Oleh : Rosmiati (Muslimah Peduli Umat)
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir akan mengundang rektor dari luar negeri untuk memimpin perguruan tinggi negeri (PTN) yang paling siap. Dia menargetkan, PTN yang dipimpin rektor asing itu nantinya bisa meningkat peringkatnya hingga menembus peringkat 100 besar dunia (Republika.co.id, 02/08/2019).
Keputusan ini, oleh Menristik telah dipikirkan matang-matang. Dan kabar baiknya, presiden RI telah menyetujuinya. Akan tetapi, tidak sedikit yang tidak sejalan dengan keputusan tersebut. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), Edy Suandi Hamid, mengatakan bahwa rektor asing bukan solusi untuk memacu PTN di Indonesia masuk dalam 100 universitas terbaik dunia.
Bagi beliau, untuk mendongkrak kampus masuk dalam peringkat 100 dunia dapat dicapai dengan mencari ilmuwan yang bisa menstimulus itu. Ilmuwan itu bisa diambil dari luar negeri dan diakui kehebatan di bidangnya. Selain itu bisa juga dengan memberikan jabatan sebagai ketua litbang penelitian dan publikasi ilmiah. Karena itu solusinya, bukan mendatangkan rektor dari luar negeri. Tapi mengangkat ahli yang kompeten di bidang pencapaian top 100 dunia (Tribunnews.com, 1/08/2019).
Selain Edy, Ubaid Matraji juga menolak tegas usulan sang Menteri tersebut. “Itu kebijakan ngawur” ungkap Ubaid. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia ini, menganggap asing tidak perlu dikasih posisi rektor. Baginya kebijakan baru di lingkungan Menristek ini, hanyalah upaya pemerintah menutup-nutupi kegagalannya dalam mengembangkan sumber daya di bidang pendidikan.
Beliau pun optimis, tidak perlu ada rektor asing ketika pemerintah mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Bahkan diakhir ungkapannya, beliau menanyakan bagaimana dengan program strategis peningkatan mutu dosen lokal? (Tirto,id, 02/08/2019).
Bagaimana Kabar Kualitas Pendidikan Dalam Negeri?
Keputusan Mohammad Nasir dalam mengimpor pimpinan kampus negeri memang kian menemui kritikan. Demi mengejar peringkat 100 top dunia. Menristek rela pasang badan untuk hal ini. Dengan bermodalkan jejak rekam dari kampus ternama dunia yang berhasil survive ketika tampuk kepemimpinan kampusnya diisi oleh warga asing dari negara ternama.
Namun, patutkah semua ini dijadikan patokan? Sedangkan dari sisi kualitas baik infra maupun suprasturktur antara kita dengan kampus yang tadi menjadi kiblat tidaklah sama. Bisa saja kampus luar negeri seperti, Nanyang Technological University (NCU) yang merupakan salah satu kampus di Singapura yang masuk dalam peringkat 50 besar universitas dunia. mengalami peningkatan ketika dipimpin oleh rektor asing dikarenakan SDM dan fasilitas penunjang pembelajaran di negeri tersebut telah baik dan seragam dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Artinya, pihak asing masuk hanya menjadi penambah (stimulus) belaka.
Sedangkan di negeri ini kualitas pendidikan kita memang belum membaik. Hal ini terjadi baik dari tingkat dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Sebagaimana yang dilansir dari Tirto.id, 02/05/2019, bahwa Indeks pendidikan kita rendah, daya saing pun lemah.
Singapura wajar bila ia masuk dalam peringkat 50 dunia sebab pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang dimilikinya terbaik di wilayah regional ASEAN. Global Talent Competitivness Index (GTCI) Singapura memimpin di wilayah Asia Tenggara dengan skor 77,27. Sedangkan Indonesia berada di posisi ke enam dengan sekor 38,61. Negara kita masih berada di bawah Malaysia sebagai peringkat kedua, Brunei dan Flipina (Tirto.id, 02/05/2019). Di sini keunggulan Singapura melalui kampus NCU-nya jelas disokong dengan kualitas SDM yang baik dan memadai.
