Mulyaningsih, S.Pt
Kembali, warga Kota Baiman di pusingkan dengan adanya Rancangan Peraturan Daerah yang memperbolehkan penjualan minol. Hal tersebut membuar reaksi protes dari para warna kota tersebut. Salah satunya adalah aksi yang dilakukan oleh puluhan anggota LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di depan Pemko (Pemerintah Kota) Banjarmasin Kalimantan Selatan, Kamis (25/7/2019) siang. Mereka mempertanyakan dan menolak terkait Raperda penjualan bebas minuman beralkohol (Minol) di retail modern. “Kalau dilarang saja masih banyak yang berjualan bebas, apalagi nanti dibuat peraturan memperbolehkan penjualan miras,” orasi anggota LSM, Aliansyah.(banjarmasin.tribunnews.com, 25/7/2019).
Kemudian Matnor Ali, Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Banjarmasin mepertegas persoalan retribusi minol dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Dibuatnya Raperda tersebut adalah untuk mempersulit peredarannya, bukan demi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari penjualan minol tersebut. Seperti diketahui, dewan sudah memfinalisasi rancangan revisi Perda No 17 Tahun 2012 tentang retribusi izin tempat penjualan minol. Intinya memberatkan pengusaha yang ingin menjual minol karena dihadapkan pada retribusi Rp 200 juta per tahun. Disebut memberatkan karena masih terkait dengan Perda No 10 Tahun 2017 tentang Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minol. Boleh dijual di hypermart atau supermarket tetapi hanya selama satu jam per harinya yaitu pada pukul 23.00-24.00 Wita.
Kenapa tidak dilarang saja? Jawabannya adalah tak memungkinkan. Pemko ataupun DPRD tak bisa disalahkan, karena terbentur ketentuan pusat yang melegalkan penjualan minol di tempat-tempat tertentu. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Mentri Perdagangan No 20 Tahun 2014. Untungnya masih ada celah untuk membatasinya. “Celah inilah yang kami gunakan. Kami bisa membatasi ruang edar dan waktu penjualan. Jadi orang dengan sendirinya malas menjual miras,” tuturnya (m.kalsel.prokal.co, 27/7/2019).
Permasalahan minol ini ibarat fenomena gunung es, yang tampak dipermukaan hanya secuil saja namun jauh di dasar banyak sekali bongkahan yang tersembunyi. Semua sadar betul bahwa permasalahan ini sulit sekali diberantas sampai tuntas. Satu, dua kejadian bisa diungkap dan dipidanakan, ternyata banyak yang leluasa di luaran sana. Menjadi fakta yang benar terjadi di negeri ini, miris dan sedih melihatnya. Entah bagaimana nasib negeri dan para generasi penerus jika masalah minuman keras ini tak kunjung selesai.
Hal yang alamiah dan wajar jika masalah peredaran minol ini terus saja menegemuka tanpa ada solusi nyata. Tumbang satu tumbuh seribu, itulah adanya fakta sekarang. Halal-haram tidak lagi menjadi masalah bagi mereka. Yang terpenting adalah mendapatkan pundi-pundi uang, bisa memenuhi kebutuhan yang mereka inginkan. Agama tak lagi menjadi pengontrol nyata bagi mereka. Itulah dampak dari sekulerisme dan liberalisme yang makin menjadi di negeri ini. Kota Banjarmasin pun terkena imbas dari itu semua. Padahal nuansa religi sangat kenta di Kota Seribu Sungai ini. kapitalisme yang membelenggu negeri sejal lama juga menjadi penyebab sejati adanya peredaran minol ini.
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, tak hanya sekedar mengatur masalah ibadah saja, tetapi Islam juga mempunyai segudang peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, sesame dan dirinya sendiri. Masalah makanan dan minuman termasuk dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Hal ini haruslah terkait dengan islam, artinya Islam mempunyai rambu-rambu bagi pemeluknya terkait dengan kedua hal tersebut. Rambu-rambu tersebut haruslah dijadikan pedoman bagi kaum muslim dalam kesehariannya. Mampu menahan agar tidak memakanan dan minum barang yang memang diharamkan bagi mereka.
Ketika syariat Islam diterapkan maka peluang penyalahgunaan akan tertutup. Landasannya adalah akidah Islam yang mewajibkan negara untuk membina ketakwaan individu (warganya). Ketakwaan yang terwujud itu akan mencegah seseorang terjerumus dalam kejahatan narkoba, termasuk didalamnya minol. Ekonomi tidak dijadikan alasan untuk terlibat dalam kejahatan narkoba, sebab pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat (sandang, pangan dan papan) dan kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, keamanan dan layanan kesehatan) akan dijamin oleh negara. Setiap orang memiliki kemungkinan untuk memenuhi kebutuhan sekundernya sesuai dengan kemampuan nya masing-masing.
Dalam syariah Islam hukum dari narkoba adalah haram. Ummu Salamah ra menuturkan:
Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad). Sebagai zat haram, siapa saja yang mengkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti telah melakukan jarîmah (tindakan kriminal) yang termasuk sanksi ta’zir. Pelakunya layak dijatuhi sanksi dengan bentuk, jenis dan kadar sanksi tersebut akan diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi. Sanksinya bisa diekspos, dipenjara, denda, jilid atau bahkan sampai hukuman mati. Hal ini disesuaikan dengan tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat. Yang jelas adalah gembong miras dan narkoba (produsen atau pengedar besar) sangat membahayakan bagi masyarakat dan layak dijatuhi hukuman berat seperti hukuman mati.
Dalam konteks miras dan narkoba, sanksi yang ringan itu bisa dijatuhkan pada orang yang tergelincir mengkonsumsi miras dan narkoba untuk pertama kalinya, selain bahwa ia harus diobati dan ikut program rehabilitasi. Bagi pecandu yang berulang-ulang mengkonsumsinya sanksi bisa lebih berat lagi, tentu harus menjalani pengobatan dan ikut program rehabilitasi. Sedangkan bagi pengedarnya, mereka tidak layak mendapat keringanan hukuman, sebab telah melakukan kejahatan yang membahayakan masyarakat. Bahkan demi keselamatan umat, para pengedar harus dijatuhi hukuman yang berat, bisa sampai hukuman mati sehingga menimbulkan efek jera.
Begitulah Islam memandang miras dan narkoba sebagai madu berbalut racun yang dampaknya sangat membahayakan. Sangat mustahil apabila kita akan mewujudkan masyarakat bersih dari barang-barang haram tersebut jika sistem demokrasi transaksional masih diterapkan sampai sekarang ini. Masyarakat akan terbebas dari barang haram hanya dengan dua cara, yaitu mendirikan negara dan pepimpin harus sesuai dengan Islam. Dengan adanya negara yang berdasar pada Islam maka akan menerapkan syariat islam secara totalitas tanpa tebang pilih. Kemudian pemimpinnya juga harus mau tunduk terhadap Islam. Ketika dua hal tersebut dapat diwujudkan maka bahaya dan kejahatan miras dan narkoba dapat diatasi sampai akarnya. Semoga segera terwujud. Wallahu ‘alam.[ ]
Mulyaningsih, S.Pt
Pemerhati masalah Anak, Remaja dan Keluarga
Anggota Akademi Menulis Kreatif Regional Kalsel