan umat di tangan perusahaan-perusahaan kapitalis akan membawa ancaman bencana.
Solusi syariah untuk mengatasi krisis listrik saat ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan liberalisasi energi, termasuk listrik, dan mengembalikan seluruhnya ke tangan negara sebagai pengelola utama.
Islam akan menghancurkan ekonomi kapitalis dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam menjamin pendistribusian harta dengan adil. Di antara mekanisme pendistribusian harta itu adalah kepemilikan umum untuk listrik, batu bara, minyak dan gas. Sumber-sumber ini bukan milik negara atau pun milik individu. Negara mengatur sumber-sumber ini untuk menjamin pemanfaatannya oleh seluruh rakyat, tanpa memandang ras, mazhab, warna kulit, pemikiran atau agama.
Begitu pula Khilafah akan menghapus pajak atas bahan bakar dan energi yang berperan besar dalam menaikkan harganya. Di sisi lain, masyarakat akan disuplai dengan sumber-sumber itu dengan biaya produksinya saja. Jika sumber-sumber itu dijual ke negara-negara lain maka hasilnya akan dibelanjakan untuk keperluan-keperluan masyarakat. Karena itu politik Islam dalam pengelolaan energi di bawah Khilafah akan memperkuat pilar-pilar industrialisasi di Indonesia.
Wallahu A'lam bi ash Shawab.