Oleh. Caca Wulandari (Anggota Pena Muslimah)
Setiap tahun di bulan zulhijjah jutaan umat islam dari seluruh penjuru dunia mendatangi masjidil haram untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah haji ini merupakan kewajiban dari Allah bagi mereka yang mampu. Mampu secara fisik maupun materi. Sangat disayangkan apabila ada orang yang hidup berkecukupan namun belum tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji. Itulah mengapa ibadah haji memutlakkan adanya pengorbanan. Hanya mereka yang terpanggil hatinya yang mau mengorbankan apa-apa yang mereka miliki untuk memenuhi seruan Allah ini.
“Labbaikallahumma labbaik labbaika laasyarikalakalabbaik innal hamda wanni’mata lakawalmulk laasyarikalak” inilah kalimat yang dilantunkan oleh jemaah haji yang sedang menunaikan ibadah haji. Kalimat yang sarat dengan makna, makna penghambaan diri, kesyukuran, dan pengakuan bahwa Allah yang Maha kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Semua rangkaian ibadah yang dilakukan memiliki hikmah tersendiri. Jutaan orang berkumpul dalam satu waktu, tempat yang sama dan tujuan yang sama, ingin meraih ridho Allah semata. Namun sayang, seusai melaksanakan ibadah haji para jamaah kembali ke tanah air masing-masing, karena sekat Nasionalisme mereka kembali menjalani kehidupan sesuai aturan yang diterapkan di negaranya. Mereka kembali pada kehidupan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Banyak aktivitas yang dilakukan tak sesuai syari'at, transaksi ribawi, MLM, dll. Mestinya ibadah haji menjadi representasi kehidupan islam, umat islam bersatu diatur oleh aturan kehidupan yang sama, tunduk pada Allah sebagaimana ketundukan melaksanakan semua rangakaian ibadah haji, berkorban yang sama untuk kebangkitan islam sebagaimana pengorbanan yang dilakukan untuk mampu berangkat ke baitullah, bahkan ada yang menabung sampai puluhan tahun. Andai pengorbanan yang menyala-nyala itu sama seperti pengorbanan untuk kebangkitan islam. Kini ibadah haji hanya sebatas seremonial tahunan belaka, jutaan umat islam yang sudah bergelar haji tak banyak memberikan sumbangan untuk kebangkitan islam.
Semua itu terjadi karena orang-orang yang melaksanakan ibadah haji sudah lama hidup dalam sistem kehidupan yang menjauhkan dari nuansa islami, salah satunya sistem demokrasi, yang membuat orang sulit untuk mewujudkan keimanan sehingga sulit pula untuk menjangkau makna politis dibalik pelaksanaan ibadah haji. Adapun makna politis yang dapat di ambil dari ibadah haji adalah simbol ketaan mutlak pada syariat sbagai konsekuensi keimanan. Artinya umat islam wajib taat pada syariat islam secara keseluruhan, menerapkan aturan islam dalam kehidupan, baik sistem ekonomi,politik, sosial, keamanan dan hubungan luar negri.
Semua itu tak akan terwujud selama sistem kehidupan yang diterapkan bukan sistem yang shahih. Sistem kehidupan yang shahih hanya berasal dari Allah yakni islam, dan yang mampu menerapkannya hanya sebuah institusi yang disebut khilafah/imamah. Sistem inilah yang akan menjamin terwujudnya kehidupan islam. Negara islam yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang paham betul tanggung jawabnya sebagai pemimpin, sehingga ia akan bersungguh2 menerapkan aturan islam dalam negaranya. Menjamin kehidupan umat ia pimpin,menjamin terlaksananya syariat islam dalam segala aspek kehidupan.
Ekonomi,politik,sosial,sanksi,dll. Jadi ketaatan mutlak hanya bisa diwujudkan dalam sistem islam. [Wallahu'alam]