Selain itu, Education Index yang dikeluarkan oleh Human Development Report, pada tahun 2017, dengan memperhatikan beberapa ukuran diantaranya pendidikan formal, vokasi, literasi baca tulis hitung, peringkat internasional universitas, jurnal ilmiah, mahasiswa internasional, relevansi pendidikan dengan dunia dan lainnya, negara kita berada di posisi ketujuh di ASEAN dengan sekor 0,622. Skor tertinggi di ada di tanah Tumasik (Singapura), yaitu sebesar 0,832.
Hasil ini ternyata dihitung dari rata-rata lama sekolah di setiap negara. Dan terbukti bahwa rata-rata penduduk kita bersekolah hanya sampai pada jenjang SMP saja. Dan lagi-lagi Singapura menjadi negara dengan rata-rata waktu belajar terlama di ASEAN yakni 11,5 tahun (Tirto.id, 02/05/2019).
Untuk itu, sesungguhnya bangsa ini masih memiliki banyak tugas rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu sebelum masuk dalam persaingan skala internasional. Mengingat keberhasilan untuk bisa berada di lingkaran universitas terbaik dunia harus ditunjang dengan ketersedian SDM yang baik. Maka mengupayakan hal ini, sebagaimana pendapat para ahli tidak perlu dengan mengundang rektor asing. Namun bagaimana caranya, pemerintah mengupayakan segala kebijakan yang mengarah pada perbaikan sistem pendidikan dalam negeri.
Memang benar adanya, semua ini dilakukan demi mengangkat reputasi bangsa di kancah dunia melalui jalan PTN. Bahkan kampus yang akan dipimpin oleh sosok rektor asing ini juga tidak sembarang kampus. Artinya rektor asing akan duduk di kampus terbaik yang dimiliki bangsa ini. Akan tetapi, tidakkah cara ini hanya akan menciptakan kesenjangan baru di dunia Perguruan Tinggi? dimana pembangunan akan terfokus pada satu objek kampus saja.
Lagi-lagi, semua karena mengejar reputasi bukan niat tulus untuk membangun generasi yang berilmu dan beradab. Hal ini terlihat dari besarnya syahwat pemerintah yang ingin mengejar rangking dunia.
Sementara jauh ke bawah kita menyaksikan anak-anak bangsa yang belum semuanya merasakan manisnya menuntut ilmu. Ruang-ruang belajar yang jauh dari kata layak. Guru-gurunya yang belum tersejahterakan serta berbagai ketimpangan lainnya. Tidakkah sebaiknya kita bersabar dulu, dalam mengejar rangking dunia? Benahilah dulu sejumlah ketertinggalan yang ada di negeri tercinta ini.
Kapitalisme Menjadi Pemicu
Beginilah agaknya sunnatullah dalam sistem kapitalisme hari ini. Kebijakan ini merupakan salah satu buah dari pasar bebas yang tempo hari digaungkan. Sejak dahulu kita memang selalu didoktrin bahwa tidak mampu bila tak mendatangkan asing. Padahal banyak anak negeri yang karyanya cemerlang berkibar di negara lain.
Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah berhasil mengikis habis kepercayaan diri bangsa ini untuk berdiri di atas kaki sendiri. Apa-apa dinilai tidak mampu. Walhasil kata impor pun selalu menjadi hero pada setiap persoalan negeri. Padahal kemajuan, hakikatnya tidak selalu diukur dengan sejumlah pencapaian materi yang terkumpul dan teraih.
Beginilah sistem kapitalisme memandang sebuah kemajuan, yang akan diukur dengan materi, materi dan materi. Tanpa mempertimbangan kualitas kepribadian dari pelajarnya. Padahal harapan pembangunan di bidang pendidikan tidak hanya melahirkan sebuah reputasi ataupun rangking, melainkan juga turut membimbing manusia menjadi insan yang berabad, beriman dan bertakwa. Terlalu mengedepankan materi tentu akan mengikis habis tujuan awal dari pendidikan kita. Wallahu’alam
Tags
Opini