Oleh : Nina Marlina
(Pemerhati Sosial & Komunitas Pena Islam)
Sungguh malang nasib belasan perempuan yang menjadi korban traficking. Dilansir dari Kompas.com (19/07/2019), sebanyak 15 orang perempuan telah menjadi korban perdagangan manusia ke China. Hal ini dibenarkan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Retno menjelaskan, para wanita itu dikirim ke China untuk menikah dengan lelaki asal Negeri Tirai Bambu itu dengan imbalan sejumlah uang.
Sangat disayangkan dengan mudah mereka terjebak traficking ini.
Dengan adanya kasus ini, tentu menjadi PR bagi negara. Harus ada perhatian yang sangat besar sekaligus menyelesaikan permasalahan ini. Mengingat bahwa negara Indonesia dan China berbeda jauh dalam menyikapi kasus ini. Tidak seperti Indonesia yang mengatakan ini adalah menyalahi hukum. Negara China justru menganggap hal ini adalah masalah keluarga. Negara tak perlu ikut campur dalam menyelesaikannya.
Tentu sangat disyangkan, bagaimana nasib kaum perempuan tersebut. Mungkin awalnya berpikiran setelah menikah akan hidup senang berlimpah harta.
Namun, yang terjadi mereka dipaksa untuk bekerja. Diperlakukan secara tidak manusiawi. Salah satu faktor yang menyebabkan ini terjadi adalah gaya hidup materialistis. Banyak orang menganggap kesenangan dapat diperoleh dengan harta berlimpah, mobil mewah atau rumah megah. Termasuk menikah pun harus dengan lelaki tajir, pengusaha, dan kaya raya.
Padahal, keimanan dan akhlak nya belum tentu baik. Selain itu, karena orang tua atau keluarga yang menyetujui, mendukung pernikahan tersebut. Atau mungkin dipaksa demi memenuhi kebutuhan keluarga. Begitu pula yang menjadi pertanyaan mengapa negara seolah kecolongan akan hal ini. Tentu ada pihak-pihak yang memuluskan transaksi ini terjadi.
Maka dari itu, perlu kesadaran dari semua pihak akan kesalahan ini. Juga peran semuanya dalam menuntaskan permasalahan ini. Pertama, setiap orang harus menyadari bahwa kebahagiaan tak selamanya diukur dengan materi atau limpahan harta. Terutama untuk perempuan, yang pertama dipertimbangkan ketika memilih pasangan adalah agamanya. Iman dan ketakwaan jauh lebih penting dari harta yang bisa dicari. Kedua, seorang wali bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan perempuan yang menjadi tanggungan nya.
Ketika perempuan tersebut belum menikah atau janda. Ketika wali tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka kewajiban tersebut beralih kepada negara. Tidak boleh seorang perempuan dipaksa untuk bekerja atau memenuhi nafkah keluarga. Meski hukum bekerja bagi seorang wanita adalah mubah atau boleh. Ketiga, negara harus berusaha mencegah berbagai kejahatan. Diantaranya kasus traficking ini. Jangan sampai ada korban yang akhirnya dirugikan. Di sisi lain para pelaku atau penyalur ini mendapatkan keuntungan besar. Jika akhirnya terjadi, maka negara harus menghukum para pelaku dengan hukuman yang berat dan membuat efek jera. Wallahu a'lam bishshawab.