Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P.
.
.
.
Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya. Bukan hanya kaya akan hasil tambang dan lautnya saja. Tanahnya pun subur hingga mampu menghasilkan beragam hasil pertanian. Harusnya dengan potensi yang begitu besar ini, Indonesia mampu jadi negara mandiri, bangkit bahkan adidaya. Namun fakta berkata lain, Alih-alih jadi negara mandiri justru negeri ini jadi sasaran empuk pasar luar negeri. Apa sebab?
.
Tentu bukan akibat penduduknya yang kurang kreatif alasannya. Buktinya tak sedikit penduduk Indonesia yang menuai sukses mengembangkan daya kreatifitasnya dalam beragam bidang. Termasuk pengembangan di sektor pertanian, terutama masalah benih. Sudah banyak benih unggul dihasilkan para pemuda Indonesia. Kualitasnya pun dirasakan betul oleh rakyat kecil, yakni panen yang makin bertambah. Salah satu benih unggul yang berhasil adalah benih unggul IF8 yang berhasil diproduksi oleh Tgk Munirwan.
.
Berkat inovasinya ini Desa Meunasah Rayeuk terpilih menjadi juara II Nasional Inovasi Desa yang penghargaannya diserahkan langsung oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, Eko Putro Sandjojo. Namun kesuksesan ini tak berlangsung lama, hasil pengembangan benih unggulnya justru mengandung petaka. Kenapa gerangan?
.
Lantaran kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) melaporkan Geuchik Meunasah Rayek, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, Tgk Mun, ke Polda Aceh, terkait kasus dugaan penjualan benih padi tanpa label IF8, Tgk Mun yang juga Direktur PT Bumades Nisami —anak usaha Badan Usaha Milik Gampong (BUMG)— kemudian ditahan di Polda Aceh setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa, 23 Juli 2019. Dilansir dari Tribunnews.com.
.
Masih dari sumber yang sama menyebutkan bahwa penahanan Munirwan terkait dugaan tindak pidana memproduksi dan mengedarkan (memperdagangkan) secara komersil benih padi jenis IF8 yang belum dilepas varietasnya dan belum disertifikasi (berlabel). Menurut Fachrul Razi, larangan ini tidak mendasar dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap karena Mahkamah Konsitusi telah mengabulkan pengujian Undang-undang nomor 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman.
.
Miris memang, daya kreatif petani yang terbukti berhasil ini justru dijegal oleh kebijakan pemerintah sendiri. Sebagai pengayom rakyat, bukankah sebaiknya pemerintah bersikap bijak serta arif menghadapi kasus ini. Jika memang ada prosedur yang kurang tepat dalam sistem budidaya, selayaknya diberikan penyuluhan agar para petani yang memiliki daya kreatif ini juga mampu mengembangkan keahlian mereka. Toh jika berhasil, ini demi kemajuan negara. Demi kemakmuran rakyat. Demi nama baik bangsa di mata dunia.
.
Mungkin ini salah satu sebab kenapa Indonesia jadi bulan-bulanan sasaran pasar luar negeri. Ketergantungan terhadap pangan adalah kuncinya. Bagaimana sektor pertanian mau maju jika dari pemerintah sendiri tak mendukung penuh apa yang dihasilkan para petaninya. Tak memberikan kemudahan bagi petani dalam menyalurkan daya kreatifitasnya. Seakan disuruh berjuang sendiri di negeri yang telah memberikan hasil bumi.
.
Beginikah potret nasib para petani di negeri yang katanya agraris. Sudahlah ketika panen raya kadang petani rugi menjual murah hasil buminya akibat kebijakan impor yang digelontorkan. Sekarang juga masih harus menelan pil pahit, yakni tak ada dukungan sama sekali dari pihak pemerintah bagi petani untuk melindungi hasil penemuannya.
.
Bukan penghargaan yang didapat oleh para petani berprestasi, justru hukuman berupa rumah baru di bui. Wajar jika banyak petani yang akhirnya malas untuk berkreasi atau bahkan mereka pindah ke luar negeri. Lantaran respon di negeri sendiri justru berkebalikan dari apa yang mereka beri. Buat apa susah-susah berfikir kreatif jika pemerintah sendiri justru tak pro terhadap inovasi yang dihasilkan. Kebijakan hanya dimanfaatkan sebagai palu gebuk bagi rakyat kecil bukan sebagai pelindung serta pendukung.
.
Ini juga membuktikan bahwa pemerintah lebih pro terhadap pihak luar alias asing dan aseng ketimbang rakyatnya sendiri. Bukti tak ada support dan reword bagi petani berprestasi adalah yang nyata-nyata mampu di ihsas oleh semua pihak. Padahal yang dibutuhkan kami rakyat kecil hanyalah dukungan serta persetujuan saja. Hanya itu, namun sepertinya itu barang mahal yang tak mampu diraih saat ini.
.
Jika hal ini terus berlanjut maka lambat laun para kreator pemuda akan beralih mencari dukungan ke luar negeri sebagai kompensasi pengembangan diri. Walhasil kita sendiri sebagai warga dan negara yang rugi, tak punya lagi bibit unggul para pemuda yang berinovasi dalam beragam teknologi. Apalagi dari sektor pertanian, sektor pokok penunjang ketahanan pangan yang menjadi barometer sebuah negara yang mandiri.
.
Semoga dengan kasus ini Indonesia belajar, belajar menghargai apa yang dihasilkan anak negeri. Mendukung serta memfasilitasi para pemuda agar lebih bermanfaat bagi masyarakat luas, bangsa dan negara. Karena jika bukan para pemudanya yang bergerak memajukan negeri, lantas siapa lagi?
.
Wallahu a’lam Bishowab.